Jika dalam artikel-artikel sebelumnya pernah dibahas sebagian kecil dari perencanaan pajak yang tidak menyalahi ketentuan-ketentuan peraturan perpajakan, namun tidak sedikit dari pengusaha yang sudah terjerumus dan terlanjur menikmati uang pajak dengan cara yang tidak beres, hal itu bisa saja atas sepengetahuan wajib pajak walaupun kadang ada juga yang  tanpa sepengetahuan wajib pajak.

Setelah membaca “Sekilas Perencanaan Pajak : PPh Pasal 21” kita dapat menentukan metode yang kita gunakan tentu dengan motivasi mengecilkan pajak yang akan kita setorkan ke negara tanpa melakukan pelanggaran ketentuan yang ada. Kali ini penulis menguraikan beberapa hal yang sering terjadi dalam perusahaan  yang menjadi indikator akan adanya sesuatu penyimpangan dalam pelaporan dan pembayarannya, dengan judul tulisan kali ini “Sekilas Indikasi Penyimpangan PPh Pasal 21”.

Beberapa Indikasi

Tidaklah salah para penggiat pajak mengatakan bahwa Pasal 21 adalah tempat yang paling baik dalam memfokuskan penghindaran pajak, kenapa? Pertama hal ini tentu berhubungan dengan perbedaan tarif yang ada pada PPh Pasal 21 dengan PPh badan. Kedua, seperti yang sering ditemui sebesar apapun omset perusahaannya, jarang saya melihat karyawan dikenakan tarif PPh Pasal 21 dengan tarif tertinggi. Karena semakin besar skala suatu perusahaan maka semakin besar pula nilai penyimpangan yang akan terjadi.

Penyimpangan yang berhubungan dengan PPh Pasal 21 umumnya melibatkan unsur-unsur hubungan istimewa seperti : a). Jumlah Setoran Saham yang melebihi 25%, b). Menduduki jabatan Direktur lebih dari satu perusahaan. c). Keterlibatan kekerabatan dalam perusahaan, d). Keterlibatan karyawan, e). dll, walau kadang dapat pula diakibatkan oleh ketentuan peraturan perpajakan itu sendiri. Beberapa penyimpangan yang terekam jejaknya adalah seperti hal-hal sebagai berikut :

  • Membungkus unsur Gaji dalam bentuk Natura kepada direksi ataupun komisaris atau tenaga-tenaga terampil, hal ini untuk menghindari pengenaan tarif PPh Pasal 21  tertinggi yaitu 30% (Lapisan IV) menjadi  15% saja (Lapisan II). Hal ini dilakukan dengan cara memberikan natura semisal memberikan cicilan mobil, cicilan perumahan, vaoucher BBM dan belanja, biaya perjalanan dll. (Lebih sadis lagi hanya hanya yang signifikan dan terbuka yang dilakukan koreksi fiskal di PPh Badannya).
  • Membungkus unsur Gaji dalan bentuk pemberian komisi. Contoh : Susilo adalah Direktur diperusahan PT. Sela dengan Gaji sebenarnya adalah Rp. 540 Juta dengan PPh Pasal 21 seharusnya adalah Rp. 107 Juta. Namun dalam Pembukuan, gaji hanya tercatat Rp. 210 juta dengan PPh 21 sebesar Rp. 26.5  Juta, serta adanya pemberian komisi penjualan kepada Sdr. Herman (Supir Pribadi Susilo) sebesar Rp. 330 Juta dengan PPh Pasal 21 Rp. 19.750.000,-. Maka Sdr. Susilo telah menilep pajak sebesar  Rp. 60.750.000,-
  • Membungkus unsur biaya gaji dalam bentuk pegawai boneka, pada umumnya pegawai adalah lingkaran kerabat direksi dan tarif yang terutang pada umumnya lapisan 1 (pertama) dan 2 (kedua).
  • Pemanfaatan Tax Treaty untuk BUT atas  Management/Profesional Fee, dalam pasal  5 dan 7 (P3B – Indonesia Model), BUT akan dibebaskan pajaknya atas jasa yang diberikan (selain jasa konstruksi) jika berada di Indonesia kurang dari … Hari (biasanya 90-183 hari) Sasaran utama negara-negara Tax Treaty: Singapore, Malaysia, Seycheilles, Germany, Luxumberg, Swiss, Pakistan, Venezuela, etc. Contoh : Mr. Nga Cheng orang singapura yang adalah Direktur PT. Baru serta Direktur Bari Co di Singapura, memiliki gaji Rp. 3 Milyar. Namun dalam catatan diketahui bahwa PT. Baru membayar gaji sebesar Rp. 250 juta dengan PPh sebesar Rp. 32 Juta. Dan membayar Management kepada Baru Co yang berada di Singapura sebesar  Rp. 2,750 M atas pekerjaan di Indonesia yang kurang dari time test sehingga tidak terutang PPh Pasal 26.
  • Perusahaan yang memiliki Group, hal ini terkait dengan penempatan biaya pasal 21 kepada group yang mengalami laba besar dengan pemikiran penambahan pajak PPh pasal 21 dengan kisaran  5% s.d 15% namun akan mengurangi unsur PPh badan dengan tarif 25%.

Walaupun contoh  tersebut di atas sudah pernah tersingkap, bukan tidak mungkin jika kasus -kasus seperti ini masih saja terus terjadi. Sepanjang resiko dan konsekuensi yang diterima wajib pajak tidak terlalu berat maka hal ini dimungkinkan terus terjadi.

Antisipasi Yang Dilakukan

Adakalanya pemilik perusahaan tidak megetahui kejadian-kejadian tersebut dalam perusahaannya sampai kemudian ditemukan oleh petugas pajak. Karena Bagi wajib pajak fungsi pengawasan adalah hal pertama yang dilakukan oleh seorang Account Representative sesuai dengan tugas dan fungsinya, hal yang sama juga sinergi dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa, bagiabn dari antisipasinya seperti melakukan pengawasan dengan :

  • Melakukan komparasi pembayaran gaji/upah setiap bulan pada tahun yang sama, mengembangkan dan mempelajari fluktuasinya selama setahun, bulan mana yang naik tinggi dan yang turun dibawah rata-rata. Tandai bulan mana yang naik dan turun dari rata-rata.
  • Melakukan komparasi pembayaran gaji/upah per bulan pada tahun ini  dengan per bulan pada tahun lalu. Amati jumlah selisihnya dan kenali bulan –bulan yang selisihnya tinggi, baik selisih kurang atau selisih tambah.
  • Melakukan komparasi jumlah pegawai pada bulan tahun ini  dengan bulan yang sama pada tahun lalu. Amati orang yang keluar masuk. Periksa 1) NPWP … 2) Jamsostek-nya … 3) Nomor Induk Pegawainya. Pada prinsipnya orang fiktif tidak akan memiliki NPWP dan Jamsostek.
  • Atas selisih naik/turun ketiga analisis diatas, dilakukan pengujian kebenaran pembayaran pada bulan-bulan tersebut.  Pengujian dilakukan dengan melihat Arus Kas di Rekening Bank “Asli” pada tanggal bayar (perhatikan Checknya, jumlahnya dan tanggalnya)…bandingkan dengan  daftar/Rekap total pembayaran gaji dan Upah karyawan pada bulan-bulan bermasalah tersebut.

Bersambung…..

 

(Semoga bermanfaat untuk mengatur strategi dan antisipasi berikutnya… :))