Terjemahan yang paling tepat untuk hukum kesembilan adalah: Jangan bersaksi dusta untuk mencelakakan orang lain. Tuhan telah memberikan kapasitas berbicara kepada kita, dan menempatkan manusia di atas segala makhluk. Tidak ada satu pun makhluk seperti manusia, yang dapat mengaitkan kata-kata dengan rencana Allah yang kekal. Semua binatang hanya dapat menyuarakan kebutuhan nalurinya. Oleh karena itu, kita harus bersyukur kepada Tuhan atas kemampuan berbicara yang Ia berikan, sebagai bukti bahwa kita dicipta menurut peta teladan-Nya. Hanya kepada manusia Allah mewahyukan rencana-Nya yang kekal, lewat para nabi di Perjanjian Lama dan para rasul di Perjanjian Baru. Sungguh ini adalah suatu hak istimewa yang manusia boleh miliki di hadapan Allah.

Hukum kesembilan adalah satu-satunya hukum yang memiliki hubungan dengan bagaimana kita berbicara. Jangan berbicara hal yang salah, jangan memberikan kesaksian palsu, apalagi itu terhadap orang lain. Jadi, penekanan di dalam hukum kesembilan bukan sekadar masalah berbohong atau tidak, melainkan apakah mulut kita sudah mengatakan hal yang benar atau tidak. Apakah ketika kita mengatakan sesuatu, karena perkataan itu tidak benar, akhirnya berakibat mencelakakan orang lain? Kita harus menyadari bahwa “takut akan Tuhan” dan “cinta terhadap sesama” adalah dua dasar utama dari Sepuluh Hukum. Kita harus bersaksi hanya untuk kebenaran, tidak untuk yang lain. Mulut kita haruslah menjadi alat (instrumen) kebenaran, karena kita dicipta menurut peta teladan Allah. Dengan demikian, mulut kita tidak menjadi batu sandungan atau pisau yang tidak nampak, yang menusuk dan mencelakakan orang. Setiap kata yang jahat, seperti mencaci maki, fitnah, dan lain-lain sekalipun diucapkan hanya beberapa detik, mampu melukai hati orang, bahkan melumpuhkan niat perjuangannya. Ibu-ibu yang merendahkan anaknya sedemikian rupa, mengatakan anaknya bodoh, seperti babi, dan lain-lain, akan mematahkan semangat juang anak itu seumur hidupnya. Oleh karena itu, kata-kata sekalipun pendek yang mengekspresikan ketidakpuasan diri, bisa menjadi batu sandungan dan hambatan bagi anaknya. Kita perlu meminta pertolongan Tuhan agar setiap kata yang kita ucapkan adalah benar dan membangun.

Pada saat kita mengetahui bahwa anak kita berbohong kepada kita, kita akan marah. Kita tidak suka dikelabui atau ditipu. Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa jika kita ingin diperlakukan dengan benar, kita juga harus terlebih dahulu memperlakukan orang lain dengan benar. Kalau engkau ingin orang lain tersenyum kepadamu, tersenyumlah terlebih dahulu kepada orang lain. Etika orang Kristen adalah etika inisiatif, etika aktif dan bukan pasif. Maka orang Kristen yang selalu merasa kurang dihormati, kurang dihargai, kurang diperhatikan, kurang dikasihi, menunjukkan bahwa dia belum mengerti etika Kristen. Konfusius berakata, “Gentleman (orang agung) selalu menuntut diri, orang kerdil selalu menuntut orang.” Orang yang selalu menuntut diri dan merasa diri kurang, harus segera disertai dengan semangat dan tindakan meninggalkan kekurangan itu. Jadi, sambil merasa diri kurang, sambil bersandar pada anugerah Tuhan untuk berubah. Orang yang selalu memperbaiki diri akan menjadi dewasa.

Mengapa seorang anak berbohong? Selain karena dia kreatif, nakal, dan jahat, kemungkinan juga karena orang tuanya terlalu keras, sehingga membuat dia takut dihukum. Oleh karena itu, sebagai pendidik, jangan perlakukan anakmu, muridmu, bawahanmu terlalu keras, sehingga membuat mereka berpura-pura baik di hadapanmu untuk menutupi ketidakmampuannya mencapai tuntutanmu dan melepaskan diri dari hukumanmu.

