Pada waktu manusia belum kembali kepada kebenaran, ia selalu menganggap bahwa dirinyalah kebenaran itu. Akibatnya, semakin lama ia hidup di dunia, ia menjadi semakin kukuh dan semakin menganggap dirinya benar. Di dalam pertikaian antar keluarga yang terjadi berulang kali, semakin banyak bertikai, kita akan semakin merasa benar, dan kasus seperti itu semakin sulit diselesaikan. Setiap pihak akan memakai rasio untuk memberikan dukungan logika yang cukup untuk menjadikan diri sebagai pusat kebenaran. Inilah kelemahan manusia.

Kekakuan ini dapat berlanjut terus sampai akhirnya ia memutuskan bahwa dirinya tidak dapat bersalah. Sampai tingkat ini, ia telah mempersamakan diri dengan Allah. Pada saat seperti itu, Tuhan akan tidak senang dan membiarkan ia mati saja. Maka orang itu mati. Orang muda tidak terlalu berani mengatakan dia yang benar, tetapi semakin tua ia akan semakin kaku juga, dan pada saat tua sekali ia mulai memutlakkan diri seperti orang tua sebelumnya, maka ia pun mati. Sehingga di dalam alam semesta tetap hanya ada Satu Allah yang memang mutlak dan kekal.

Mungkin sekali Saudara dapat juga masuk kedalam jerat seperti itu. Manusia dapat terus memproses dirinya masuk ke dalam kekakuan, sehingga akhirnya ia tidak lagi mempunyai lubang keterbukaan terhadap keterbatasan rasio. Saudara menjadi tertutup, tidak lagi mau menerima nasihat, tidak mau mengakui kalau diri Saudara mungkin salah, maka Saudara telah berperan bagaikan allah kecil yang palsu dan sangat berbahaya. Oleh karena itu jangan sekali-kali memutlakkan rasio. Sebelum seseorang mengembalikan rasio kepada kebenaran, ia akan selalu menganggap dirinyalah kebenaran itu.

1. Kristus sebagai Kebenaran 

Salah satu hal yang saya rasa paling lucu adalah masalah surat kabar di Moskow. Surat kabar di sana berjudul “Kebenaran”(Pravda). Jadi orang Komunis yang tidak percaya ada Allah, mereka tetap percaya ada kebenaran. Jika ditanya siapakah yang menjadi standar kebenaran itu, maka mereka akan menjawab bahwa merekalah yang menjadi standar kebenaran itu. Mereka tidak mau Allah, tetapi memperallah diri sendiri. Setiap agama pasti mengaku memiliki kebenaran atau dirinya kebenaran. Dalam hal seperti ini setiap orang dituntut untuk sungguh-sungguh mempelajari di manakah kebenaran sejati itu berada.

Di dalam Alkitab, kita melihat bagaimana Kristus menjadi satu-satunya orang di dalam sejarah yang sah mengatakan bahwa diri-Nyalah kebenaran (Yohanes 14:6). Andaikata Ia bukan kebenaran dan mengaku sebagai kebenaran, maka pasti akan ada kesenjangan yang besar di dalam hidup-Nya. Tindakan demikian akan menjadikan Kristus seorang pembohong atau pendusta yang terbesar di dalam alam semesta, karena penipuan seperti ini, bukan sekedar penipuan untuk mengambil sedikit uang, atau sekedar memutar-balik suatu kejadian, atau mempermainkan hukum, tetapi ini merupakan penipuan yang berskala dunia, karena mengaku sebagai kebenaran. Tetapi jikalau memang Kristus adalah kebenaran, maka manusia tidak boleh sembarangan memberikan penafsiran yang tidak benar terhadap proklamasi yang sangat agung ini.

