Pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) menimbulkan keguncangan besar bagi pengusaha yang tidak siap. Banjir produk murah Republik Rakyat Tionghoa (RRT) ke negeri ini nampaknya hanya mungkin diatasi dengan peningkatan kualitas produk Indonesia. Pemikiran Pdt. Dr. Stephen Tong (teolog, filsuf, budayawan, dan pendiri RCRS) tentang ekonomi yang dibangun berdasarkan Alkitab menjadi penting dalam menghadapi tantangan ekonomi Indonesia itu.

Manusia dicipta sebagai makhluk ekonomi. Manusia diperintah untuk mengelola segala sesuatu yang diciptakan Tuhan untuk melestarikan hidup manusia itu sendiri. Sayangnya, egoisme yang menjadi dasar dosa itu telah menghancurkan kemampuan manusia mengelola alam, kemalasan menghambat kemajuan umat manusia.

Demi optimalisasi pengelolaan alam secara tepat, harus ada sistem ekonomi yang baik. Sistem ekonomi yang baik membuat negara yang miskin sumber daya alamnya dapat tampil menjadi negara kaya, sebaliknya negara dengan sumber daya alam melimpah dengan sistem ekonomi yang buruk menjadi negara miskin. Indonesia termasuk negara paling kaya di dunia. Kalau diberlakukan embargo, Indonesia tidak mungkin mati, sebab apa pun ada di negeri ini. Apalagi jika Indonesia memiliki teknologi handal Indonesia pasti kaya.

Dahulu, negara-negara Asia tertinggal jauh dari negara-negara Barat. Penyebabnya, Barat menguasai teknologi dan memiliki sistem administrasi yang jauh lebih baik dari Asia. Setelah Asia mengalami kemajuan teknologi dan administrasi banyak negara-negara Asia menjadi negara maju. Namun egoisme dan ketamakan tetap menjadi hal yang menghambat kemajuan manusia.

Ekonomi suatu negara bisa kuat, apabila negara tersebut mampu memproduksi bahan yang bernilai jual. Sangat penting, setelah dapat uang, tahu bagaimana mengelola keuangan dengan baik. Untuk itu egoisme, ketamakan, dan semua yang menghambat kemajuan manusia harus dikikis habis. Orang Indonesia tidak kalah pintar dengan bangsa apa pun di dunia, asal mampu menggarap hal yang penting itu, yaitu otak. Sumber daya terpenting yang membuat manusia kaya, bukan tanah, sawah, atau laut, tetapi otak. Buktinya, Swiss negara yang miskin sumber daya alamnya bisa menjadi negara kaya karena penguasaan teknologi. Satu buah jam tangan Patek Philippe buatan Swiss bisa senilai 10 hektare hasil bumi Indonesia. Hal itu mungkin karena otak yang cemerlang, penguasaan teknologi menambah nilai bahan mentah (raw material) yang harganya murah sekali.

Hal lain yang memiliki peran penting bagi kemajuan suatu bangsa adalah hati. Mengenai pentingnya hati, Paulus berkata dalam Alkitab, kerjakanlah segala sesuatu seperti bekerja di hadapan Tuhan Allah (Efesus 6:5-7). Kalau majikan ada, pasti kita tidak berani malas. Majikan paling tinggi Tuhan. Dia memberikan segala sesuatu kepada manusia. Jika kita mengerti hal ini, kita akan mengerjakan segala sesuatu dengan hati-hati, rajin, dan bertanggung jawab. Hati yang jujur, kesungguhan untuk bekerja sebaik mungkin, adalah warisan Reformed theology. Do everything the best, do everything to please God, do everything before His eyes.

Segala sesuatu dikerjakan sebaik mungkin, se-setia mungkin, semaksimal mungkin. Dengan demikian, stewardship memakai waktu dengan setia, memakai otak dengan setia, memakai talenta dengan setia, memakai bakat, memakai sumber alam, memakai uang dengan setia. Inilah yang ditemukan Max Weber mengapa Protestan mendorong munculnya kapitalisme.

Kapitalisme itu sendiri sudah ada sebelum Protestan. Kontribusi Protestan yang menekankan Calvinisme adalah memberikan dorongan bagaimana menjadi orang yang bertanggung jawab di dalam mempergunakan apa yang Tuhan tanam di dalam hati dan mengelola apa yang Tuhan taruh di dalam alam untuk menjadi sesuatu yang membahagiakan manusia.