Seorang anak 13 tahun mengatakan kepada ibunya bahwa dia jatuh cinta kepada seorang gadis yang berusia 18 tahun. Sebenarnya ibunya ingin marah, tetapi ia menahan diri. Lalu di buku harian anak itu tertulis: “Saya bersyukur bisa bertumbuh dengan jiwa yang sehat. Sekalipun aku tidak menikah dengan wanita yang aku taksir itu, tetapi ketika aku mengutarakan cintaku itu kepada ibuku, ia tidak memarahi aku. Di mataku, dia adalah ibu yang bijak.” Kalau orang tua berlaku begitu keras terhadap anaknya, memotong setiap perkataan anaknya, maka tidak ada jalan lain bagi anak itu kecuali berbohong, sehingga semakin lama akan semakin ahli berbohong.

Prof. Peter Whitlock dari Vancouver pernah menceritakan pengalamannya di Perang Dunia II. Ia pernah memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan dua pesawat untuk terbang dalam waktu dua jam. Tetapi anak buahnya mengatakan bahwa satu pesawat dalam kondisi rusak dan butuh waktu enam jam untuk memperbaiki. Dia minta lebih cepat, dan akhirnya diperkirakan bisa selesai dalam empat jam. Setelah hampir empat jam, perbaikan itu hampir selesai, tiba-tiba ada satu baut yang melejit dan masuk ke lubang busi. Pada mulanya, anak buahnya tidak mau melaporkan. Tetapi akhirnya dia melaporkan bahwa dia butuh empat jam lagi untuk memperbaiki, karena ada baut yang masuk ke lubang busi. Memang kalau dijalankan, mesin itu akan jalan, tetapi dalam waktu kurang dari dua jam, pesawat itu akan meledak. Prof. Whitlock berterima kasih atas kejujuran anak buahnya itu. Seandainya dia berlaku keras kepada anak buahnya, dan anak buahnya mendiamkan kejadian itu, tentu ia akan mati. Ada orang yang sebenarnya tidak suka berbohong, tetapi di saat terdesak ia mungkin akan berbohong dan mencelakakan orang. Tentu hal ini sangat disayangkan.

Hukum kesembilan juga mengatakan tentang motivasi. Kita harus memiliki motivasi membangun dan menjadi berkat bagi sesama. Jangan punya niat mencelakakan orang, karena hal itu akan menyeret engkau menjadi alat Iblis dan dibenci oleh Tuhan. Apakah dengan demikian kita bisa berbohong demi menolong orang? Saya tidak mengatakan bahwa hal ini benar, tetapi terkadang demi menolong orang, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali berbohong. Maka persoalannya bukan boleh atau tidak boleh berbohong; tetapi bisa atau tidak bisa tidak berbohong.

Ada seseorang yang suka pergi menginjili ke tempat-tempat yang sangat miskin di mana tidak ada toilet yang memadai. Istrinya tidak bisa dengan toilet seperti itu, sehingga kalau pergi ke tempat demikian, istrinya tidak mau ikut. Satu kali dia harus pergi meninjau tempat penginjilan yang berbahaya di Kalimantan. Ia tidak ingin istrinya ikut, maka ia katakan di sana toiletnya kotor sekali. Ia bertanya kepada saya, apakah berdosa berbohong seperti itu. Saya katakan, sebenarnya engkau bisa berkata jujur. Terkadang kita ingin jujur, tetapi khawatir kejujuran kita akan mengundang kesulitan besar. Ada orang-orang yang sangat berpikir negatif. Maka, kita perlu kebijaksanaan dari Tuhan untuk memberikan pengertian kepada seseorang secara jujur, dengan kasih, dan dengan motivasi yang baik. Terkadang ketika kita tidak bisa meyakinkan seseorang, Tuhan membiarkan kita berbohong dahulu. Bukan berarti Tuhan senang dan setuju kita berbohong. Salah satu contoh dalam Alkitab yang paling jelas adalah kasus Rahab, pelacur di Yerikho. Rahab menyembunyikan Yosua dan Kaleb. Rahab beriman kepada Allah Israel. Rahab seorang pelacur, tetapi beriman besar. Sungguh satu sindiran Tuhan bagi manusia. Mungkinkah orang Kristen yang terbaik saat ini masih menjadi perampok atau pelacur? Kita tidak boleh menganggap semua pelacur jahat. Mungkin mereka seperti itu karena terdesak keadaan. Kita perlu memiliki hati yang rendah hati.

