Sutarman adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang terdaftar di KPP Pratama Bekasi Selatan. Yang bersangkutan adalah pemilik bengkel perawatan/perbaikan mobil “Roda Putar” yang beralamat di Jl. A Yani, Bekasi, beberapa pengguna jasanya merupakan perusahaan-perusahaan besar (PT A, PT B, PT C dll) yang berada di wilayah Bekasi. Peredaran bruto usaha ybs untuk Tahun 2012 adalah Rp 2,7 miliar atau tidak lebih dari Rp 4,8 miliar yang berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013 dikenakan PPh Final 1% mulai 1 Juli 2013. Bagi pengguna jasa misalnya PT A, pembayaran  jasa perawatan/perbaikan tersebut merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 21 untuk Bukan Pegawai (5% x 50% x jumlah bruto jasa) dan bersifat tidak final. Dengan demikian maka penghasilan yang diterima oleh Sutarman menjadi tidak utuh atau terdapat potongan PPh Pasal 21 sebesar 2,5%.  Yang menjadi masalah adalah

  1. Penghasilan dari usaha bengkel, Sutarman diwajibkan membayar PPh final 1% dari peredaran bruto tiap bulan dan harus disetorkan ke kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya;
  2. Atas penghasilan pada huruf a tersebut, dimungkinkan pihak lain (pengguna jasa) melakukan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21 (bersifat tidak final).

Berdasarkan hal tersebut, maka kredit pajak (PPh Pasal 21 bersifat tidak final) menjadi sia-sia atau merugikan Sutarman selaku wajib pajak, mengingat :

  1. Kredit pajak PPh Pasal 21,22, 23 yang bersifat tidak final dapat dijadikan pengurang atas pajak penghasilan yang terutang dari penghitungan penghasilan yang tidak final (Pasal 28 UU PPh) atau konsep “penghasilan tidak final vs kredit pajak tidak final”;
  2. Kebalikan dengan konsep angka 1 tersebut maka “penghasilan bersifat final vs kredit pajak final”

Lalu sekarang apa yang harus dilakukan Sutarman ?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diperhatikan dasar hukum dengan penjelasan sebagai berikut :

PPh Final 1% UKM (PP No. 46 Tahun 2013)

a. Subyek Pajak yang dikenai aturan tersebut adalah :

  • Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
  • Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak Pengenaan Pajak Penghasilan 1% final tersebut didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

b. Pekerjaan bebas (profesi) meliputi :

  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

c. PPh terutang = 1% x DPP, DPP-nya adalah peredaran bruto setiap bulan

d.  Atas PPh yang terutang sebagaimana huruf C tersebut, harus disetor ke kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan ke KPP dimana WP terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (Pasal 10 PMK No. 107/PMK.011/2013).

Penghasilan Saudara Sutarman berasal dari kegiatan usaha (dagang sparepart dan jasa service), menurut ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 bukan termasuk dalam “Pekerjaan Bebas” dan peredaran bruto tahun sebelumnya (2012) tidak lebih dari 4,8 miliar, maka Mulai 1 Juli 2013, penghasilan Sutarman dari usaha tersebut dikenakan PPh final 1% bersifat final.

Pembebasan dari Pemotongan PPh Pasal 21, 22, 23 atau lainnya yang bersifat tidak final.

Atas kegiatan usaha Wajib Pajak seperti Tuan Sutarman tersebut, menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2013 tanggal 25 September 2013 dapat diberikan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan, dengan ketentuan sebagai berikut :

  • SKB Pemotongan/Pemungutan PPh tersebut dapat diterbitkan untuk Wajib Pajak yang peredaran bruto-nya tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dan dikenakan PPh bersifat final (1%);
  • SKB diterbitkan untuk masing-masing Obyek Pemotongan/Pemungutan : SKB PPh Pasal 21, SKB PPh Pasal 22, SKB PPh Pasal 22 Impor, dan/atau SKB PPh Pasal 23.
  • Pengajuan permohonan SKB tersebut, dapat diajukan oleh WP ke KPP dimana ybs menyampaikan SPT Tahunan, dan persyaratan yang harus dipenuhi : a). telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas; b). menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk  dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas; c). menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya; d). ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
  • Jangka waktu penyelesaian (Kepastian hukum) : paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. Keputusannya adalah : a). Surat Keterangan Bebas atau b). Surat Penolakan Permohonan Surat Keterangan Bebas

Dengan SKB tersebut, maka Pemotong dan atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dari / atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dari / atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan.

Berdasarkan hal tersebut, maka  agar penghasilan yang diterima  Tuan Sutarman dibebaskan dari pengenaan pemotongan PPh Pasal 21, maka Tuan Sutarman harus mengajukan permohonan SKB PPh Pasal 21 dengan formulir dan persyaratan yang diatur dalam PER-32/PJ/2013.

Artikel ini ditulis oleh rekan kerja sesama Penelaah Keberatan yang sudah malang melintang dalam rimba perpajakan yaitu Sdr. Sugeng Slamet, SE, bagi yang ingin berkenalan atau bertukar foto serta bertanya silahkan email ke admin nusahati.