Ide perdamaian bersemayam dalam hati semua orang, agama apapun dia, namun untuk mewujudkannya ternyata bukan hal yang mudah. Karena itu umat beragama harus tekun memperjuangkan perdamaian, dan perjuangan perdamaian mestinya nir kekerasan. Analisis Pdt. Dr. Stephen Tong pada Seminar Agama dan Misi Perdamaian patut disimak dalam mewujudkan ide perdamaian nir kekerasan.

Manusia selalu menginginkan dan memimpikan perdamaian. Itu sebabnya orang tua gemar menasihati anak-anak mereka untuk hidup damai. Tapi menginginkan dan memimpikan perdamaian saja tidak cukup. Untuk menciptakan perdamaian diperlukan perjuangan yang tak mengenal lelah. Agama-agama memiliki misi perdamaian. Umat beragama memimpikan bagaimana ide perdamaian itu mewujud dalam hidup mereka.

Ironisnya, umat beragama melakukan hal yang bertentangan dengan ide yang ada dalam agamanya itu. Bukannya perdamaian yang diperlihatkan, sebaliknya kekerasanlah yang mereka pertontonkan. Tepat seperti yang dikatakan Niccolò Machiavelli bahwa kita tidak berbicara tentang apa yang harus kita lakukan, melainkan apa yang sedang kita lakukan, karena kita sering kali tidak melakukan apa yang harus kita lakukan.

Indonesia terkenal dengan kerukunannya, pernah memiliki presiden dengan julukan, “the Smiling General,” namun memiliki lembaran hitam kekejaman penumpasan komunis yang amat mengerikan. Mereka yang meninggal pada peristiwa itu melebihi jumlah korban 10 tahun peperangan Vietnam. Pada tataran teori, Indonesia memiliki ide dan cita-cita tinggi tentang perdamaian. Tapi realitasnya jauh berbeda dengan apa yang ada pada tataran teori tersebut. Apa yang kita inginkan sering kali berseberangan dengan apa yang kita lakukan. Perdamaian yang menjadi dambaan banyak orang menjadi lebih sulit dimengerti ketika diperhadapkan dengan banyaknya patung-patung pahlawan perang yang dibangun pada setiap negara. Semua orang mengajarkan, “jangan berperang, jadilah pembawa damai,” tapi pada saat yang bersamaan masyarakat mengagungkan pahlawan-pahlawan perang.

Jikalau manusia mencintai perdamaian, perang seharusnya dibenci. Tapi pada realitasnya perang menjadi sesuatu yang dibutuhkan untuk mendapatkan perdamaian. Ini adalah sesuatu yang sulit dipahami. Di Bangkok ada kuil Buddha, di dalamnya ada patung Buddha, dibuat dari batu giok besar berwarna hijau. Batu giok itu termahal di dunia, yang kemudian diukir menjadi patung Buddha. Wihara Buddha Giok itu berada di tempat yang tinggi, di mana penganut buddhisme berbakti dan menyembah di situ. Mereka percaya di mana Buddha Giok berada, di negara itu ada perdamaian. Akibatnya, banyak orang yang percaya akan hal itu berusaha mati-matian untuk mendapatkan Buddha Giok untuk ditaruh di negaranya. Thailand dan Burma berperang terus-menerus untuk memperebutkan Buddha Giok itu.

Dari hal tersebut jelaslah perdamaian ternyata memberikan rangsangan untuk berperang. Manusia berperang untuk mewujudkan perdamaian. Agama yang seharusnya membawa keharmonisan, pemberi motivasi bersatu untuk perdamaian, ternyata tak mampu menghindari peperangan. Tragisnya, perang yang paling kejam dan mengerikan adalah perang atas nama agama. Salah satu faktor yang memberikan rangsangan bagi penampilan bengis agama adalah adanya konsep mutlak dalam agama. Konsep mutlak itu sendiri tidak salah, karena yang mutlak itu ada, maka lahirlah konsep mutlak, meski yang dimutlakkan manusia itu belum tentu mutlak kekal. Allah yang mutlak itu pencipta manusia, karena itu di dalam manusia yang dicipta segambar dan serupa dengan Allah memiliki konsep mutlak.

Itulah yang menjadi dasar mengapa manusia mempunyai keyakinan yang tidak mau berkompromi, keyakinan itu jugalah yang menyatukan manusia dengan yang mutlak. Jadi konsep mutlak itu penting dalam beribadah, bertingkah laku, beretika, dan dalam perjuangan hidup. Konsep mutlak itu sendiri terbagi dua, pertama yang mutlak pada dirinya, kedua yang mutlak karena dimutlakkan, atau dengan kata lain, manusia yang memiliki konsep mutlak kemudian memutlakkan sesuatu yang tidak mutlak. Jadi sebuah kemutlakkan yang diciptakan oleh konsep manusia, yang sesungguhnya bukan mutlak kekal, dan ini adalah hal yang membahayakan agama apabila konsep mutlak yang tidak kekal ini dipaksakan kepada orang lain. Semua manusia sudah berdosa, semua manusia tidak bebas dari salah, jadi manusia tidak boleh memutlakkan dirinya, apalagi memaksakan apa yang dianggap mutlak kepada orang lain, baik dengan manipulasi maupun dengan cara-cara kekerasan.

