Salah satu tunggakan pekerjaan yang mendekati Jatuh Tempo kali ini adalah sengketa wajib pajak terkait dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai  (selanjutnya disebut PPN dalam tulisan ini) Tahun Pajak 2010 atas komisi yang diterima dari Luar Negeri. Wajib Pajak keberatan atas pengenaan PPN terhadap komisi yang diterima dari luar negeri tersebut, walaupun wajib pajak tidak setuju dengan koreksi dan produk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN tersebut namun atas pajaknya dibayar seluruhnya oleh wajib pajak, sedikit heran juga karena seperti yang kita ketahui bersama apabila terdapat sengketa dan keberatan wajib pajak selalu diwakili oleh kuasa yang memang diperbolehkan sepanjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Pasal 32 UU KUP dan PMK-22/PMK.03/2008), dan dalam kasus ini sepertinya kuasa wajib pajak menyarankan untuk melunasi walaupun tidak setuju.

Lalu bagaimanakah sebenarnya, apakah atas komisi yang diterima dari luar negeri harus dikenakan Pajak Pertambahan Nilai?  bukankah komisi  yang diperoleh akibat jasa perdagangan/jasa perantara yang diberikan juga merupakan jasa kena pajak,  UU PPN mendefinisikan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.  Apakah karena pemberi komisi berada di LN sehingga layak diperdebatkan tidak terutang PPN, bagaimana dengan prinsip destinasi yang dianut PPN?

Maka kali ini saya mencoba membahasnya dengan memberi judul tulisan ini Bila penghasilan komisi dari luar negeri terutang PPN serta tulisan ini merupakan dasar bagi saya dalam memutuskan menerima permohonan wajib pajak atau menolak atau malah menambah-nya serta mengusulkan pemeriksaan pajak tahun-tahun sebelumnya :). Harapannya pembaca dapat memberikan masukan demi suatu kemudahan pemahaman serta kepastian yang bersinggungan dengan kasus-kasus seperti ini.

Permasalahan

Berawal dari pemikiran  Bentuk Usaha tetap (selanjutnya disebut BUT dalam tulisan ini), dan berkembang menjadi anak perusahaan dengan mendirikan badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT. Nusahati tulisan ini) yang artinya sejak saat pendirian itu maka BUT yang ada sudah dianggap tidak adalagi.

PT. Nusahati menghubungkan penjual barang yang berada di luar Pabean dengan pembeli yang berada di dalam Daerah Pabean, hal ini berdasarkan izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) salah satu kegiatan PT. Nusahati adalah mengenalkan produk dengan imbalan komisi apabila produk tersebut laku. Dalam prakteknya  Nusahati Machinery Co. Ltd (Negara Jepang) melakukan transaksi langsung kepada pembeli yang dikenalkan oleh PT. Nusahati dan atas hal ini PT. Nusahati mendapatkan komisi 10% dari keuntungan yang diterima Nusahati Machinery Co.Ltd. Pembayaran komisi langsung dikirim dari rekening Nusahati Machinery Co.Ltd ke rekening PT. Nusahati, apakah atas komisi ini terutang PPN?, dan Apakah PT. Nusahati harus menerbitkan Faktur Pajak? Demikian penelaahannya….  😛

Jasa Perdagangan/Jasa Perantara

Jasa Perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, dengan menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli barang pihak lain itu, atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Dengan demikian, jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, dan jasa mencarikan penjual atau pembeli. (Surat Edaran Dirjen Pajak SE-145/PJ/2010).

Dalam SE-145/PJ./2010 Pasal 5 menegaskan bahwa jasa perantara yang tidak dikenai PPN adalah jasa perantara yang diberikan dalam kondisi sebagai berikut:

  1. Pemberi jasa perantara dan penjual barang selaku penerima jasa perantara berada di luar Daerah Pabean (luar negeri), sedangkan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean; atau
  2. Pemberi jasa perantara dan pembeli barang selaku penerima jasa perantara berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean.

Bagaimana jika pemberi jasa perantara berada di luar Daerah Pabean (luar negeri) sementara penerima jasa perantara berada di dalam negeri? Mengacu pada angka 2.1 huruf c dan d SE-145/PJ./2010, atas transaksi ini tetap terutang PPN. Dalam hal ini dianggap telah terjadi pemanfaatan jasa perantara dari luar negeri, sehingga PPN yang terutang dipungut sendiri oleh pihak yang telah memanfaatkan jasa dengan menggunakan SSP (Surat Setoran pajak).