Mengapa tidak ada seorang tokoh agama atau tokoh filsafat pun di sepanjang sejarah manusia, selain Kristus, yang berani mengatakan “Akulah kebenaran”?  Hanya ada dua kemungkinan: (1) Kristus memang pembohong, dan (2) memang Ia sungguh-sungguh kebenaran. Kalau memang Kristus pembohong, silakan buktikan apakah Dia pembohong terbesar, dan jika Ia memang adalah kebenaran itu sendiri, maka setiap orang wajib takluk kepada-Nya. Setiap manusia harus membagi-bagikan sekuat kemampuan rasio kita untuk membawa orang lain kembali kepada Kebenaran. Ini sebabnya, tugas orang Kristen berat dan sangat serius.

C.S. Lewis (1898-1963), seorang pujangga besar Inggris pernah mengatakan, “Jika Yesus bukan Allah, maka siapakah Dia?”  Untuk sekedar mengatakan Yesus bukan Allah atau Yesus bukan kebenaran, mudah sekali. Tetapi jika Ia bukan Allah atau Ia bukan kebenaran, maka silakan berikan definisi yang tepat, sesuai dengan apa yang Ia lakukan dan saksikan. Tantangan itu merupakan tantangan yang paling berat bagi para intelektual, yang mempergunakan rasio, agar mereka berpikir secara kristis dan cermat dengan kepekaan logika, untuk membedakan para pemuka masyarakat, pendiri agama dan para tokoh filsafat terpenting di dalam sejarah manusia dengan Kristus. Di sanalah manusia harus memberikan pertanggung-jawaban yang serius.

2. Berbagai macam Kebenaran

Ketika rasio kembali kepada kebenaran, ini disebut iman. Oleh karena itu, iman bukan sekedar mengatakan “saya percaya” lalu dibaptis dan menjadi anggota gereja. Iman adalah keseluruhan pribadi seseorang sebagai manusia dengan rasio yang kembali kepada kebenaran. Iman adalah penaklukkan kebebasan manusia kepada kedaulatan Allah. Maka iman merupakan tindakan secara keseluruhan.

Suatu hari, di harian “Kebenaran” Moskow, ada berita tentang pertandingan antara dua mobil, yang satu mobil Amerika dan yang lainnya mobil Rusia. Akhirnya mobil Amerika yang menang. Maka harian “Kebenaran” itu mencatat: “Perlombaan Mobil Internasional. Akhirnya, muncul sebagai juara kedua adalah Rusia, dan juara kedua dari belakang adalah Amerika.”  Salahkah berita ini? Secara kalimat demi kalimat, berita ini tidak dapat dipersalahkan, tetapi berita ini tidak jujur dan ada usaha manipulasi. Ada data yang disembunyikan, yaitu pembaca tidak tahu berapa negara yang ikut perlombaan. Pembaca mungkin mengira ada 30 mobil yang ikut, sehingga Rusia lumayan mendapat juara kedua, dan Amerika sangat buruk karena menjadi juara ke 29 (nomor dua dari belakang). Padahal pesertanya cuma dua, sehingga juara dua berarti yang paling belakang, sedangkan nomor dua dari belakang justru adalah juara pertamanya. Ini adalah lelucon dalam “Kebenaran”. Di dalam pandangan Kristen, berita ini seluruhnya salah, karena kebenaran bukan sekedar kebenaran fakta, tetapi kebenaran harus menyangkut beberapa tingkatan:

a. Kebenaran Fakta

Yang ‘ya’, katakan “ya”, dan yang “tidak”, katakan“tidak”. Itulah fakta. Kalimat seperti ini adalah kalimat dari Tuhan Yesus yang diri-Nya adalah Kebenaran itu.  Adolf Hitler (1889-1945) pernah mengatakan, jika perkataan bohong diulangi terus menerus sampai seratus kali, maka bohong itu menjadi kebenaran. Ini sikap yang sangat kurang ajar. Maka pada tingkatan pertama, kebenaran harus sesuai dengan fakta. Mungkin fakta itu bersalah, tetapi ketika Saudara menyatakan fakta yang pada hakikatnya salah, sambil menunjukkan kesalahannya, maka Saudara sedang mengatakan kebenaran. Ketika Saudara menyaksikan kebenaran seorang anak yang membunuh ayahnya di depan pengadilan, maka Saudara sedang melakukan kebenaran. Tetapi bukan berarti pembunuhan itu adalah kebenaran. Faktanya yang adalah kebenaran. Inilah aspek pertama, yaitu: Kebenaran adalah fakta. Ini adalah aspek yang paling rendah.

