Ketika adik perempuan kami yang bungsu lahir enam puluh tahun yang lalu, adik laki-lakiku yang berusia enam tahun dan aku delapan tahun. Aku selalu menjadi “Big Sister” sedangkan adik laki-laki ini selalu menjadi “The Baby”.
Kehadiran adik perempuan kami betul-betul sebuah kejutan bagi kami berdua. Pada masa itu tidak seorangpun di antara kami mencemaskan persaingan di antara saudara kandung, dan tidak ada “pakar” yang memberitahu kami cara menghadapi kehadiran seorang anak lain dalam rumah itu. Biarpun begitu, kami memiliki kakek dan nenek yang bijaksana dan penyayang.
Aku bahagia sekali dengan kedatangan bayi itu, senang memegangnya dan ikut membantu merawatnya. Namun, perasaan adik laki-lakiku sungguh berbeda!. Ia hanya melihatnya sekilas kemudian pergi, lebih suka menghabiskan sisa harinya sendirian di kamar. Ketika aku mendatangi kamarnya untuk mengobrol dengannya dan mencoba mengajaknya bermain, ia hanya membuang muka.
“Mengapa mereka membawa pulang bayi itu?”
Pada malam itu juga, Kakek datang untuk menjenguk adik bayi. Sambil memegangnya, ia berkata pada adik laki-lakiku, “Tahukah kau, ia mirip sekali dengan anak domba yang harus Kakek beri minum menggunakan botol. Kakek harus menjaganya dan sering memberinya makan, persis seperti ibumu merawat bayi ini.”
Adikku menyahut, “Aku lebih suka seekor anak domba,” lirih sekali, namun masih cukup keras untuk didengar oleh Kakek.
Walaupun Kakek kelihatan sangat tua dalam pandanganku (sekurangnya lima puluh tahun, menurut perkiraanku waktu itu), pendengarannya masih tajam, sehingga ia juga mendengar gerutuan adikku.
“Baiklah,” sahut Kakek, “kalau kau lebih suka seekor anak domba, bagaimana kalau kita tukar? Aku akan memberimu waktu sehari untuk berpikir, dan bila sampai besok kau masih ingin menukarnya, kita akan melakukannya. “
Aku mengira telah melihat mengedipkan mata pada Ibu, tapi aku tahu bahwa aku pasti salah karena Kakek tidak pernah memberi isyarat seperti itu kepada siapapun.
Setelah Kakek pulang, Ibu bertanya kepada adikku apakah ia mau dibacakan cerita. Adik laki-lakiku bergelung dekat Ibu, kemudian Ibu membacakan cerita yang cukup panjang.
Adikku terus memandangi adik bayinya itu dan belakangan memintanya memegang adik bayinya sementara ia pergi mengambil popok. Ketika Ibu kembali, adikku dengan lembut membelai rambut bayi yang hitam dan masih sangat halus, dan ketika ia memegang tangannya, adik bayi itu mencengkeram jemarinya.
“Bu, lihat! Ia memegang tanganku!”
“Tentu saja, ia kan tahu bahwa kau kakaknya,” kata Ibu sambil tersenyum. Adikku memegang bayi itu beberapa menit lebih lama, dan ketika berangkat tidur ia tampak jauh lebih bahagia. Esok malamnya Kakek datang lagi sesuai janjinya dan memanggil adikku untuk bicara dengannya.
“Bagaimana, sudah siap untuk menukar bayi itu dengan seekor anak domba?”
Adikku terkejut karena Kakek masih ingat dengan pembicaraan sehari sebelumnya.
“Bayi ini sekarang senilai dengan dua ekor anak domba.”
Kakek tampak ganti terkejut mendengar kontrak yang tiba-tiba berubah itu. Katanya, ia harus memikirkannya lagi dan akan kembali malam berikutnya untuk berbincang lebih lanjut tentang masalah tersebut.
Keesokan harinya hari Sabtu, aku dan adikku lebih banyak menghabiskan waktu kami di dalam rumah untuk menyaksikan bayi itu dimandikan, memperhatikannya ketika ia sedang tidur dan membelainya. Ia tampak cemas ketika Kakek datang ke rumah kami pada malam hari dan memanggilnya untuk berunding.
“Kau tahu, Kakek telah memikirkan masalah pertukaran bayi dengan anak domba ini selama sepanjang hari, dan tawaranmu sungguh berat bagi Kakek. Walaupun demikian, akhirnya Kakek memutuskan menaikkan tawaran Kakek dengan menghargainya senilai dua ekor anak domba. Ah, Kakek rasa sekarang kita bisa melakukannya. “
Adikku ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab tawaran Kakek. “Bayi ini sekarang sudah sehari lebih tua, jadi menurutku harganya sama dengan lima ekor anak domba.”
Kakek kelihatannya terkejut sekali, sehingga ia perlahan-lahan menggelengkan kepalanya.
“Kakek bingung. Kakek akan pulang dahulu ke rumah untuk memikirkan tawaranmu lebih serius. Barangkali Kakek harus berunding dulu dengan bank.”
Kakek tidak tinggal lama, dan adikku kelihatannya bertambah cemas. Aku mencoba mengajaknya bermain, tetapi ia malahan pergi ke kamar Ibu dan memegangi bayi kecil itu lama sekali.
Keesokan harinya, hari Minggu, Kakek datang lagi. Kali ini masih agak siang. Katanya kepada adikku, ia sengaja datang lebih awal supaya kalau tukar-menukar dilaksanakan, ia mempunyai waktu cukup untuk mengambil lima ekor anak domba dan menyiapkan kamar untuk sang bayi.
Adikku menghela napas dalam sekali. Kemudian dengan tengas menatap Kakek dan mengeluarkan sebuah pernyataan.
“Bayi ini sekarang berharga senilai lima puluh ekor anak domba!”
Kakek memandang kepadanya dengan tidak percaya dan menggelengkan kepalanya.
“Rasanya perundingan kita sudah putus. Kakek tidak sanggup menukar lima puluh ekor anak domba untuk bayi sekecil ini. Kakek pikir sebaiknya kau tetap menyimpannya dan membantu orangtuamu menjaganya.”
Adikku pergi sambil tersenyum kecil tanpa mengetahui aku memperhatikannya, dan kali ini aku sungguh melihat Kakek mengedipkan sebelah matanya ke arah Ibu.
…
Setiap Orang Dapat Mengubah Hidup Orang Lain (George Bush)
…
Sumber : Chiken Soup For The Golden Soul (Muriel J Bussman dikirimkan oleh Winnie Luttrell), https://deedee87.wordpress.com/2009/01/11/hati-yang-berubah/#more-404