Yesus Kristus berkata dalam satu kalimat yang saya kagum luar biasa, “Semua yang dianggap mulia dan hormat oleh manusia adalah hal yang sangat keji di mata Tuhan.” Yang dianggap mulia dan hormat oleh manusia, sangat dibenci di hadapan Tuhan. Kemuliaan dunia ini sangat dibenci Tuhan karena Allah melihatnya sebagai kekejian; semua itu adalah kemuliaan sementara, apakah yang disombongkan? Perempuan yang paling cantik yang berjalan dengan merasa hebat, tiga puluh tahun lagi menjadi encim (tante tua). Apa yang disombongkan? Yang gagah seperti Saul, apa yang bisa disombongkan? Janganlah saudara sombong. Kita melihat banyak anak-anak muda sekarang, baru tahu sedikit sudah merasa sombong, mengira kita tidak mengerti, padahal kita sudah melewatinya terlebih dahulu. Kalau ada orang kaya, orang ganteng, orang sehat, orang berkuasa, biarkan saja, asal semua yang diperooleh dari anugerah Tuhan dengan kewajiban etika yang baik.
Sikap Melawan Iri Hati
Kita harus memiliki beberapa sikap terhadap orang yang mempunyai kelebihan dari kita. Pertama, kita berani menemukan kelebihan orang lain. Temukanlah kebaikan orang lain, kehebatan orang lain, keunggulan orang lain dan berbagai kelebihan lainnya. Semua kelebihan, semua hak istimewa yang dimiliki orang lain, harus kita temukan. Orang yang tidak menemukan kebaikan orang lain, dan hanya menemukan kesalahan orang lain, adalah orang yang tidak akan pernah bisa maju. Ada seorang yang mendengar khotbah D. L. Moody, lalu mengatakan,”Moody, apakah kamu tahu, kamu sudah membuat 28 kesalahan gramatika dalam khotbahmu?” Bagaimana jawab Moody? Ia berkata,”Saya kira lebih dari 28 kali,” lalu ditambahkan satu kalimat,”namun saya sudah berusaha melakukan yang sabaik mungkin, bagaimana dengan mu?”
Ada jenis orang yang suka mencari kelemahan orang lain. Kalau kamu menjadi pengunjung suatu gereja dan mau mencari kelemahan gereja tersebut, pasti kamu akan menemukan banyak sekali kelemahannya. Kalau kamu menemukan banyak kelemahan di gereja yang saya pimpin, sesudah itu kamu memberitahukan kelemahan-kelemahan itu kepada saya, maka saya akan menambahkan lagi dua kali lebih banyak. Saya bukan tidak tahu hal itu, tapi kami sudah berusaha dan bekerja setengah mati dengan kekuatan minim, dengan uang yang minim, dan daya yang minim untuk mengerjakan semuanya dengan sebaik mungkin yang dapat kami kerjakan. Satu orang harus bekerja mati-matian mengimbangi satu zaman ini. Kita sudah kerjakan sebaik kita, bagaimana dengan mu ? Jadi kalau kamu sudah bekerja sebaik mungkin, tetapi diiri, jangan takut, dikritik juga tidak usaha takut.
Kalau ada orang yang tahunya hanya mengkritik orang lain, orang itu sendiri tidak akan maju-maju. Karena dia hanya tahu melihat yang jelek-jelek. Peribahasa Tionghoa mengatakan, “zhui mao qiu ci ” artinya, ada orang yang mencari-cari cacat seekor kucing, tetapi tidak mendapati ; dan karena tidak senang dengan kucing itu, akhirnya dia mencari kejelekan dengan cara meniup bulunya, barang kali ada bekas luka di dalam bulu-bulu itu. Jadi, mencari cacat melalui meniup bulu. Kalau orang sudah biasa mencari kelemahan orang lain, tidak mungkin bisa menikmati kelebihan orang lain. Saya tidak membiasakan diri seperti itu. Dengan jujur dari dalam hati saya dihadapan Tuhan, saya bertanya, “Tuhan, sinarilah hatiku, apakah dihatiku ada iri ?” Jawabannya adalah, setahu saya hampir tidak pernah ada. Itulah sebabnya hidup saya penuh dengan gairah melayani. Karena saya tidak ada iri hati, tidak mau iri hati, dan tidak merasa perlu iri hati.