Fakta hanya menyatakan kesungguhan keberadaan sesuatu atau peristiwa, tanpa memberikan penilaian fakta itu sendiri pada hakikatnya benar atau tidak benar. Peristiwa yang saya saksikan mungkin tidak cocok dengan prinsip kebenaran yang lebih tinggi. Penemuan-penemuan di dalam alam semesta, yang merumuskan begitu banyak dalil-dalil dan aksioma-aksioma di berbagai bidang studi, adalah fakta. Tetapi fakta bukanlah kebenaran menyeluruh, hanya menyatakan hal-hal yang “memang demikian”. Tetapi istilah “memang demikian” tetap relatif.

Seorang yang beratnya 75 kg, jika dibawa ke Kutub Utara akan menjadi 74 kg lebih, tidak murni 75 kg lagi, karena tingkat gravitasi yang berbeda. Sains sangat dekat dengan kebenaran yang mutlak, serta dapat memberikan jawaban yang berulang-ulang. Sifat ini berbeda sekali dengan seni. Seni tidak dapat diulangi. Setiap kali seni itu muncul, selalu merupakan ekspresi dari jiwa pada momen tertentu yang tidak pernah terulangi lagi. Tetapi seni tingkatnya lebih tinggi daripada penemuan sains.

Dalam kasus perlombaan mobil di atas, sekalipun secara kalimat kelihatan benar, tetapi di dalam keseluruhannya ada kesalahan. Kesalahan ini muncul karena adanya problema motivasi. Tulisan itu dibuat dengan motivasi cinta Soviet dan membenci Amerika. Maka tulisan itu dibuat bukan dengan memutarbalikkan faktanya, tetapi memutarbalikkan relasi antara satu fakta dengan fakta yang lain.

Maka dalam aspek ini, kebenaran bukan sekedar memaparkan fakta kebenaran saja, tetapi menyangkut dunia atau wilayah yang lain. Jikalau seseorang yang sudah studi sampai tingkat yang tinggi, kemudian mulai tidak mempedulikan orang lain, tidak mempedulikan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dsbnya, maka ia perlu segera ingat bahwa ia baru mengenal kebenaran pada tingkatan yang paling rendah. Ia tidak boleh sombong, karena masih banyak kebenaran dalam aspek-aspek yang lain. Masih ada kebenaran dalam aspek moral atau etika, kebenaran dalam aspek motivasi.

Pada zaman Rasionalisme, beberapa tokoh yang terpenting seperti Leibniz (1646-1716), Spinoza (1632-1677) dan Rene Descartes(1596-1650), memperkembangkan cara berpikir dengan metodologi Rasionalisme. Gerakan ini menghasilkan reaksi sikap skeptik terhadap rasionalisme oleh David Hume (1711-1776) dan Immanuel Kant (1724-1804). Immanuel Kant adalah seorang yang sangat lucu, tingginya hanya 152 cm. Hidupnya sangat teratur. Ia sangat tidak suka ke luar kota. Seumur hidupnya tidak pernah meninggalkan kota tempat tinggalnya. Paling jauh ia pergi tidak lebih dari 20 km. Ia lahir di Konigsburg, besar di sana, sekolah di sana, mengajar di sana, jalan-jalan juga di sana, tua di sana, bahkan mati  dan dikubur di sana juga. Setiap jam 3.00 sore tepat, ia pasti berjalan kaki untuk olahraga. Kecepatan jalannya juga konstan, dan mengikuti jalur yang tetap, sehingga tiba di rumah selalu tepat. Sehingga tetangga-tetangganya dapat mencocokkan jam di rumah mereka menurut perjalanan professor ini. Ia bukan seorang Kristen yang sejati, sekalipun dilahirkan di dalam keluarga Kristen.