Tinjauan Dari Prinsip Destinasi

Sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 42 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU PPN dalam tulisan ini) mengatakan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :

  • a. penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  • b. impor Barang Kena Pajak;
  • c. penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  • d. pemanfaatan BKP TB dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  • e. pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  • f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
  • g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
  • h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Berdasarkan poin c di atas, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Jasa Kena Pajak, dengan syarat dilakukan di Dalam Daerah Pabean dan di lingkungan perusahaan atau pekerjaan pengusaha yang bersangkutan. Hal ini menegaskan bahwa  PPN menganut prinsip destinasi atau tujuan, artinya  bahwa target PPN adalah barang atau jasa yang dikonsumsi/dimanfaatkan di dalam negeri.

Hal yang perlu diingat adalah kata penyerahan adalah peruntukan untuk Barang Kena Pajak (BKP) sementara pemanfaatan adalah peruntukan untuk Jasa Kena Pajak (JKP). PPN juga menganut negative list semua barang adalah BKP kecuali yang dikecualikan, semua jasa adalah JKP kecuali yang dikecualikan. (Pasal 4a UU PPN).

Berdasarkan kasus di atas jika PT. Nusahati memberi manfaat kepada Nusahati Machinery Co. Ltd, dan jasa tersebut dinikmati dan dimanfaatkan di Indonesia maka sesuai dengan prinsip destinasi atas pemberian komisi di atas Terutang PPN dan wajib dipungut PPN oleh pemberi jasa, dalam hal ini Wajib Pajak Dalam Negeri, sebesar 10%. Jika Wajib Pajak Luar Negeri tidak mau dipungut PPN maka kewajiban memungut PPN “tetap” dibebankan kepada Wajib Pajak Dalam Negeri.

Tinjauan Tax Treaty dan Beberapa Ketentuan

  • Berdasarkan Tax Treaty Indonesia Jepang Pasal 5 ayat 8 mengatakan : “Suatu perusahaan dari suatu Negara tidak dianggap mempunyai pendirian tetap di Negara lain hanya karena menjalankan usaha di Negara lain tersebut melalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri, sepanjang mereka bertindak dalam rangka usahanya yang lazim“.
  • Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.52/1996 tanggal 29 Maret 1996 Ayat 2 (2.2. b) Mengatakan “Jasa Perdagangan tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam hal pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean, sedang pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean sepanjang pembeli barang tersebut tidak mempunyai BUT dan  pembayaran jasa tersebut dilakukan secara langsung oleh pembeli barang tersebut kepada pengusaha jasa perdagangan.”
  • Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-08/PJ.5/1995 tanggal 17 Maret 1995 pada butir 5.2, dijelaskan bahwa PPN yang dipungut harus disetorkan oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. Surat Setoran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean diperlakukan sebagai Faktur Pajak sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor  terakhir dengan PER-27/PJ./2011 tanggal 19 September 2011 dan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalam Faktur Pajak tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan sesuai ketentuan yang berlaku.
  • Berdasarkan Surat Penegasan Direktur Jenderal Pajak Nomor S-1982/PJ.52/1995 tanggal 27 September 1995 pada butir 3 menyebutkan bahwa Atas komisi yang diterima langsung dari prinsipal di luar negeri tersebut tidak terutang PPN sepanjang memenuhi 2  persyaratan sekaligus sebagai berikut :
  1. Penerimaan komisi itu didukung dengan perjanjian tertulis yang dibuat secara langsung antara PT. ABC dan prinsipal yang berkedudukan diluar negeri, dalam arti tidak melalui BUTnya di Indonesia (bila ada), atau tidak melalui pembeli/importir di Indonesia, dan
  2. Pembayaran penggantian atas jasa tersebut dibayar secara langsung oleh prinsipal di luar negeri,dalam arti tidak melalui BUTnya di Indonesia (bila ada), atau tidak melalui pembeli/importir di Indonesia.”Penegasan yang ditanyakan adalah apakah perjanjian tertulis yang dibuat secara langsung ini merupakan sesuatu yang mutlak harus ada dalam bentuk perjanjian formal, atau dapat berupa perjanjian dalam bentuk lain.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis berkesimpulan bahwa atas komisi akibat Jasa Perdagangan/Perantara yang diterima perusahaan dalam negeri (Indonesia) yang berasal dari luar negeri  adalah terutang PPN. Walaupun beberapa diskusi masih memperdebatkan karena dipengaruhi beberapa pengertian dalam aturan itu sendiri, hal yang mempengaruhi pengertian tersebut diantaranya adalah :