Bagi umat Kristen, Yesus adalah mutlak, Yesus satu-satunya yang mengatakan, “I am the Truth,” itu harus dipahami sebagai yang mutlak yang muncul dalam sejarah, bukan yang dimutlakkan manusia. Namun, Yesus juga mengajarkan untuk berdamai dengan sesama. Artinya, kedatangan Yesus yang membawa damai justru menimbulkan pertentangan, karena berita Yesus direspon dengan penolakan dan kekerasan. Alkitab juga menyatakan bahwa Yesus tidak melakukan pemaksaan apalagi dengan cara-cara kekerasan terhadap mereka yang menolak pemberitaan-Nya, mereka yang melakukan kekerasan terhadap-Nya. Yesus membiarkan diri-Nya ditimpa kekerasan, dengan cara mengorbankan diri Ia mewartakan “Damai Allah.” Karena itu, pemberitaan tentang  Yesus yang mutlak mestinya jauh dari kekerasan dan manipulasi. Barangsiapa memutlakkan diri, merasa pantas mewakili Tuhan—padahal sesungguhnya berasal dari ambisi pribadi—lalu memaksakan orang lain menerima keyakinannya, itu adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Mereka yang memutlakkan yang tidak mutlak, memutlakkan diri sebagai wakil Tuhan, kemudian menjalankan penghakiman terhadap orang lain, akan menjadi sumber kecelakaan, peperangan, dan perusak perdamaian dalam masyarakat.

Umat beragama dapat menghindari bahaya dari konsep mutlak yang ada tersebut dengan cara hidup takut akan Tuhan, toleransi terhadap mereka yang beragama lain, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, kemudian berjuang bersama-sama menegakkan perdamaian. Apabila umat beragama hidupnya takut akan Allah, agama apapun itu, maka agama-agama yang memiliki konsep Allah dapat meminimalkan kekerasan yang menodai sejarah perkembangan agama-agama itu. Sebaliknya, jika agama-agama yang memiliki konsep mutlak itu tidak hidup takut akan Allah, maka agama-agama itu bisa melakukan kekerasan yang lebih mengerikan dari agama-agama yang tidak memiliki konsep Allah. Tuhan adalah Tuhan yang sabar dan toleran kepada manusia, bahkan terhadap orang yang melawan Dia sekalipun. Umat beragama harus toleran terhadap umat beragama lain karena toleransi Tuhan amat besar. Tuhan yang penuh belas kasihan, sabar dan kebesaran hatinya dapat menampung orang yang sementara ini berperilaku tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itulah, masyarakat harus belajar toleran terhadap mereka yang berbeda agama.

Sekalipun berseberangan dengan Rousseau, Voltaire menentang pembakaran buku Rousseau oleh negara, “Sebagai manusia, saya benci dengan kerajaan yang membakar bukumu. Saya akan berjuang mati-matian untuk membela HAM yang kau perjuangkan dan kau miliki.” Ini adalah pikiran yang menjadi contoh bagi segala zaman.

Kita berbeda, kita harus mengakui bahwa perbedaan itu fakta. Itu sebabnya kita tidak boleh mengambil alih kekuasaan Tuhan dengan berperan sebagai Tuhan untuk kemudian membunuh, memaksakan apa yang kita inginkan pada orang lain. Manusia bukan algojo Tuhan, toleransi untuk menerima perbedaan harus ada. Semua manusia itu berharga, berharkat, dan diberikan hak asasi.

Ini adalah suatu penghargaan kepada sesama yang harus dimiliki semua orang. Keberagaman keyakinanadalah fakta, tetapi memaksakan keyakinan seseorang kepada orang lain merupakan pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan. Umat beragama harus mempunyai jiwa yang lapang untuk melihat seluruh umat manusia sebagai sesama saudara meskipun memakai jubah berbeda. Manusia beragama harus berusaha menaklukkan diri, meredam nafsu, dan menghentikan ambisi liarnya, khususnya menganggap diri layak mewakili Tuhan, atau berperan sebagai Tuhan. Itu adalah musuh bersama umat manusia, yang bertentangan dengan misi perdamaian agama-agama.

(Ulasan Pdt. Dr. Stephen Tong, pendiri RCRS, dalam Seminar “Agama dan Misi Perdamaian”)

Sumber : https://www.reformed-crs.org/pic/pdf/vd_vol3_thun_1_sep_2010.pdf