Ia merasa bahwa rasio bukan hanya di dalam otak. Pengetahuan bukan hanya di wilayah rasio. Ia mengatakan bahwa rasio mempunyai tiga wilayah, yaitu: (1) rasio murni, (2) rasio praktika, dan (3)rasio kritis.

Sekalipun matematika adalah logika, Kant tidak menganggap semua logika berada di dalam matematika. Blaise Pascal (1623-1662), yang menemukan kalkulator, pernah mengatakan, “Ada semacam pengetahuan yang berbeda dari pengetahuan lainnya. Pengetahuan itu adalah pengetahuan di dalam hati, bukan pengetahuan di dalam otak.”  Jadi ada orang-orang yang mengetahui secara rasional, dan tahu secara hati. Jika Saudara dapat membedakan antara tahu yang pertama dan tahu yang kedua, maka Saudara sudah memiliki tahu yang ketiga, yaitu tahu membedakan tahu pertama dan kedua.

Ketika seseorang memperingatkan teman saya yang baru menerima warisan untuk berhati-hati mempergunakan uangnya, teman saya berkata: “Aku tahu.”  Ini adalah pengetahuan secara rasional. Tetapi kemudian ia benar-benar tertipu dan habis semua hartanya. Ketika orang itu kembali mengingatkan peringatan yang telah diberikannya, teman saya ini sekarang dengan hati yang berat mengatakan, “Aku tahu, sungguh-sungguh tahu.”  Tahu yang kedua ini adalah “tahu” yang keluar dari hati. Tahu setelah melihat semua relasi yang begitu sulit, bukan sekedar suatu analisis otak saja.

Immanuel Kant mengatakan bahwa dua tambah dua hanya merupakan pengetahuan matematika, yang ia sebut sebagai rasio-murni. Tetapi ada juga rasio-praktis. Kalau seseorang tidak pernah menerjunkan diri ke dalam pengalaman itu, ia tidak akan pernah tahu apa itu. Kita dapat mengetahui kalau pohon anggur disiangi akan bertambah berbuah banyak. Tetapi pengetahuan itu bukan pengetahuan sesungguhnya jika kita belum pernah melakukan dan melihat hasilnya. Itu hanya sekedar pengetahuan imigrasi, dipindahkan dari orang lain. Kita baru tahu sesungguhnya jika kita melakukannya, dan setelah itu kita baru mengerti apa yang dikatakan di dalam Yohanes 15:1-8 secara lebih baik.

Sebagai manusia, kita memiliki kewajiban moral, harus berbuat baik, manusia tidak dapat menipu dirinya sendiri, manusia harus berjuang dengan gigih. Pengetahuan seperti ini juga adalah pengetahuan rasio, tetapi tidak dapat diselesaikan di dalam laboratorium. Laboratorium ilmiah terlalu rendah, sehingga ia tidak berhak menguji pengetahuan yang lebih tinggi. Pengetahuan ilmiah tidak dapat menjelajah ke wilayah itu. Lalu, apakah ini bukan kebenaran? Ini tetap adalah kebenaran. Maka rasio tidak hanya berada dalam wilayah rasio murni, tetapi juga di dalam rasio praktika, yang menyangkut wilayah etika, moral, dan praktika.

