Kenangan yang tak pernah terlupakan adalah saat rekan kerja penulis sesama Juru Sita Pajak Negara (JSPN) adalah disaat sedang galau, sering memecahkan kaca alas meja kerjanya, dan tidak berakhir sampai disitu saja… dia bahkan memakan kaca tersebut!! Kaget luar biasa itulah kesan penulis.

Disuatu kesempatan dia menceritakan alasan memiliki “kelebihan” tersebut, yaitu dalam rangka mendukung bidang pekerjaannya yaitu sebagai debt collector istilah JSPN. Penulis memang tidak mengikuti jejaknya untuk memiliki kelebihan seperti itu, dan penulis akui memang selama 5 (lima) tahun menjadi JSPN banyak jenis-jenis respon yang diberikan oleh penunggak pajak terkait tindakan penagihan aktif yang penulis lakukan sebagai seorang JSPN.

Setelah hampir 7 tahun penulis tinggalkan jenis pelaksana (JSPN) tersebut kini penulis melihat sudah banyak perubahan peraturan yang jauh lebih baik dibandingkan kondisi dahulu. Salah satunya, jika dahulu JSPN akan ngotot-ngototan dengan penunggak pajak, karena walau WP sedang mengajukan Keberatan atau Banding, WP diharuskan untuk melunasi seluruh utang pajaknya. Beberapa pemikiran untuk dapat melakukan penagihan aktif (penyitaan) tanpa harus bertemu Wajib Pajak terjawab dengan ide pemblokiran rekening (terkait hal ini akan penulis tuliskan dalam blog ini).

Namun, kini WP hanya diharuskan membayar sesuai yang disetujui oleh WP. Maka untuk mengenang kembali masa-masa saat masih menjadi JSPN, saya tuangkan kembali hal-hal mengenai Penagihan Pajak dengan ketentuan yang berlaku saat ini, semoga bermanfaat.  🙂

Seperti yang diketahui, yang menjadi tunggakan Wajib Pajak adalah pajak yang belum dibayar atas produk yang sudah ditetapkan seperti Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar yang disetujui dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) yang disetujui kecuali atas hal tersebut merupakan tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak. SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali yang menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar adalah juga merupakan tunggakan pajak yang menjadi dasar penagihan pajak (Pasal 18 ayat 1 UU KUP).

Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak (PP) melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak (Pasal 1 angka 8 UU PPSP), tindakan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut :

  • menegur atau memperingatkan.
  • melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus
  • memberitahukan Surat Paksa (SP)
  • mengusulkan pencegahan
  • melaksanakan penyitaan
  • melaksanakan penyanderaan
  • menjual barang yang telah disita

Adapun beberapa tindakan penagihan pajak yang dilakukan adalah meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut :

  • Penerbitan Surat Teguran/Peringatan
  • Penerbitan Surat Paksa
  • Penerbitan SPMP/Penyitaan (Pemblokiran rekening melaksanakan penyanderaan, Pencegahan)
  • Pengumuman Lelang
  • Pelaksanaan Lelang
  • Menjual barang yang telah disita
  • Penagihan Seketika dan Sekaligus

Surat Teguran

Atas setiap produk yang meliputi  STP, SKPKB, SKPKBT dan SKKb, SKPb, Putusan banding, serta Putusan PK, Jatuh Tempo adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, apabila 7 hari sejak tanggal Jatuh Tempo maka atas produk tersebut akan diterbitkan Surat Teguran (Pasal 5 (1) PMK.24/KMK.04/2000).

Surat Teguran/Surat Peringatan/surat lain yang sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Biasanya sebelum Jatuh Tempo bagi penunggak pajak yang nilainya besar didahului dengan  peringatan dengan media telepon terlebih dahulu kepada wajib pajak atau dikenal dengan istilah morning call.

