Dalam tulisan sebelumnya dengan judul “Sekilas Tentang PP Nomor 46 Tahun 2013” telah dijelaskan dan dituangkan secara singkat dengan catatan tetap menunggu aturan turunan lainnya, dan kini telah dikeluarkan Peraturan Menteri keuangan Nomor : PMK-107/PMK.011/2013 yang ditetapkan tanggal 30 Juli 2013 dan Diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013, dan berlaku sejak 1 Juli 2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran bruto tertentu.
Dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 dijelaskan tentang pemberlakuan aturan baru pengenaan pajak penghasilan (PPh) untuk usaha kecil menengah (UKM) dimana pelaku UKM (Tidak termasuk BUT dan Penghasilan dari Usaha pekerjaan bebas) yang omzetnya hingga Rp 4,8 miliar wajib membayar pajak hanya sebesar 1% per tahun, semantara omset di atas itu akan berlaku PPh seperti biasanya.
Banyak pertanyaan karena waktu pemberlakuan yang begitu cepat sementara aturan teknisnya belum ada, namun kini dengan munculnya PMK 107 ini, dapatkah menjawab beberapa pertanyaan dalam artikel sebelumnya, demikianlah dasar penulisan artikel ini sebagai pembelajar penulis sendiri dan semoga bermanfaat juga bagi pembaca setia nusahati.com yang paham bahwa ini hanya interprestasi penulis semata dalam menuangkan apa yang penulis telaah dari suatu ketentuan :), dengan judul sekilas PMK Nomor 107/PMK.011/2013.
Dasar Ketentuan
Dalam pasal 9 PP 46 Tahun 2013 dijelaskan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Objek Pajak
Penghasilan usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran tertentu (Tidak melebihi Rp. 4.800.000.000 dalam 1 (satu) tahun) yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Wajib Pajak Orang pribadi dan Badan (tidak Termasuk Betuk Usata Tetap/BUT)
- Menerima Penghasilan dari Usaha (tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas).
Beberapa catatan tentang wajib pajak maupun penghasilan usaha yang diterima atau diperoleh yang perlu diketahui yang telah diatur dan diulangi kembali adalah sebagai berikut :
- Tidak termasuk Wajib Pajak Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa dalam usahanya : a). menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang baik yang menetap maupun tidak menetap. b). menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukan bagi tempat usaha atau berjualan.
- Tidak termasuk Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah : a). Wajib Pajak yang belum beroperasi secara komersial. b). Wajib Pajak badan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp. 4.800.000.000,-.
- Perdaran bruto yang tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, namun tidak termasuk peredan bruto dari : a). Jasa sehubungan pekerjaan bebas. b). penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, c). usaha yang atas penghasilannya telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan tersendiri dan d). Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Penghasilan Sebelum Dan Sesudah Ketentuan Ini
Contoh :
Penulis menterjemahkan sebagai berikut : Remapra adalah pengusaha elektronik terdaftar sebagai Wajib Pajak Tanggal 22 Maret 2013, dan sampai dengan 30 Juni 2013 memiliki peredaran usaha sebesar Rp. 860.000.000,-, sementara omset bulan Juli 2013 adalah Rp. 140.000.000,- maka perhitungannya sebagai berikut :
Penghasilan untuk masa 22 Maret s.d 30 Juni 2013
Penghasilan 4 (empat) Bulan setahunkan menjadi (Rp. 860.000.000 : 4 x 12) = Rp. 2.580.000.000 dengan tata cara penghitungan sebelum berlaku ketentuan ini.
Penghasilan untuk masa 1 s.d 31 Juli 2013 Rp. 140.000.000 langsung dikalikan 1% dan terutang PPh Pasal 4 (2) Final Rp. 1.400.000,-
Perlakuan Kompensasi Atas Rugi
Dalam Pasal 8 dijelaskan bahwa Wajib Pajak yang dikenai PPh bersifat Final bagi yang menyelenggarakn pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat Final. Ketentuan kompensasi kerugian tersebut adalah sebagai berikut :
- Kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun pajak.
- Tahun pajak dikenakan PPh yang bersifat final tetap diperhtiungakan sebagai bagian dari jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut.
- Kerugian pada suatu tahun pajak dikenakan PPh yang bersifat final tidak dapat dikompensasikan pada tahun berikutnya.
Contoh :
PT. Nusa Harapan bergerak di bidang usaha Penjualan Alat Tulis. Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui hal-hal sebagai berikut :
- Tahun 2012 peredaran usaha Rp. 4.000.000.000 dan kerugian Rp. 300.000.000,-
- Tahun 2013 peredaran usaha Rp. 5.000.000.000 dan kerugian (untuk masa Juli s.d Desember 2013) Rp. 200.000.000,-
- Tahun 2014 peredaran usaha Rp. 8.000.000.000 dan mengalami Laba Rp. 500.000.000,-
Pada tahun 2013 PT Nusa Harapan dikenai PPh yang bersifat Final sebesar 1% sehingga kerugian pada tahun tersebut yakni sebesar Rp. 200.000.000,- tidak dapat dikompensasikan pada tahun pajak berikutnya.