Selain itu ada suatu rasio lainnya. Ada seorang yang sangat menikmati musik dangdut, atau keroncong, atau rock, atau klasik. Tetapi heran sekali, orang yang menyukai dangdut, kalau sudah menyukai klasik, ia tidak akan melepaskan kesukaannya pada musik klasik. Orang yang suka dangdut dapat melepaskan kesukaan itu, demikian juga orang yang suka pop atau lainnya.Tetapi seseorang yang menyukai musik klasik akan senantiasa langgeng.

Ketika seseorang mengatakan musik klasik lebih enak daripada pop atau country, maka ia sedang menggunakan rasio kritis, yaitu aktivitas rasio untuk menilai atau menghakimi. Tidak dapat dibuktikan. Ketika kita memilih kekasih yang kemudian menjadi suami atau istri kita, kita memilih berdasarkan rasio kritis, karena tidak dapat dibuktikan mengapa kita memilih dia. Setiap orang dapat memiliki selera dan kesukaannya masing-masing, dan selera ini tidak dapat dibuktikan. Inilah rasio kritis. Maka rasio kritis merupakan hal yang penting untuk hidup kita, namun tidak tersangkut-paut dengan rasio yang lain. Rasio jangan dianggap hanya berada di wilayah pengetahuan ilmu saja. Rasio sangat besar, tetapi kebenaran lebih besar lagi daripada rasio.

b. Kebenaran Sejarah

Kebenaran ini juga disebut sebagai kebenaran yang bersifat fakta sejarah. Indonesia merdeka pada tahun 1945. Ini adalah kebenaran, tetapi kebenaran ini berbeda dari kebenaran ilmu. Ketika kita mempelajari dan mengetahuinya, kita mendapatkan kebenaran. Peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. Demikian pula jika kita mengetahui bahwa presiden Amerika Serikat, John Kennedy (1917-1963) dibunuh pada tahun 1963. Pada tahun 1986 presiden Filipina, Ferdinand Marcos (1917-1989) tumbang dari kedudukannya dan diusir keluar dari Filipina. Semua peristiwa ini pernah terjadi pada waktu yang disebutkan. Ini kebenaran.

Tetapi banyak kebenaran yang benar-benar terjadi, pada hakikatnya tidak sesuai dengan kebenaran yang sejati. Sejarah terkadang merupakan catatan tentang kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi, dimana catatan itu sendiri tidak salah. Aspek sejarah adalah “dengan tidak salah mencatat hal-hal yang salah.”

c. Kebenaran Manusia

Kebenaran-kebenaran yang disebutkan di atas adalah kebenaran yang mati, bukan kebenaran yang hidup. Tetapi kini ada kebenaran yang berada di dalam diri manusia, yaitu kebenaran yang menyangkut kehidupan itu sendiri, kebenaran-kebenaran yang menyangkut kehormatan dan harkat manusia, hak asasi manusia, yang terjadi di dalam masyarakat. Jika kebenaran ini diganggu gugat, maka akan timbul akibat dan penyakit yang disebut sebagai penyakit jiwa, baik pribadi atau seluruh bangsa.

Penyakit jiwa yang berakibat dan berpengaruh terhadap sekitarnya akan menghasilkan problema sosial, sehingga timbullah sosiologi. Sosiologi mempelajari terbentuknya masyarakat, munculnya kesulitan-kesulitan dalam masyarakat dan bagaimana menyelesaikan semua kesulitan dan gejala yang tidak benar di dalam masyarakat. Ini adalah kebenaran juga.

d. Kebenaran Relasi

Kebenaran yang mencakup kebenaran di dalam relasi antar oknum. Hubungan atau relasi antar manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam, antara manusia dengan ilah-ilah atau setan-setan.