  1. Kepemilikan BUT di Indonesia (SE-08/PJ.52/1996 Ayat 2 (2.2. b), Apabila Pengusaha Jasa Perantara (PT. Nusahati) yang bergerak dalam bidang jasa dan pembeli barang berada didalam Daerah pabean, sementara penjual barang (Principal) selaku penerima jasa berada di luar daerah pabean dan tidak mempunyai BUT di Indonesia serta pembayaran jasa tersebut langsung oleh penjual barang (Principal) maka atas komisi tersebut tidak terutang PPN.
  2. Adanya Perjanjian dan Transaksi Langsung, (surat penegasan Direktur Jenderal Pajak Nomor S-1982/PJ.52/1995 pada butir 3) menyebutkan bahwa Atas komisi yang diterima langsung dari prinsipal di luar negeri tersebut tidak terutang PPN sepanjang memenuhi 2  persyaratan sekaligus yaitu Penerimaan komisi itu didukung dengan perjanjian tertulis yang dibuat secara langsung antara PT. ABC dan prinsipal yang berkedudukan diluar negeri dan pembayaran penggantian atas jasa tersebut dibayar secara langsung oleh prinsipal di luar negeri.

Dalam kasus ini saya tetap mengembalikan pengertian bahwa sesuatu jasa tertentu itu terutang atau tidak terutang PPN adalah berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Prinsip Destinasi, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) poin c di atas, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Jasa Kena Pajak, dengan syarat dilakukan di Dalam Daerah Pabean dan di lingkungan perusahaan atau pekerjaan pengusaha yang bersangkutan. Hal ini menegaskan bahwa  PPN menganut prinsip destinasi atau tujuan, artinya  bahwa target PPN adalah barang atau jasa yang dikonsumsi/dimanfaatkan di dalam negeri. Jika PT. Nusahati memberi manfaat kepada Nusahati Machinery Co. Ltd, dan jasa tersebut dinikmati dan dimanfaatkan di Indonesia maka sesuai dengan prinsip destinasi atas pemberian komisi di atas Terutang PPN dan wajib dipungut PPN oleh pemberi jasa, dalam hal ini Wajib Pajak Dalam Negeri, sebesar 10%. Jika Wajib Pajak Luar Negeri tidak mau dipungut PPN maka kewajiban memungut PPN “tetap” dibebankan kepada Wajib Pajak Dalam Negeri.
  2. Kelaziman,  sebelum dibentuknya PT. Nusahati telah berdiri suatu BUT Nusahati Machinery Co. Ltd, adapun dalam prakteknya PT. Nusahati sama persis dengan BUT yang ada dan hal ini tidak lazim seperti yang tertuang dalam Tax Treaty Indonesia Jepang Pasal 5 ayat 8 mengatakan : “Suatu perusahaan dari suatu Negara tidak dianggap mempunyai pendirian tetap di Negara lain hanya karena menjalankan usaha di Negara lain tersebut melalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri, sepanjang mereka bertindak dalam rangka usahanya yang lazim” Maka atas penyerahan komisi dari luar negeri ke dalam negeri terutang PPN.
  3. Jasa Perantara adalah JKP, (Surat Edaran Dirjen Pajak SE-145/PJ/2010 angka 2.1 huruf c) menegaskan telah terjadi pemanfaatan jasa perantara dari luar negeri, bahwa pemberi jasa perantara berada di luar Daerah Pabean (luar negeri) sementara penerima jasa perantara berada di dalam negeri, PPN yang terutang atas penyerahan jasa perantara di dalam Daerah Pabean, pemungutan PPN dilakukan oleh pemberi jasa.

Beberapa Dasar Hukum Terkait :

  • UU PPN terakhir nomor 42/2009
  • Surat Penegasan S-1982/PJ.52/1995
  • SE-08/PJ.52/1996
  • PMK -70/PMK.03/2010 diubah dengan PMK-20/PMK.03/2011
  • SE-145/PJ/2010
  • dll

 

 

(Sekedar opini, semoga bermanfaat :))