Waktu saya masih muda sekali, saya memiliki satu logika, yaitu jikalau orang lain bisa, maka saya harus belajar juga untuk bisa, siapa tahu saya juga bisa. Kalau saya bisa apa yang mereka bisa, tak perlu dan tak usah iri. Kalau akhirnya setelah belajar mati-matian, masih tidak bisa melakukan apa yang bisa mereka lakukan, juga tidak ada gunanya iri. Yang bisa dipelajari, marilah kita pelajari sebaik-baiknya; yang tidak bisa kita pelajari, tidak perlu iri hati. Dua-duanya tidak perlu ada iri. Maka secara logika, tidak ada tempat bagi iri hati untuk hidup di dalam diri kita.
Pada usia delapan tahun, saya sudah mencoba belajar membordir. Saya membordir dengan rapi. Ketika saya berusia sepuluh tahun, menjelang tahun baru mama terlalu sibuk, sehingga tidak sempat membelikan baju baru untuk saya. Maka malam itu, malam sebelum tahun baru, saya memotong kain dan menjahit. Keesokan harinya saya memakai baju buatan sendiri. Itu usia sepuluh. Mama saya melihatnya dan bertanya, “baju dari mana ini?” “Baju buatan saya sendiri.” Mama tidak melihatmu membuatnya?” “Karena mama sudah tidur saat itu.” “Ini kan pekerjaan perempuan?” Pekerjaan laki-laki saya bisa semuanya, apa salahnya saya juga bisa pekerjaan perempuan? Betul bukan? Di dunia ini mamasak adalah pekerjaan perempuan, tetapi koki yang paling baik adalah laki-laki. Menjahit adalah urusan perempuan, tetapi penjahit yang paling baik adalah laki-laki. Jadi, kalau mau belajar, tidak perlu iri. Yang orang lain bisa lakukan, saya juga mau belajar untuk bisa melakukannya juga. Dengan demikian, kita mengalahkan iri hati dengan semangat senantiasa mau belajar. Saya juga melihat ada orang yang dapat menulis kaligrafi dengan sangat bagus. Maka saya berjuang untuk belajar menulis kaligrafi. Dan pada usia sepuluh tahun, cara saya menulis kaligrafi sudah seperti mereka yang lulus SMA. Ini karena mau belajar. Yang bisa belajar, belajar.
Iri Yang Positif
Ada orang berkata kepada saya, Enak ya, apapun kamu bisa.“ Mereka tidak tahu berapa banyak waktu yang sudah saya pakai untuk belajar sesuatu yang ingin saya pelajari? Kalau saya ingin mengerti satu hal, saya membaca sampai ratusan buku, belajar habis-habisan sampai bisa. Kalau kamu tahu hanya iri, kenapa dia bisa, saya tidak bisa?“ maka kamu harus iri kepada kerajinannya, usahanya, dan pengorbanannya. Itu iri yang sehat, iri yang suci. Jika kamu tidak mau iri terhadap semangat dan upaya yang dicurahkannya di dalam pembelajaran, tetapi hanya iri mengapa orang lain bisa, itu adalah penganiyaan emosi. Berapa banyak harga yang dibayar olehnya? Berapa banyak air mata yang telah dicucurkannya? Sering kali kamu tidak melihatnya. Berapa banyak pengorbanan yang sudah diberikannya? Kamu juga sering tidak melihatnya. Yang sering kamu lihat hanyalah suatu iri hati akibat orang lain lebih unggul daripada kamu.
Saya ingin bertanya, antara orang yang memesan dan membayar suatu barang, dengan orang yang menerima pesanan dan setengah mati mengerjakan barang pesanan itu, siapa yang lebih kaya? Manakah yang lebih kaya, antara orang yang bekerja setengah mati mendapatkan uang, atau orang yang tidak perlu bekerja, pokoknya tinggal membayar saja?“ Kita sering kali beranggapan tentu lebih kaya yang membayar. Jadi, itu berarti orang Jerman miskin dan orang Indonesia kaya? Orang Indonesia membeli Mercedes, beratus juta dibayar, dan orang Jerman harus bekerja setengah mati untuk membuat Mercedes; Apakah hal sedemikian kita anggap sebagai penganiayaan orang kaya terhadap orang yang bekerja keras? Mengapa orang Indonesia, ketika sekolah SD dan SMP tidak beres, sampai SMA tawuran, lalu ketika kuliah tidak mau belajar baik-baik, setelah menjadi pejabat melakukan korupsi? Jika negara memiliki rakyat seperti ini, kapan bisa menjadi kuat dan kaya? Kalau dalam pendidikan anak-anak sejak masih kecil tidak diarahkan dan diajarkan untuk rela berkorban, rela mencucurkan air mata dan keringat, dan mau bekerja setengan mati, apa yang akan terjadi? Yang terjadi adalah orang-orang yang hanya tahu iri hati saja. Mau jadi apakah anak-anakmu, jika dari kecil dimanja, hanya mau enak dan tidak mau hal yang susah, dan terlalu meminta segala kemudahan? Biar kita mengajar mereka bekerja berat, sehingga hal ini kelak menjadikan mereka orang-orang yang tangguh dan tidak bersifat iri hati.
