Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan kawan satu almamater yang memilih bekerja diluar sana dibandingkan di instansi yang menyekolahkannya. Sebagai Senior Manajer di Perusahaan swasta yang bonafid dia mengatakan bahwa banyak perusahaan swasta melakukan penyimpangan kewajiban perpajakan sekarang ini bukan karena benci dengan orang pajak namun kepada kebijakan dan kepemimpinan elit negara ini. Saya memang tidak mempertanyakan metode penyimpangannya, namun yang terpikir adalah ini membuktikan bahwa masih banyak potensi-potensi penerimaan negara yang masih dapat digali dari para wajib pajak, sehingga bukankah akan lebih elegan jika para punggawa di kantor pusat sana memikirkan strategi ini dibandingkan mengangkat isu Pajak Kekayaan kembali.
Seperti diberitakan dibanyak media bahwa Direktur Jenderal Pajak Bapak Fuad Rachmany menghidupkan kembali bahkan sedang mengkaji pengenaan pajak kekayaan bagi orang-orang kaya atau berkategori High Net Worth Individual (HNWI). Maka sebagai pelaksana dilapangan saya mencoba merenungi maksud dan tujuan bapak yang satu ini agar nantinya saya tidak salah dan dikata-katai oleh wajib pajak dilapangan :D. Dan hasil perenungan tersebut saya tuangkan demikian.
“The power to tax is the power to destroy“ begitulah yang dikatakan John Marshal dengan penekanan bahwa kewajiban negara harus didahulukan sebelum menuntut kewajiban membayar pajak. Sepanjang tujuannya untuk keseimbangan, menghilangkan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, wacana pengenaan Pajak Kekayaan adalah sah-sah saja. Pertanyaan saya yang bodoh ini, apakah pantas membicarakan sesuatu yang bernama Pajak Kekayaan, sementara di lapangan sangat banyak aturan-aturan perpajakan yang belum dimaksimalkan hubungannya dalam penggalian potensi penerimaan perpajakan, tingkat kepatuhan serta tingkat penyimpangan yang terjadi dibandingkan berfikir mengenakan Pajak Kekayaan, tapi sudah lah…. :D.
Pajak Kekayaan
Sumber di media menyatakan bahwa Pajak Kekayaan ditujukan kepada pemilik bisnis yang mencatatkan saham perusahaannya di bursa (saham pendiri). Pengenaan Pajak Kekayaan ini akan ditarik setiap tahun dari para pemegang saham pendiri. Dan pemungutan pajak juga dikenakan pada saat para pemegang saham menjual sahamnya di pasar modal. Rencananya tarif yang dikenakan adalah 0.1% bersifat final. Pajak ini merupakan pajak tambahan dari pajak transaksi penjualan saham karena sebelumnya sudah ada pajak atas keuntungan jual beli saham (capital gain).
Pengenaan Pajak Kekayaan rencananya tidak hanya diterapkan terhadap kepemilikan saham, tapi juga kepemilikan portofolio lainnya, seperti obligasi. “Bahkan, kekayaan nonportofolio kemungkinan juga bisa dikenai pajak kekayaan sekalipun aset-aset tersebut tidak ditransaksikan. Optimisme pemerintah memberlakukan pengenaan pajak kekayaan hanya terhadap kepemilikan saham tidak akan mematikan industri pasar modal atau memicu capital flight. karena, yang terkena aturan itu hanya orang-orang kaya atau berpendapatan tinggi dan pemegang saham pengendali saja.
Beberapa Ahli Berpendapat
- Pengamat Pajak dari Universitas Indonesia Gunadi yakin, rencana pajak kekayaan tak otomatis membuat iklim usaha di Indonesia menjadi buruk. Terutama, bagi perusahaan yang ingin menawarkan sahamnya ke publik lewat bursa. “Kalau 0,1% tidak akan berpengaruh. Tapi kalau 10%-15% pasti berpengaruh buruk. (nasional.kontan.co.id)
- Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia Darussalam mengatakan, rencana pemerintah menerapkan pajak kekayaan untuk saham atau portofolio ibarat pedang bermata dua atau double side. Di satu sisi, kebijakan ini dapat berimplikasi negatif karena mendorong pelarian modal dan menimbulkan pajak berganda. “Dalam hal ini, DJP harus ekstra hati-hati karena pajak ini bisa menimbulkan efek negatif seperti pelarian pasar modal serta pajak berganda,” (www.beritasatu.com).
- Ronny Bako, Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) mengatakan, pajak atas kekayaan ini akan membuat wajib pajak ketakutan melaporkan kekayaan mereka. Namun, jika hanya untuk perusahaan yang akan go public tidak akan jadi masalah. (nasional.kontan.co.id)
- Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai pajak terlalu panik dengan beban penerimaan. “Semua harus dihitung betul. Ketika ekonomi sulit seperti sekarang, kok malah mau menggenjot pajak. Maunya pemerintah itu apa?” (nasional.kontan.co.id)
- Director Head of Global Markets HSBC Bank Ali Setiawan, Ali Setiawan berpendapat, jika pemerintah menerapkan pajak kekayaan, hal itu akan mengurangi jumlah investor di pasar modal. Padahal, bursa di Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain.
- Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia Lily Widjaja, mengungkapkan, penerapan pajak kekayaan tidak tepat karena kontribusi pelaku pasar modal terhadap pendapatan pajak negara saat ini sudah cukup signifikan. “Investor sudah membayar fee transaksi dan juga pajak pertambahan nilai (PPN). Perusahaan efek juga membayar pajak, belum lagi pajak emiten untuk negara yang nilainya tidak sedikit,”. Wacana pajak kekayaan belum tepat karena pasar modal Indonesia sedang bertumbuh. Pengenaan pajak kekayaan atas saham akan membuat investor enggan masuk pasar. Padahal, basis investor pasar modal masih sedikit dibandingkan jumlah penduduk Indonesia. Seharusnya pemerintah memberikan insentif untuk pelaku pasar modal, terutama investor. “Sekarang ini sedang diusahakan untuk menurunkan biaya transaksi. Bila pengenaan pajak dilakukan berbarengan dengan fee transaksi justru akan kontraproduktif,”. Menaikkan biaya transaksi bukan jawaban yang tepat untuk saat ini. Kajian komprehensif mengenai pemberlakuan pajak kekayaan atas saham harus dilakukan agar tidak kontraproduktif dengan tujuan memajukan pasar modal. (www.beritasatu.com)
Apapun pendapat diluar sana, sebagai petugas dilapangan kami tetap mendukung kebijakan yang dilakukan oleh pemimpin kami. Teruslah keluarkan wacana-wacana lainnya…
(Garuda di dada siapa? 🙂 ).