Perlu diketahui bahwa apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Demikian halnya apabila Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Dasar Hukum Surat Teguran adalah : a). Pasal 8 ayat (2)UU no 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, stdtd UU nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP). b). Pasal 1 angka 3  dan Pasal 5 KMK No.  561/KMK.04/2000  Tanggal 26 -12- 2000, c). Pasal 1 angka 3 dan Pasal 8 PMK No. 24/PMK.03/2008  Tanggal 6 Februari 2008.

 Surat Paksa

Setelah 21 hari sejak diterbitkannya Surat Teguran  (berdasarkan tanggal pengiriman), WP/PP tidak melunasi tunggakan pajaknya maka, ditindak lanjuti dengan penyampaian Surat Paksa (SP).

Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 21 UU no. 28/2007, Pasal 1 angka 12 UU no. 19/2000.

Surat Paksa memiliki kekuatan eksekutorial, setingkat dengan Keputusan hakim yang mempunyai ketetapan hukum yang bersifat tetap. Hal ini sejalan dengan tulisan pada Kepala surat (SP) yang mengatakan : “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Dalam keadaan force mayeur, dapat diterbitkan Surat Paksa Pengganti yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. Jika terdapat kesalahan dalam penerbitan Surat Paksa, PP dapat memohon pembetulan Surat Paksa, yang harus dijawab dalam 7 hari oleh pejabat, dan kegiatan penagihan ditunda (Pasal  23 PMK-24/2008).

Pemberitahuan Surat Paksa dilakukan dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak, serta atas Pemberitahuan Surat Paksa dituangkan dalam suatu Berita Acara yang memuat sekurang-kurangnya memuat Hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Juru Sita, nama penerima pemberitahuan dan lokasi tempat pemberitahuan (Pasal 10 UU PPSP). Pemberitahuan SP berbeda perlakuan terhadap WP/PP sebagai berikut :

  • Pemberitahuan Surat paksa kepada Orang Pribadi (OP), diberitahukan kepada Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha, tempat lain yang memungkinkan, atau Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, (apabila PP yang bersangkutan tidak dapat dijumpai), Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya  (apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi), dan Para ahli waris (apabila Penanggung Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi), Apabila pemberitahuan SP tidak dapat dilaksanakan  SP disampaikan melalui   Aparat Pemda (minimum setingkat SEKDES).
  • Pemberitahuan Surat paksa kepada WP Badan,  diberitahukan kepada  Pengurus, Kepala Perwakilan, Kepala Cabang, PenanggungJawab, Pemilik Modal  di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; Pegawai Tetap (Pegawai perusahaan yang membidangi keuangan, pembukuan, perpajakan, personalia, humas, atau bagian umum dan bukan pegawai harian) di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud di atas; Apabila pemberitahuan SP tidak dapat dilaksanakan  SP disampaikan melalui   Aparat Pemda (minimum setingkat SEKDES).
  • Pemberitahuan Surat paksa kepada pihak lainnya, seperti : a). Terhadap  WP pailit diberitahukan kepada kurator, hakim pengawas, atau Balai Harta Peninggalan. b). Terhadap WP yang dilikuidasi  diberitahukan kepada likuidator, c). Terhadap WP yang menunjuk kuasa diberitahukan kepada kuasa WP, d).  Terhadap WP/PP yang alamatnya tidak diketahui maka diumumkan di media masa atau tempel di papan pengumuman KPP. e). Jika dilaksanakan di luar wilayah pejabat meminta bantuan Pejabat  yang wilayah  kerjanya meliputi tempat pelaksanaan SP.
  • Terhadap WP /PP atau pihak-pihak lain menolak untuk  menerima pemberitahuan dan salinan SP, maka  Jurusita meninggalkan salinan SP dan mencatatnya dalam BA bahwa PP tidak mau menerima SP.