Mesin yang paling baik, jika ada satu persen saja yang tidak akurat sudah tidak bisa berfungsi baik. Orang yang bekerja setengah mati baru bisa menjual barang, biasanya bukan orang kaya, tetapi akhirnya menjadi kaya, karena dia berjuang, melakukan penelitian yang ketat dan rela berkorban. Mengapa Toyota unggul dibandingkan dari kebanyakan pabrik mobil lainnya? Saya bukan dealer Toyota, tetapi saya kagum, karena Toyota memakai 24 persen dari keuntungannya untuk riset. Tidak pernah ada pabrik yang melebihi itu. Keuntungan uang yang diperoleh bukan untuk memberikan uang kepada anaknya untuk pergi melacur, bukan untuk pergi bertamasya, tetapi 24 persen harus untuk riset membuat mesin yang lebih baik. Terus menanam modal dari keuntungan yang banyak itu, akhirnya mesin Toyota hampir tidak perlu banyak perbaikan. Meskipun naiknya tidak seenak Mercedes, tetapi mesinnya tidak rewel.
Dulu di Hongkong, mengherankan sekali semua taksi menggunakan Mercedes. Tapi kira-kira tiga puluh lima tahun yang lalu, pertama kali Toyota dipakai sebagai taksi. Taksi yang dipakai yang dipakai dijalanan Hongkong yang berbukit dan bergunung itu membuat heran sopir mengapa temperatur mobil tidak menjadi panas? Mobil apa ini? Toyota. Maka mulailah dalam dua tahun, semua taksi Mercedes berubah menjadi Toyota atau Nissan. Karena Toyota berani investasi, berani bekerja, berani berkorban.
Kalau kamu iri, irilah kerajinan orang lain, irilah pengorbanannya untuk mencapai suatu kualitas yang lebih baik, irilah ketekunan bekerjanya, dan irilah semangat banting tulangnya. Itulah iri suci, iri yang baik. Kalau saya mengatakan jangan kuatir, maka untuk masalah iri hati, saya mengatakan, iri yang benar itu perlu. Iri kalau orang rajin, iri kalau orang berkorban. Iri kalau orang membanting tulang. Iri kalau orang berkeringat dan bekerja keras. Kalau iri kesuksesan, keunggulan, uang yang diterima orang lain, itu tidak ada gunanya. Iri bekerja, iri mati-matian, iri bagaimana berbanting-banting tulang. Itu iri hati yang diperlukan.
Akhirnya, Daud yang diiri tidak menjadi rugi. Saul yang iri mati sendiri. Di dalam Alkitab kita melihat Kain yang iri kepada Habel akhirnya membunuh. Saul yang iri kepada Daud, akhirnya juga mau membunuh. Iri mengakibatkan kebencian dan pembunuhan, karena mau mempertahankan status quo. Itu semua tidak ada gunanya.
