Dalam suatu obrolan dengan rekan kerja yang sudah senior baik usia maupun kepangkatan mengatakan kepada saya, “sungguh demikian sulitnya bekerja di suatu kantor yang memiliki dasar aturan dalam melaksanakan pekerjaan, dimana aturannya sering mengalami perubahan-perubahan, salah satunya kantor kita ini.” Lanjutnya, “terlambat mengikuti ketentuan baru, saya sudah tidak mengerti apa-apa?.”  Hal yang diucapkan rekan saya itu memang tidaklah salah, kantor pajak adalah wilayah yang rentan dengan kepentingan-kepentingan dan untuk hal itu sering terjadi perubahan-perubahan dalam ketentuannya. Maka untuk membantu mengingatkan, saya mencoba menulis dan mengingatkan kembali hal-hal apa tentang ketentuan yang terbit dan penting  yang akan berlaku di awal tahun 2014. Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca setia nusahati pada umumnya, dan tentu pembelajaran buat saya pribadi.

Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21/26

Adanya perubahan formulir serta tata cara pengisian SPT PPh Pasal 21/26 yang berlaku untuk masa Januari 2014,  hal ini dilakukan dengan motivasi untuk lebih memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam melaporkan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26. Perubahan ini sesuai dengan dikeluarkannya PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013  tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

Formulir

SPT Masa PPh Pasal 21/26  dalam PER-14/PJ/2013 ini yang berlaku sejak 1 Januari 2014 terdiri atas :

  1. Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 – (Formulir 1721);
  2. Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya -(Formulir 1721-I);
  3. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 – (Formulir 1721-II);
  4. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final)-(Formulir 1721-III);
  5. Daftar Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau Bukti Pemindahbukuan (Pbk) untuk Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 – (Formulir 1721-IV);
  6. Daftar Biaya – (Formulir 1721-V);

Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-14/PJ/2013 ini terdiri dari:

  1. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) atau Pasal 26 – (Formulir 1721-VI);
  2. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) -(Formulir 1721-VII);
  3. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala – (Formulir 1721-A1);
  4. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya – (Formulir 1721-A2);

Kewajiban Menyampaikan SPT dan e-SPT

Seperti kita ketahui bahwa dalam menyampaikan pelaporan yang dilakukan oleh pemotong dapat menggunakan formulir kertas (hard copy) dan e-SPT.  e-SPT adalah data SPT Pemotong dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Pemotong PPh dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Terkait dengan aplikasi e-SPT dalam aturan ini dapat diminta kepada KPP di tempat wajib pajak terdaftar.

Formulir kertas (hard copy) dan e-SPT digunakan oleh pemotong yang melakukan hal-hal sebagai berikut :

  • Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  • melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  • melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  • melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.

Perlu dipahami bahwa apabila pemotong telah memilih untuk menggunakan e-SPT maka untuk selanjutnya tidak diperkenankan untuk menggunakan formulir kertas (hardcopy) untuk masa-masa berikutnya (jika tidak menyampaikan e-SPT dianggap belum menyampaikan SPT Masa PPh 21/26).

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT wajib digunakan oleh Pemotong yang:

  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  2. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  3. melakukan pemotongan PPh Pasal 21(Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  4. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.

Pembetulan

Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan/atau pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk masa pajak Desember 2013 yang dilakukan:

  • sampai dengan tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/ PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26;
  • setelah tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Faktur Pajak Elektronik 

Dengan motivasi  memberikan kemudahan kepada Pengusaha Kena Pajak dalam membuat Faktur Pajak dengan menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi secara aman, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/ PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak.

Beberapa Istilah

Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Faktur Pajak

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Faktur Pajak dibuat pada saat :

  • saat penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 16D Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
  • saat penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
  • saat ekspor Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
  • saat ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; dan/atau
  • saat ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Bentuk Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan ini adalah :

  1. Faktur Pajak berbentuk elektronik,  Faktur Pajak yang dibuat secara elektronik sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak yang berbentuk elektronik, untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
  2. Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy), Faktur Pajak yang dibuat tidak secara elektronik berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak untuk setiap penyerahan dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

  1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
  2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  3. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
  4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
  6. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Untuk Faktur Pajak berbentuk elektronik, tanda tangan terkait “nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak” berupa Tanda Tangan Elektronik.

Faktur Pajak berbentuk elektronik wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak mengikuti tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dan Kriteria Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik dan telah memenuhi kriteria yang ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.  Pengusaha Kena Pajak yang telah diwajibkan membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik namun tidak membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik atau membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik namun tidak mengikuti tata cara, Pengusaha Kena Pajak tersebut dianggap tidak membuat Faktur Pajak.

Dalam hal terjadi keadaan tertentu yang menyebabkan Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik tidak dapat membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik, Pengusaha Kena Pajak tersebut diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy).  Keadaan tertentu yang menyebabkan Pengusaha Kena Pajak tidak dapat membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik sebagaimana adalah keadaan yang disebabkan oleh peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan sebab lainnya di luar kuasa Pengusaha Kena Pajak, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Terkait  Peraturan Direktur Jenderal Pajak dimaksdu di atas, mari  kita sama-sama menantikan. :).

 

Bersambung…