Fakta adanya relasi, bagaimana cara berelasi dan seberapa jauh relasi itu mungkin terjadi, juga merupakan kebenaran yang harus dimengerti. Kebenaran sampai tingkat ini sudah melampaui wilayah fisika, tetapi tetap perlu dipelajari. Kebenaran seperti ini memang kebenaran yang perlu diketahui, tetapi tetap bukan Kebenaran yang tertinggi itu sendiri.

e. Kebenaran Pencipta

Kebenaran yang tertinggi adalah mengenal Pencipta. Kebenaran yang tertinggi adalah Tuhan Allah sendiri, yaitu Kebenaran itu sendiri. Kebenaran ada pada-Nya, karena Ia yang menciptakan segala sesuatu, Ia yang menentukan semua rumus dan dalil, yang telah disimpan di dalam alam semesta. Ia juga yang mengatur seluruh pergerakan alam semesta. Ia Penentu segala sesuatu. Jangan sekali-kali ada orang yang mencoba menurunkan Allah dari posisi-Nya sebagai Pencipta untuk dikurung di dalam dunia ciptaan yang dicipta oleh Dia sendiri. Itu adalah tindakan bunuh diri.

Allah berada di luar semua dalil manusia. Hidup ini sendiri sudah tidak dapat dikurung oleh hukum-hukum dan dalil-dalil yang kaku dan sempit. David Hume, seorang Skeptik terbesar di dunia dari Skotlandia, ketika tua ia berkata, “Natur atau alam ini terlalu kuat untuk logika dan prinsip.”

Pada umumnya, jika kita sudah mempelajari sesuatu, kita cenderung memakai prinsip-prinsip yang sudah kita pelajari itu untuk mengatur segala sesuatu, termasuk prinsip kita. Terkadang saya ingin tertawa terhadap orang yang terlalu percaya pada sistem, seolah-olah sistem itu adalah Tuhan Allah. Saya percaya Allah lebih besar daripada  sistem manusia manapun. Jikalau gereja memperilah sistem, maka gereja itu mulai menggali kuburan untuk dirinya sendiri.

Heran sekali, saya memperhatikan bahwa gereja-gereja yang organisasinya besar dengan sistem yang kaku, keuangan yang kuat, justru adalah gereja yang tidak berkembang, tetapi kalau mengadakan rapat waktunya sampai pagi. Mengapa? Karena yang dirapatkan dan didiskusikan adalah hal-hal yang lebih bersifat administratif, yang sepele, membicarakan cara memindahkan dan menjatuhkan orang, dsbnya; tetapi justru tidak membicarakan bagaimana menginjili orang, bagaimana memperlebar Kerajaan Allah. Akhirnya diri sendiri mengurung diri sendiri. Celakalah gereja seperti itu, jika kita tidak memfokuskan diri ke dalam hati Tuhan, kehendak Tuhan dan rencana Tuhan yang agung, dan mengilahkan sistem.

Hidup terlalu kuat untuk logika dan kasih terlalu kuat untuk rasio. Kita terbiasa berjalan di dalam sistem yang kita buat sendiri, lalu mengkotak-kotakkan segala sesuatu dan dimasukkan ke dalam sistem yang kita biasa pakai. Padahal kebenaran jauh lebih besar daripada itu, apalagi kebenaran Tuhan Allah sendiri.

Alkitab dengan tegas menyatakan perkataan Allah: “Menurut engkau, siapakah Aku?” Allah jauh melampaui kemampuan pikiran kita. Itu sebab, seorang teolog liberal yang bernama Albert Schweitzer dari Jerman (1875-1965), pada saat tua mengungkap kalimat: “Terlalu sulit untuk menangkap Kristus agar kita dapat mengerti Dia di zaman kita.”  Bagaimanapun usaha manusia membuat suatu kotak, lalu menurunkan Kristus, memasukkan ke dalam kotak itu, lalu berusaha menyelidikinya, Ia pasti lepas, tidak mungkin dapat terkurung. Kristus jauh lebih besar daripada kemungkinan rasio kita memikirkannya.