Bagian ini saya akhiri dengan sebuah cerita yang mungkin pernah kamu dengar, tetapi sangat diperlukan. Suatu kali kota Athena memberikan sebua meja marmer dari Italia Selatan yang bagus sekali untuk dihadiahkan kepada Plato sebagai “the honored citizen of Athens” (warga Atena yang terhormat). Plato begitu senang, lalu dia mengundang semua kawannya untuk berpesta merayakan hal itu. Semua datang, makan dan minum. Saat acara itu hampir selesai, datanglah seorang kawan Plato yang juga adalah seorang filsuf, dengan sepatu yang kotor dan penuh dengan lempung karena telah berjalan berkilo-kilometer dari desanya. Dia berkata,“Saudara-saudara, saya khusus datang dari desa kecil saya karena saya sangat menghormati Plato. Saya tahu Plato diangkat menjadi anggota warga kota yang mulia dan terhormat, dan dihadiahi marmer yang begitu indah.“ Kemudian dia langsung melompat ke atas meja itu, dan dengan sepatu kotornya menginjak-injak meja itu, “supaya Plato tidak sombong, maka saya harus menginjak meja ini untuk mengingatkannya. Saya menginjak-injak kesombongan Plato,“ Sesudah itu orang tersebut turun dari meja, Apakah benar Plato sombong? Apakah benar Plato congkak karena diberi marmer? Tidak, dia hanya menyelenggarakan pesta untuk merayakan bersama. Kalau kamu menjadi Plato, apakah kamu akan marah besar atau tidak? Mungkin sebagian besar dari kita akan marah besar, karena kita merasa kita tidak sombong, tetapi dituduh sombong, dan marmer hadiah yang begitu indah telah dikotori. Tetapi Plato diam, karena dia seorang filsuf, Setelah diam, dia masuk kamar keluar dengan sebuah sapu, menyapu meja tersebut. Kata Plato,“Kawanku yang agung, dengan persahabatan yang begitu hebat, kamu rela datang dari tempat yang begitu jauh untuk merayakan keunggulan kamu, aku sangat berterima kasih. Aku lebih berterima kasih lagi karena kamu telah menginjak-injak kesombonganku, tetapi sekarang, aku harus menyapu iri hatimu.“
Dia menginjak kesombonganku, dan aku menyapu iri hatinya.“ Dari situ orang Gerika mengetahui, orang yang iri hati selalu mengatakan orang lain sombong. Orang kalau dikatakan sombong, yang mengatakannya sudah mempunyai iri hati. Iri dan sombong itu saudara sepupu, ada hubungannya. Kalau ada orang terus berteriak ,“Kamu sombong, kamu sombong,“ tetapi kamu sebenarnya tidak sombong, berarti orang tersebut sudah mulai iri. Kita harus berhati-hati. Jangan karena kalimat-kalimat yang tidak beres, kita menyatakan kebodohan sendiri atau melukai orang lain. Biarlah kita mengerti bahwa, yang patut dipuji, dipuji; yang patut dihormati, dihormati; yang patut ditakuti, ditakuti. Karena ini patut, sebagaimana uang sepuluh ribu jangan dipakai sebagai seribu, atau uang lima puluh ribu dipakai satu juta. Uang lima puluh ribu, adalah uang lima puluh ribu, uang seribu adalah seribu, warna sama tapi percuma nilainya berbeda. Manusia juga berbeda.
Kalau ada orang yang lebih pintar darimu, apakah yang harus kamu lakukan? Pertama, menemukan kepintarannya, kalau memang dia lebih pandai dan lebih hebat, belajarlah untuk bisa menemukan kepintaran atau kehebatannya itu. Kedua, menikmati kepintarannya. Kita minta Tuhan mengajar kita untuk bisa menikmati kepintarannya itu, sehingga bisa berdampak positif bagi hidup kita. Kita tidak mengkritik dia, atau iri hati terhadapnya. Ketiga, bersyukur kepada Tuhan untuk kepintarannya. Kita perlu bersyukur melihat Tuhan telah mencipta manusia dengan kepintaran seperti itu, atau juga orang yang begitu cantik, begitu ganteng, begitu hebat, begitu sehat. Keempat, memuji kepintarannya, kita boleh memberitahukan keunggulannya tersebut. Kita bisa memuji perjuangannya, semangat belajarnya, dan seterusnya. Kelima, belajar darinya. Kita juga bisa bertanya apa yang menjadi rahasia kehebatan dan kepintarannya itu. Kita bisa belajar dari semangat dan kerelaannya berkorban, dan kita bisa mencoba untuk bertumbuh dan menjadi seperti dia. Inilah lima hal yang bisa kita pelajari dan perkembangan. Kalau kelima hal ini ada padamu, lambat laun kamu akan belajar memperbaiki diri, akhirnya semua kebaikan orang lain akan dimiliki olehmu, maka kamu mirip malaikat. Kamu yang hanya bisa terus menerus mengkritik saja, pelan-pelan merasa diri lebih hebat dari orang lain, maka kamu menjadi mirip dengan setan. Saya rindu semua orang mempelajari semuanya ini, belajar dari Tuhan untuk menjadi lebih baik daripada saya. Beritahukanlah semua kelemahan saya, dan saya akan mempelajari semua itu. Semua yang baik dan kelebihan saya, pelajarilah itu baik-baik. Sama seperti Paulus berkata, Teladanilah aku sebagaimana aku meneladani Tuhan.“ Saya betul-betul dengan jujur di hadapan Tuhan berkata,“Marilah kita belajar semakin lama semakin suci, dan semakin mencintai Tuhan. Amin.“
Diambil dari buku Pdt. Dr. Stephen Tong , DLCE: Pengudusan Emosi (Hal 177 s.d 186)