Kalimat pernyataan wanita yang paling penting dan berbobot adalah pernyataan Maria, ibu Yesus; tetapi perkataan yang terpanjang yang diwahyukan di dalam Alkitab adalah perkataan Rahab. Ia menyimpulkan bahwa “Allahmu adalah Allah yang sejati, sementara allahku adalah allah palsu.” Dua pengintai itu masuk ke rumah Rahab bukan ingin tidur dengan Rahab, tetapi karena Tuhan mau memilih dan menyelamatkan dia. Rahab berbohong ketika para tentara menggeledah rumahnya. Apakah dia melanggar hukum kesembilan? Sebagai seorang manusia, kita begitu lemah dan bisa takut untuk berkata jujur. Maka Rahab, demi imannya kepada Allah Israel dan demi menyelamatkan dua orang yang tidak bersalah itu, dia berbohong. Dengan demikian ia berhasil menyelamatkan kedua orang itu. Maka, Rahab berdusta dalam kondisi yang berbeda dengan tuntutan hukum kesembilan. Dia tidak mencelakakan orang.

Sejak kecil saya memerhatikan bahwa di dalam hukum keenam hingga kedelapan, hanya berisi larangan, tetapi hukum kesembilan ditambah dengan motivasinya: “untuk mencelakakan orang lain”. Ini mirip dengan hukum kedua tentang membuat patung. Bukan masalah pembuatannya, tetapi motivasinya. Buktinya, Allah menyuruh orang Israel membuat dua patung kerub dan meletakkannya di atas Tabut Perjanjian. Maka, motivasi menentukan pembuatan patung ini. Demikian juga, Allah mencatat kasus Rahab yang berdusta demi menolong orang yang Tuhan pilih. Maka sekali lagi, di sini bukan masalah boleh atau tidak, tetapi apakah ada kemungkinan tidak berbohong atau tidak. Jika Rahab tidak berbohong, apakah Allah sanggup menyelamatkan kedua orang itu? Pasti sanggup. Bukan demi menyelamatkan orang maka saya boleh berbohong. Hal itu Allah izinkan terjadi karena kita tidak punya pilihan dan kita tidak berani untuk tidak berbohong. Bahkan dalam keadaan seperti itu, itu tetap merupakan dosa, tetapi karena motivasimu untuk menolong, maka Tuhan mengerti. Dan setelah itu, engkau harus tetap minta pengampunan dari-Nya. Tuhan Yesus sangat mengerti kesulitan kita. Itu sebabnya, ketika Ia di dunia, Ia mau menjadi kawan bagi pelacur, pemungut cukai, dan orang-orang yang berseberangan dengan orang Farisi. Mari kita mengerti isi hati Tuhan lebih dari sekadar mengerti Alkitab secara harfiah.

Jika demikian, bolehkah kita menyamakan bohong demi menolong orang dan bukan demi menolong orang? Prinsip penting dalam hukum kesembilan adalah saling menghormati dan tidak mau merugikan atau mencelakakan sesama. Sering kali orang berbohong karena takut mengatakan hal yang benar. Mungkin dengan mengatakan hal yang benar, ia akan mencelakakan dan merugikan dirinya sendiri. Jadi pada saat orang dalam bahaya, ia mungkin tidak berani mengambil risiko untuk berkata jujur.

Di dalam abad 20, ada dua kali Perang Dunia (PD I: 1914-1918; PD II: 1939-1945). Perang Dunia I menelan 7 juta korban jiwa. Oleh karena itu, setelah PD I, pada tahun 1919 negara-negara di dunia mengadakan konferensi di Paris dan berpawai untuk menyatakan tidak mau berperang lagi dan menginginkan kedamaian. Tetapi 20 tahun kemudian, Hitler merasa sebagai bangsa yang paling superior, paling benar, maka Jerman pantas memerintah dunia. Hitler mengawalinya dengan buku kecilnya yang berjudul: Perjuanganku (Mein Kampf). Buku kecil ini telah menelan 30 juta lebih korban. Sebenarnya Hitler adalah orang Austria, tetapi ia merasa lebih Jerman dan pantas memerintah dunia. Pidatonya sangat berkharisma dan berhasil menaklukkan parlemen Jerman. Ketika tahun 1933 ia memerintah, ia mulai menjadi diktator yang memulai Perang Dunia II.