Namun, ada satu hal yang membuat kita dapat kembali kepada-Nya, yaitu iman yang sejati yang sesuai dengan wahyu Allah yang sejati di dalam Kitab Suci. Kecuali jalan ini, tidak ada lagi jalan yang lain. Pada saat seseorang menaklukkan terlebih dahulu pikirannya, kekuatan rasionya kepada kebenaran, maka ia menjadi orang beriman.

3. Rasio dan Kesetiaan pada Kebenaran

Iman dalam bahasa Yunani: pistis  dan dalam bahasa Latin: fide.  Di dalam bahasa Inggris adaistilah “fidelity”. Istilah ini merupakan perkembangan dari istilah fide atau iman. Iman berarti setia kepada kebenaran. Inilah istilah yang paling singkat dan tepat untuk iman.

Suara stereo yang baik sering disebut hi-fi, singkatan dari high fidelity. Fidelity adalah kesetiaan, sehingga hi-fi adalah kesetiaan yang tinggi. Jika Saudara sering mendengar pementasan musik klasik, Saudara pernah mengikuti pagelaran konser dari NewYork Philharmonic Orchestra yang dipimpin oleh Zubin Mehta di Balai Sidang, maka Saudara akan melihat ada daerah-daerah yang ditutup dan tidak dipakai untuk tempat duduk penonton. Daerah-daerah itu disebut sebagai “tidak layak duduk” (insufficiency seat). Karena arsitektur akustik gedung ini kurang baik untuk konser. Saya berani mengatakan hal seperti ini, karena saya mempelajari arsitektur.

Gedung ini hanya kira-kira cukup untuk 1.800 orang yang mendengar musik secara paksa. Sebenarnya gedung yang baik, semua konser tidak perlu memakai mikrofon. Kalau gedung itu pakai mikrofon, itu tandanya akustiknya kurang baik. Seorang penyanyi yang baik akan menyanyi dari diafragma, sehingga suaranya mempunyai proyeksi yang cukup tanpa mikrofon. Jika sering mendengar musik-musik yang begitu tinggi mutunya, Saudara baru dapat membedakan berbagai macam-macam amplifier dan speaker.  Belum tentu yang harganya mahal atau produk terbaru lebih baik dari yang lebih murah atau yang bekas.

Orang di Indonesia biasa membunyikan musik sekeras mungkin. Saya tidak mengerti cara seperti ini. Alat penguat musik yang baik akan mampu mengeluarkan semua alat musik setepat aslinya, bukan suara terompet seperti trombone, atau suara biola seperti organ, suara manusia seperti burung. Di sini alat-alat penguat musik ini diuji kesetiaannya terhadap yang aslinya.  Jepang, baru sekitar sepuluh tahun ini mampu membuat speaker yang baik, karena di Jepang tidak ada orchestra yang baik dan baru sekarang ada. Empat puluh tahun yang lalu ada speaker Mitsubishi yang lumayan baik, harganya sangat mahal, hanya untuk konsumsi para bangsawan. Tetapi di Eropa, khususnya di Inggris, London selalu menjadi pusat pagelaran. Banyak orang yang dapat menangkap secara cermat suara Oboe, Clarinet, Drum, Timpani, Piano, dll., sehingga mereka mampu segera membedakan suara alat reproduksi musik yang setia atau kurang setia. Di sinilah muncul istilah hi-fi.

Banyak kaum intelektual merasa kalau percaya kepada Yesus Kristus berarti membunuh rasio dan memusnahkan fungsi intelektualnya. Saya tidak meminta Saudara membunuh rasio dan menjadi percaya takhyul. Silakan ragu, tetapi dengan hati nurani yang murni dan motivasi yang jujur ingin mencari kebenaran, bukan mau menegakkan kebenaran sendiri. Akhirnya Tuhan pasti akan memimpin Saudara. Dan ketika Saudara mengerti bagaimana penafsiran kebenaran yang sejati, Saudara mungkin menjadi setia. Ketika Saudara setia kepada kebenaran, berarti Saudara dapat beriman.