Pada tahun 2014, PT Nusa Harapan tidak lagi dikenai PPh yang bersifat Final sebesar 1% tetapi dikenai PPh sesuai tarif umum UU PPh. Maka Penghasilan Kena pajak tahun 2014 adalah sebesar Rp. 200.000.000,- yaitu laba fiskal tahun 2014 sebesar Rp. 500.000.000,- dikurangi kompensasi kerugian tahun 2012 sebesar Rp. 300.000.000,-
Peredaran Melebihi Rp. 4.800.000.000,- Dalam Satu Tahun Pajak
Pasal 5 mengatur bahwa apabila peredan kumulatif wajib pajak pada suatu bulan melebihi jumlah Rp. 4.800.000.000,- dalam satu tahun pajak tetap dikenakan tarif PPh (Final) sampai dengan akhir tahun pajak yang bersangkutan. Artinya untuk tahun pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum sesuai ketentuan UU PPh.
Contoh :
Remapra merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi (OP), yang melakukan usaha perdagangan mobil bekas yang memiliki 1 (satu) tempat kegiatan usaha sehingga Remapra termasuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu. Peredaran usaha tahun pajak 2013 adalah Rp. 4.000.000.000,- sehingga pada tahun 2014 Remapra tetap dikenai PPh yang bersifat Final. Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa peredaran bruto usaha sampai dengan akhir tahun 2014 berjumlah Rp. 5.000.000.000,-.
Dengan demikian pada tahun 2015 Remapra dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh. Dan Remapra wajib menyetorkan angsuran PPh Pasal 25, sesuai ketentuan angsuran bagi OP pengusaha tertentu.
Pada bulan Januari 2015 peredaran usaha Sdr. Remapra adalah Rp. 400.000.000 (empat ratus juta). Dengan demikian, penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan Januari 2015 adalah sebagai berikut : PPh Pasal 25 = 0.75% X Rp. 400.000.000,- = Rp. 3.000.000,-
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember 2015 adalah 0.75% dikalikan peredaran bruto pada bulan yang bersangkutan.
Penyetoran Dan Pelaporan
Dalam ketentuan ini dijelaskan bahwa yang melakukan pembayaran diwajibkan untuk melakukan penyetoran, namun mengenai ketentuan pelaporan baru berlaku sejak Januari 2014, sehingga bagi wajib pajak yang tidak memiliki peredaran usaha untuk masa-masa Juli s.d Desember 2013 sepertinya tidak perlu melapor Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (Dulu PPh Pasal 25) lagi. Untuk lebih jelasnya diuraikan sesuai ketentuan sebagai berikut:
Penyetoran
Dalam Pasal 10 PMK-107, dijelaskan bahwa Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang yang dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau yang dipersamakan yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Pelaporan
Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan Final tersebut wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak Terakhir.
Bagi Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran PPh dianggap telah menyampaikan SPT Masa sesuai dengan tanggal validasi NTPN yang tercantum pada SSP.
Ketentuan pelaporan ini (SPT Masa PPh) sesuai dengan pasal 16 ayat (2) diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014.
Contoh
PT. Nusahati bergerak dalam bidang Industri Energi Terbarukan (usaha apa ini ya), pada bulan Juli 2013 memperoleh peredaran usaha Rp. 280.000.000, maka paling lambat pada tanggal 15 Agustus 2013 PT. Nusahati menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar : Rp. 2.800.000,- (1% X 280.000.000,-).
Surat Keterangan Bebas
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam ketentuan ini yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain. Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemugutan PPh pihak lain diberikan melalui Surat Keterangan Bebas (SKB).
Dalam Pasal 6 ayat (3) atas nama Direktur Jenderal Pajak maka KPP tempat wajib pajak terdaftar dapat menerbitkan Surat Keterangan Bebas (SKB) untuk pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
Hal-Hal Menarik Dari Peraturan Menteri Ini
Ketentuan yang ditunggu telah keluar namun masih banyak hal yang belum tuntas dijelaskan sehingga memang kita perlu lebih bijaksana untuk menunggu dengan sabar aturan turunan lainnya dengan tanpa menunda membayar kewajiban perpajakannya (Bagi wajib pajak) dan mengawasi serta menghimbau bagi fiskus :D, adapun permasalahan yang belum tuntas diatur tersebut menurut penulis adalah, diantaranya :
- Belum dijelaskan mekanisme penghitungan penghasilan sebelum berlakunya aturan ini (Periode Januari s.d Juni 2013).
- Belum dijelaskan secara detail tentang mekanisme pemberian Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri ini, karena bisa saja Orang pribadi/Badan yang dikenakan PPh Final dilakukan pemotongan/pemungutan karena tidak/belum memiliki SKB dimaksud dan lainnya.
- Bagi petugas fiskus kira-kira seperti apa bentuk pengawasan terkait kebenaran pelaporan, penghitungan dasar penentuaan penghasilan bruto atas subjek pajak dalam aturan ini, dan apa antisipasi Direktorat Jenderal Pajak dalam mengawasi Pengusaha UKM yang sudah diatas 4,8 M jika menurunkan omsetnya.
- silahkan ditambahkan :).
Bersambung….