Akhirnya, setelah beratus-ratus tahun kemudian, dunia terbagi menjadi dua kelompok negara: consumptive nations dan productive nations. Pada tahun 1965, setelah perang dunia kedua, Jenderal George Marshall diperintahkan untuk memulihkan ekonomi Eropa, dan ia sukses. Tetapi Jenderal yang sama diutus ke RRT, pulang ke Amerika melontarkan kalimat yang sangat mengecewakan: “Negara Tiongkok tidak tertolong. Meskipun Amerika memberikan bantuan 3.000 tahun, RRT tetap tidak mungkin bangkit, karena negara itu hanya bisa melahirkan anak, selain itu tidak dapat buat apa-apa.” Waktu itu RRT  400 juta orang, penduduk terbanyak di dunia.

Negara miskin dengan banyak penduduk, meskipun memiliki kebudayaan kuno, kebudayaan yang begitu meriah di dalam sejarah, namun menurut Hegel, itu kebudayaan kindergarten. Hegel berujar, “China bolak-balik menyombongkan cara bikin kertas, cara teknik percetakan, cara membuat petasan, meriam, tapi semua yang ditemukan China diekspor dan diperalat banyak negara. China sendiri tetap tidak bisa menghasilkan kapal perang yang berarti.”Negara yang dihina-hina, yang hanya bisa melahirkan anak, dan tidak bisa bekerja apa-apa, bahkan ditolong 3.000 tahun pun tidak bisa bangkit, negara seperti itu sekarang adalah negara yang punya uang paling banyak yang dipinjamkan kepada Amerika. Amerika yang dulu dianggap paling kaya sekarang jadi pengemis kepada China.

Saat ini Indonesia menghadapi raksasa China. Lalu bagaimana? Waktu China tidur, dia sama sekali tidak berdaya. 200 tahun lalu, Napoleon sudah berkata, “Naga di Timur sedang tidur, kalau dia bangun dia akan mengacaukan seluruh dunia.” Ini juga ditegaskan Arnold J. Toynbee kira-kira 60 tahun lalu, “China pasti akan merajalela di dalam abad ke-21.” Orang-orang ini bukan orang biasa, mereka orang jenius di dalam militer, di dalam sejarah dunia, memprediksi hari akan datang, futurologist, dan mereka melihat sesuatu.

Pertanyaannya, tantangan besar apa dari China yang kemungkinan besar dihadapi Indonesia? Saya dilahirkan di China, belajar filsafat China, dan saya mengetahui dalam filsafat China ada unsur-unsur  yang di dalam Reformed theology disebut sebagai general revelation dan common grace, itu ditangkap orang China secara tidak sadar. Pada saat orang Amerika hanya dengan 3.000 dolar baru bisa hidup enak, banyak petani di China berpendapatan 30-50 dolar sebulan. Tapi mereka bisa memproduksi barang untuk membius orang Amerika agar terus menjadi konsumen produk China, dan keuntungan yang didapat ditabung menjadi kaya. Jikalau Indonesia mengikuti jejak Barat untuk hidup mewah, enak, nikmat, mengutamakan materi, maka hari depan Indonesia suram.

Amerika negara besar, tapi bukan negara agung. Negara kaya, tapi bukan negara bertulang kuat. Ini dapat dipahami jika kita kembali pada dalil penting, hidup itu untuk apa? Bagaimana bertanggung jawab kepada Tuhan yang memberikan segala sesuatu kepada kita? Baik sumber daya, talenta, maupun kesempatan . Lalu bagaimana menjadikan segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Iman, ketaatan, dan kerajinan adalah hal-hal yang lebih penting daripada mengetahui statistik perdagangan.

Karena kalau dasar-dasar ini tidak ada, kita akan menjadi bangsa yang hanya tahu nikmat, tahu “enak-enak”, dan tahu membelanjakan uang yang banyak. Seperti yang dikatakan orang tua dahulu, jikalau engkau memberikan satu gunung emas kepada anakmu yang tidak beres, sebentar juga habis.

Tetapi jikalau engkau memberikan kepada dia hal sedikit saja, tetapi memiliki hati berjuang, rajin dan sungguh-sungguh, maka dia tidak pernah perlu takut miskin. Dia akan berdiri dan berjaya. Dengan iman yang kuat kepada Tuhan, mari kita menjadi bangsa yang kuat.

(Disarikan dari ulasan Pdt. Dr. Stephen Tong dalam Seminar RCRS “ACFTA, Tantangan Ekonomi Indonesia”)

 

Sumber : https://www.reformed-crs.org/pic/pdf/vd_vol2_thn_1_jun2010.pdf