Tidak benar orang yang mengatakan jika seseorang mencapai pengetahuan yang tinggi sekali, ia tidak dapat beriman dan tidak dapat percaya Yesus Kristus. Mereka mungkin percaya kepada Yesus Kristus, asal kita dapat menjelaskan kebenaran sebenar mungkin, sehingga mereka mengetahui penafsiran yang benar. Itulah tugas kita sebagai orang Kristen. Setiap orang Kristen harus mampu menjelaskan iman kita sejelas dan sebenar mungkin, dan untuk itu kita perlu belajar banyak hal.

Di Indonesia terlalu banyak pendeta, majelis, pengurus gereja yang sudah merasa puas diri. Terlalu banyak orang Kristen yang baru belajar sedikit sudah berani khotbah. Akhirnya kebenaran dikhotbahkan menjadi ketidak-benaran. Orang yang harusnya dapat percaya dengan benar jadi tidak percaya. Akibatnya orang-orang pandai yang berpikiran tajam semua berada di luar gereja, yang masuk gereja adalah yang bodoh dan yang pikirannya tidak tajam. Celakalah kekristenan seperti ini.

Setiap pekerjaan besar dan tugas kenabian perlu revolusi. Untuk pekerjaan ini perlu dukungan Roh Kudus yang kuat untuk memutarbalikkan seluruh nasib kekristenan di dalam sejarah, yang perlu kita garap di Indonesia. Semua yang sungguh-sungguh mempelajari Alkitab, sebenarnya hanyalah murid kebenaran saja. Kita perlu berjuang untuk sesetia mungkin kepada kebenaran, sehingga kemurnian iman semakin dapat didekati dan dicapai. Perjalanan kita beriman adalah perjalanan kita menaklukkan diri kepada kebenaran. Semakin setia, makin beriman teguh. Berhati-hatilah dengan rasio, karena rasio seringkali berubah arah.

Martin Luther pernah mengatakan kalimat yang mengejutkan: “Rasio itu pelacur.” Mengapa? Karena rasio selalu mencari alasan untuk mendukung apa yang telah ia tetapkan terlebih dahulu. Kalau seseorang sudah berniat berbuat dosa, lalu ia mencari berbagai macam alasan, sehingga jika ia ditanya ia dapat membela diri untuk menyatakan dirinya tidak bersalah. Dengan demikian, ia sudah memperalat rasio untuk menaati ketidak-setiaan manusia yang tidak berarah. Oleh karena itu, rasio disebut sebagai pelacur. Jika isteri Saudara hari ini mengatakan kepada Saudara, “Engkau suamiku”, lalu esok mengatakan kepada orang lain, “Engkau suamiku”, lalu esoknya lagi berbicara dengan nada yang merdu kalimat yang sama kepada orang lain lagi, maka Saudara pasti akan benci sekali kepadanya. Itulah kemungkinan rasio Saudara. Kita perlu mempertahankan kesetiaan rasio kita di hadapan Tuhan, karena rasio kita adalah mempelai Tuhan yang adalah kebenaran. Kesetiaan ini disebut sebagai fide, yaitu: iman. Gereja adalah mempelai Kristus, pikiran adalah mempelai dari kebenaran Kristus.

Biarlah pikiran kita dipenuhi oleh firman. Tuhan menciptakan otak dan Tuhan mewahyukan kebenaran supaya otak yang dicipta tersebut dipimpin dan dipenuhi oleh kebenaran yang diwahyukan.

Amin.

 

Sumber:

 

Nama Buku        :  Iman, Rasio dan Kebenaran

Sub Judul          :  Kebenaran

Penulis              :  Pdt. DR. Stephen Tong

Penerbit            :  Momentum, 2011

Halaman            :  59 – 71

 

Sumber : https://www.facebook.com/notes/sola-scriptura/kebenaran-artikel-pdt-dr-stephen-tong/632444193470704