Hitler, bersekutu dengan Mussolini di Italia dan Hirohito di Jepang telah mendatangkan korban sekitar 30-50 juta. Tetapi angka ini kemudian diveto oleh Gorbachev pada tahun 1989 dengan menyatakan bahwa ada 30 juta lagi di Rusia yang tidak pernah diumumkan. Itu berarti seluruh korban Perang Dunia II lebih dari 60 juta jiwa. Itu dikarenakan saat Perang Dunia I, alat-alat perang mutakhir belum ada. Perang Dunia II sudah dilengkapi dengan tank dan bom yang berkekuatan tinggi, pesawat tempur, dan terakhir bom atom. Hal yang paling tragis dalam PD II adalah pembantaian orang Yahudi oleh orang-orang Jerman. Pada saat itu, ada seorang wanita Reformed yang cinta Tuhan, Corrie ten Boom, yang berani berbohong untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi. Juga Schindler, seorang pedagang kaya yang suka main perempuan, melakukan hal yang sama, yaitu menyembunyikan orang-orang Yahudi agar tidak dibunuh oleh orang Jerman. Rezim Hitler menganiaya orang Yahudi, rezim Mao Zedong menganiaya orang Kristen dengan sangat kejam dan brutal. Tetapi di masa-masa seperti itu, Tuhan membangkitkan orang-orang, baik Kristen atau non-Kristen yang berhati mulia untuk menolong orang-orang yang terancam bahaya.

Mengapa manusia yang dicipta menurut peta teladan Allah tidak mencerminkan kesucian, keadilan, kasih, dan kemurahan Allah; sebaliknya malah dilanda benci, egois, balas dendam, bahkan tega melakukan hal-hal yang sangat sadis? Theologi Reformed menjawab, karena anugerah umum telah disingkirkan. Manusia bisa melakukan tindakan-tindakan yang lebih brutal, tetapi hal itu tidak dilakukan karena masih ditahan oleh anugerah umum. Di surat Tesalonika dinyatakan bahwa orang berdosa besar itu belum muncul karena masih ada yang menahannya. Theologi Reformed menyebut penahan itu sebagai anugerah umum (common grace). Maka menurut John Calvin, anugerah umum itu mencakup: 1) Pemerintah; karena pemerintah yang paling buruk masih lebih baik daripada tidak ada pemerintah; 2) Hukum negara; 3) Semua peraturan dalam masyarakat; 4) Hati nurani; 5) Opini masyarakat; 6) Kebudayaan; 7) Tradisi; 8) Agama. Unsur-unsur ini menyebabkan manusia takut mendapatkan celaka, balasan, dan hukuman, sehingga membendung manusia untuk melakukan dosa dan tindakan yang lebih mengerikan. Di sini kedaulatan Allah nyata, bahkan berlaku kepada orang yang bukan Kristen sekalipun.

Adanya anugerah umum memungkinkan suatu daerah yang bukan Kristen bisa lebih damai dan lebih baik dibanding dengan daerah Kristen. Oleh karena itu, orang Kristen tidak boleh sombong. Bahkan mungkin saja orang yang beragama bisa lebih berani berbuat jahat ketimbang orang yang tidak beragama. Semua ini bisa terjadi karena adanya anugerah umum. Maka, orang atheis, orang sekuler bisa melakukan kebajikan berdasarkan anugerah umum. Maka, kembalikan semua kemuliaan kepada Allah, kita tidak memiliki jasa apa pun.

