Suatu siang yang terik, tampak seorang pengusaha mendatangi sebuah toko mebel di kawasan pusat bisnis di sebuah kota. Pengusaha itu datang dengan membawa kursi sofa yang terbuka jahitannya. Sambil memasang muka yang marah, dengan lantang dia berkata kepada penjual di situ dengan menunjuk ke kursi sofa yang dibawanya, “Lihat sofa ini. Saya sudah membayar dengan harga mahal dan sofa ini telah terbuka jahitannya sebelum dipakai!”

Dengan sabar, si pemilik toko meladeni omelan dan kemarahan tamunya dengan penuh perhatian. Setelah melihat kerusakan kursi sofa tersebut, si pemilik toko berkata, “Baiklah, Pak. Jangan kuatir. Saya akan berusaha membantu memperbaiki jahitan kursi sofa ini sebaik-baiknya. Besok silakan bapak ambil kemari atau kapan pun bapak ada waktu.” Mendengar kata-kata sopan itu, redalah kemarahan si pemilik sofa. Ia pun pergi meninggalkan sofanya untuk diperbaiki dan berjanji akan datang kesokan harinya untuk mengambilnya.

Sepeninggal si tamu, anak pemilik toko mebel itu mendekati ayahnya dan berkata. “Tamu tadi sungguh keterlaluan. Marah-marah tidak pada tempatnya. Bukankah sofa ini bukan buatan kita dan bukan dibeli dari toko kita? Mengapa ayah tidak berusaha menjelaskan, malahan masih mau memperbaiki sofa itu?” tanya si anak penasaran. Di sekitar toko itu memang ada beberapa toko mebel lain yang menjual sofa, dengan desain yang satu sama lain saling memiliki kemiripan.

Dengan sabar, sambil tersenyum si ayah memberi tahu putranya. “Camkan ini baik-baik anakku! Memang, Ayah tahu ini bukan sofa yang kita jual. Tapi tidak ada ruginya membantu perbaikan kecil dan tidak merepotkan ini. Dengan kita membantunya, maka tamu tadi pasti akan datang ke sini lagi. Dengan begitu, kita akan memiliki pelanggan baru. Apakah kamu mengerti?” ujarnya menjelaskan.

Begitulah, si pemilik toko mebel mengubah menjengkelkan dan ketidakpuasan menjadi sebuah pelayanan dengan dampak keuntungan di kemudian hari. Dan memang, pengusaha yang awalnya marah-marah dan mengeluhkan kerusakan sofa itu, meminta maaf atas kekeliruannya karena melepas kemarahan bukan pada tempatnya dan di kemudian hari menjadi pelanggan setia toko mebel itu.

Ternyata, tidak selamanya ketidakpuasan itu berdampak negatif. Dan pengertian bahwa kita tak bisa menyenangkan semua orang seharusnya bisa kita sikapi dengan cara yang bijak. Sebab, bisa jadi, ketidakpuasan yang diungkap, malah akan jadi evaluasi—atau bahkan peluang, seperti dalam kisah di atas—untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Mari, ubah ketidakpuasan yang muncul menjadi sebuah pembelajaran. Yakni, pembelajaran untuk jadi lebih baik, lebih dewasa, dan lebih berkembang.  Dengan begitu, saat kita tak bisa menyenangkan semua orang, justru akan jadi evaluasi terbaik untuk memajukan perusahaan.

 

Sumber : https://www.jagatmotivasi.com/mengubah-komplain-pelanggan-menjadi-keuntungan/