Terhadap dokumen Surat Paksa jika terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat (kecurian, kebanjiran, kebakaran, atau gempa bumi yang menyebabkan asli Surat Paksa rusak, tidak terbaca) atau sebab lain (Surat Paksa hilang atau tidak dapat ditemukan), Surat Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan, yang mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa.

Dasar Hukum Surat Paksa adalah : a). Pasal 8 ayat (2)UU no 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, stdtd UU nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP). b). Pasal 9 KMK No.  561/KMK.04/2000  Tanggal 26 -12- 2000, c). Pasal 12 PMK No. 24/PMK.03/2008  Tanggal 6 Februari 2008.

Penyitaan

Dalam waktu 2 x 24 jam setelah penyampaian Surat Paksa (SP), namun wajib pajak tidak melakukan pelunasan terhadap utang pajaknya maka ditindak lanjuti dengan Penyitaan dengan nama dokumen Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP). Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.

Objek Sita adalah barang (tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita) Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak. Barang milik Penanggung Pajak yang berada: di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain, termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu . Objek Sita dapat berupa :

  • Barang Bergerak meliputi : mobil,perhiasan,uang tunai, dan deposito, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
  • Barang Tidak Bergerak :  Tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu (20 m3 —Pasal 314 KUH Dagang).

Perlakuan objek sita dibagi atas :

  • Bagi Penanggung Pajak OP, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap : barang milik pribadi yang bersangkutan, isteri, dan anak yang masih dalam tanggungan, kecuali dikehendaki secara tertulis oleh suami atau isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
  • Bagi Penanggung Pajak Badan,  penyitaan dapat dilaksanakan atas: barang milik perusahaan, barang milik pengurus, barang milik kepala perwakilan, barang milik kepala cabang, barang milik penanggung jawab, barang milik pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.

Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak kecuali dalam keadaan tertentu (Tidak ditemukan barang bergerak/ barang bergerak yang ada tidak mempunyai nilai atau harga tidak memadai dibandingkan dg utang pajaknya) dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak. Dalam penentuan urutan barang yang akan disita yang perlu diperhatikan adalah jumlah utang pajak & biaya penagihan pajak dan kemudahan penjualan atau pencairannya. Beberapa objek sita tertentu diantaranya yaitu :

  • Perhiasan emas, permata dan sejenisnya,
  • uang tunai termasuk mata uang asing,
  • kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan di bank,
  • surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek,
  • surat berharga yang tidak diperdagangkan di bursa efek,
  • Piutang,
  • penyertaan modal pada perusahaan lain,
  • Penyitaan Barang Tidak Bergerak Tanah dan bangunan

Dalam proses penyitaan terhadap objek yang akan disita dapat dikondisikan atas 2(dua) hal yaitu wajib pajak tidak hadir menyaksikan barang yang disita maka  diperlukan 1 (satu) saksi  yang berasal dari Pemda minimal sekretaris Kelurahan atau Desa. Min gol II/a di Kantor Kelurahan/Desa Kecamatan dan apabila PP hadir namun menolak untuk menandatangani BAPS maka BAPS ditandatangani oleh Juru Sita dan Saksi-saksi, Salinan BAPS ditempelkan pada objek sita , atau di tempat objek sita berada, dan atau di tempat-tempat umum. Dapat ditempel atau diberi segel sita. Dalam Segel Sita tertulis tulisan “ DISITA” , kutipan BAPS , larangan-larangan , ancaman  Pasal 41A jo. Pasal 23 ayat (1) huruf d UU PPSP. Segel Sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak.

Pengecualian atas objek pajak yang dapat ditindaklanjuti dengan tindakan penagihan aktif berupa penyitaan (sesuai pasal 15 UU PPSP) adalah :

  • Pakaian dan tempat tidur,
  • Persediaan makanan dan minuman ,peralatan memasak,  obat-obatan.
  • Perlengkapan bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
  • Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan alat-alat untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
  • Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00
  • Peralatan penyandang cacat.