Kita telah menyinggung Rahab, Schindler, dan Corrie ten Boom. Mereka telah berbohong demi menyelamatkan nyawa orang lain. Tindakan ini mirip seperti yang menjadi landasan dari Etika Situasi. Ajaran Etika Situasi mengatakan bahwa seseorang boleh berdusta jika dengan alasan dan motivasi kasih. Sebelum makan, orang Yahudi biasa cuci tangan terlebih dahulu. Ketika suatu kali orang Yahudi menemukan bahwa murid-murid Tuhan Yesus makan tanpa mencuci tangan, mereka bertanya kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menjawab, “Makanan yang masuk tidak menajiskan jiwa; tetapi perkataan yang diucapkan mulut, yang keluar dari hati yang jahat; itulah yang mendatangkan malapetaka bagi orang lain.” Yesus menegur mereka karena mereka hanya memikirkan hal yang remeh, tentang cuci tangan, tetapi melupakan hal yang terpenting, yaitu makanan rohani. Pada zaman ini, orang kalau kurang makan sedikit saja, langsung marah-marah; sementara ketika mendengarkan khotbah yang salah, tidak bereaksi apa-apa. Maka, tidak heran Tuhan Yesus menegur orang Yahudi, “Kamu mencari Aku bukan karena telah melihat tanda, tetapi karena sudah makan dan menjadi kenyang.” Dia memisahkan orang yang telah melihat tanda dan orang yang ingin makan. Kita perlu mengerti siapa Tuhan dari apa yang Ia lakukan. Tetapi orang lebih suka pada hasil apa yang Tuhan lakukan. Di sini kita melihat bahwa Tuhan Yesus mengetahui isi hati manusia lebih dari siapapun. Ketika Tuhan Yesus memberikan firman, mereka tidak menghiraukan. Ini berbeda dari Rahab yang mengutamakan perkara yang kekal. Dari apa yang terjadi di dalam sejarah, ia mengerti siapa Allah orang Israel. Ketika Rahab atau Corrie berbohong, itu bukan karena Tuhan yang menggerakkan atau mengizinkan dia berbohong, tetapi karena ia merasa tidak ada cara lain. Manusia memang terbatas, sehingga sekalipun ia seorang rohani, di saat tertentu ia menjadi takut ketika diperhadapkan pada satu situasi yang menakutkan. Orang tua, guru, dosen, bahkan pendeta atau penginjil adalah manusia yang memiliki kelemahan. Itu sebab, kita sangat menghargai orang Kristen yang imannya sejalan dengan kelakuannya. Berkata mudah, menjalankan sulit. Saya rasa Tuhan mengerti ketika Rahab, Schindler, Corrie ten Boom berbohong, karena mereka merasa tidak ada jalan lain. Dia akan mengampuni kita. Tetapi tidak boleh dibalik, karena aku berniat menolong orang, maka bohong itu bisa dibenarkan. Itu tetap dosa. Salah tetap salah, benar adalah benar. Tetapi saat engkau ingin menolong orang lain dan tidak mempunyai cara lain, tidak mempunyai keberanian untuk berkata jujur, maka mungkin engkau berbohong. Maka, kembali ke hukum kesembilan, jangan merugikan atau mencelakakan orang lain, apalagi dengan menjadi saksi dusta.

Ada orang-orang yang dalam keadaan yang sulit diberi kekuatan untuk berani berkata jujur. Ada seorang ibu yang menyuruh anaknya yang baru berusia sebelas tahun untuk mengantar uang ke rumah kakeknya yang sedang sakit. Tetapi karena perjalanan berbahaya, ibu itu memasukkan uang itu ke kaos kaki anaknya. Ketika anaknya di tengah jalan, ia dihadang perampok. Perampok itu bertanya, “Mau ke mana?” Dia menjawab dengan sangat tenang, “Mau ke rumah kakek.” Perampok itu bertanya lagi, “Apakah engkau membawa uang?” Dia mulai sedikit gelisah, kalau dia berkata jujur, pasti uang itu diambil dan kakeknya yang sakit mungkin akan mati; tapi kalau ia berbohong, lalu digeledah dan ditemukan, ia pasti dipukuli sampai mati. Maka ia menjawab jujur. Dia berkata, “Ya, saya membawa uang.” Ditanya, “Di mana?” Ia menjawab, “Uang yang saya bawa bukan uang biasa.” Perampok itu heran, “Apa maksudmu?” Lalu anak itu bercerita, bahwa uang itu dibawa untuk pengobatan kakeknya yang sakit keras. Lalu ia mengeluarkan uang itu dari kaos kakinya, dan berkata, “Inilah uang yang mama berikan untuk pengobatan kakekku.” Perampok itu bertanya, “Kakekmu sakit apa?” Dengan nada yang sudah melunak, si anak menceritakan sakit kakeknya dengan sedih. Akhirnya, perampok itu berkata, “Ok, bawalah uang itu untuk kakekmu, saya minta sedikit saja.”