Lelang Dan Penjualan Barang Sitaan

Dalam persiapan lelang, Kepala kantor mengajukan permohonan lelang secara tertulis disertai dokumen yang disyaratkan kepada Kepala Kantor Lelang. Nilai utang pajak adalah jumlah yang tercatat pada berkas penagihan yang meliputi :

  • STP, SKPKB, SKPKBT, SPPT, SKP, SKPT, STB, SKBKB, SKBKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Peninjuan Kembali
  • Surat Setoran Pajak atau bukti transaksi pembayaran pajak  (NTPP),
  • Surat Teguran
  • Surat Paksa
  • Laporan Surat Paksa
  • SPMP

Pengumuman lelang, dilakukan setelah kepastian waktu lelang KP2LN. Kepala Kantor mengumumkan lelang paling cepat 14 hari setelah penyitaan, melalui surat kabar harian, selebaran atau tempelan atau media elektronik termasuk internet di wilayah kerja Kantor Lelang, Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali. Pengumuman lelang barang tidak bergerak dilakukan 2 kali. Jangka waktu pengumuman pertama dengan kedua sekurang-kurangnya 15 hari. Pengumuman kedua harus dilakukan melalui surat kabar harian dan dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang.

Dalam pelaksanaan lelang, penjualan secara lelang dilakukan setelah 14 hari sejak pengumuman lelang melalui media massa. Disini kepala kantor bertindak sebagai penjual barang yang disita mengajukan permohonan lelang kepada Kantor Lelang sebelum pelaksanaan lelang. Kepala Kantor menentukan nilai limit dan diserahkan kepada Pejabat Lelang selambat-lambatnya pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang.

Konsekuensi pelaksanaan lelang adalah Hak Penanggung Pajak  atas barang yang dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak (Pasal 28 ayat 5 UU PPSP). Apabila setelah pelaksanaan lelang Wajib Pajak memperoleh keputusan keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan utang pajak menjadi berkurang atau nihil sehingga menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut pengembalian barang yang telah dilelang. Melainkan Kepala Kantor mengembalikan kelebihan pembayaran pajak tersebut dalam bentuk uang.

Pencegahan 

Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencegahan dilakukan sangat selektif dan hati-hati, harus memenuhi syarat kuantitatif dan syarat kualitatif. Syarat kuantitatif adalah apabila tunggakan pajak minimum sebesar Rp. 100.000.000,- sementara syarat kualitatif adalah apabila itikad baik WP/PP diragukan.

Pencegahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Keputusan pencegahan diterbitkan oleh Menteri Keuangan. (Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 9 Thn 1992 tentang Keimigrasian,  yang menentukan bahwa wewenang dan tanggung jawab atas pencegahan dilakukan oleh Menkeu jika menyangkut urusan piutang negara).

Tindakan pencegahan ini dapat dilakukan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan atau ahli waris. Keputusan pencegahan tersebut  disampaikan kepada:

  1. Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan,
  2. Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM);
  3. Pejabat yang memohon pencegahan,
  4. Atasan Pejabat yang bersangkutan,
  5. Kepala Daerah setempat.

Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. Apabila tidak ada keputusan perpanjangan, pencegahan yang sudah ditetapkan berakhir demi hukum. Keputusan pencegahan atau penangkalan dinyatakan berakhir karena : a). Telah habis masa berlakunya, b). Dicabut oleh pejabat yang berwenang menetapkan; atau c). Dicabut berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Apabila keputusan pencegahan dinyatakan berakhir sebelum habis masa berlaku sebagaimana tercantum dalam surat keputusan pencegahan, maka pencabutan tersebut harus dinyatakan dalam bentuk keputusan pencabutan.

Apabila wajib pajak mengajukan gugatan atas putusan pencegahan, maka Gugatan atas keputusan pencegahan  dalam rangka Penagihan Pajak hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Pajak sesuai ketentuan pasal 23 ayat (2) huruf b KUP.


Bersambung…. 🙂