Ada kisah lain yang dicatat dalam buku Prof. Sorokin dari Harvard University, mantan Sekretaris Umum Partai Komunis di zaman Stalin. Ia membenci komunisme dan mencari suaka politik di Amerika Serikat. Di dalam buku itu ada kisah yang menceritakan kekuatan besar yang terkandung dalam kata-kata yang jujur dan penuh cinta kasih, yang sanggup menyentuh hati orang jahat dan mengubahnya. Suatu kali, ada seorang perempuan tua, bendahara dari satu yayasan orang tua yang baru saja mengumpulkan dana lebih dari lima belas ribu dolar. Ia membawa uang itu ke apartemennya di Manhattan, menaruhnya di laci dan tidur. Pada tengah malam itu, seorang maling berperawakan tinggi besar masuk ke apartemennya, menodong dia dengan pistol sambil membangunkan dia. Nenek itu bangun terkejut, tetapi dia masih dapat berkata dengan tenang, “Mengapa engkau datang di rumahku?” Ia menjawab, “Aku butuh uang, serahkan uangmu kepadaku.” “Seharusnya engkau tidak menjadi orang jahat seperti ini,” kata nenek itu dengan lembut, “ayo duduk. Kalau hidupmu susah, carilah pekerjaan.” Penjahat itu membentak, “Jangan banyak bicara, serahkan uangmu!” Nenek berkata, “Kamu masuk ke tempatku tanpa permisi, jangan galak-galak seperti itu. Di tempatku memang ada uang. Tetapi uang itu bukan milikku.” Perampok itu menyanggah, “Tidak peduli, serahkan kepadaku!” Nenek itu melanjutkan, “Uang itu adalah uang perhimpunan sosial yang akan dipakai untuk menolong orang-orang lanjut usia, khususnya mereka yang terbaring di rumah sakit karena kena kanker. Kemarin kami berhasil mengumpulkan lima belas ribu dolar lebih. Besok akan kubagikan pada orang-orang yang membutuhkan.” Nenek itu berbicara dengan jiwa yang sangat stabil dan jujur. Perampok itu terharu, tetapi ia pikir apakah aku akan keluar dari sini tanpa membawa hasil? “Tetapi kalau aku ambil uang itu, aku berdosa.” Di sini common grace bekerja. Wanita tua itu mengeluarkan uang dari laci dan berkata, “Ini uangnya, tetapi kalau engkau mengambil uang yang sedianya dipakai untuk menolong orang miskin yang sakit ini, engkau berdosa.” Perampok itu berkata, “Tetapi aku butuh uang.” Nenek menyanggah, “Orang lain lebih membutuhkannya darimu.” Lalu perampok itu melunak, “Apa yang harus aku perbuat, Bu?” Dijawab, “Pergilah dari sini, aku ingin tidur.” Perampok itu setuju, lalu berjalan ke arah pintu. Tetapi ia kemudian berbalik dan berkata, “Aku rasa kata-katamu betul. Ada banyak orang tua yang miskin dan susah. Aku juga mau ikut berbagian.” Ia mengeluarkan sepuluh dolar dari sakunya dan memberikannya kepada wanita tua itu dengan pesan, “Tidak usah tulis namaku. Aku percaya. Engkau adalah orang yang jujur. Aku ingin berbagian supaya aku diberkati Tuhan.” Prof. Sorokin mengomentari bahwa manusia tidak seburuk apa yang kita pikirkan. Orang jahat pun masih memiliki hati nurani. Kalau kata-kata kita jujur, jiwa kita stabil, mungkin kita bisa menggerakkan dia menjadi lebih baik. Mahatma Gandhi, yang hidup di abad ke-20, sanggup menaklukkan hati Kerajaan Inggris Raya, yang waktu itu merupakan kerajaan terbesar di dunia, tanpa menggunakan senapan atau peluru, karena kekuatan batin tidak dapat ditaklukkan dengan kekuatan mesin perang. Jadi, orang yang lemah, kurang rohani, memang bisa berbohong, maka mintalah agar Tuhan memberi engkau kekuatan, memiliki batin yang stabil, dan lebih berani daripada orang jahat. Kiranya Tuhan memberkati. Amin.

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/sepuluh-hukum-hukum-kesembilan-bagian-4