Saya kurang paham apakah Australia jadi menetapkan Pajak Bencana di tahun 2011 lalu, namun yang menarik adalah adanya niat mengusulkan pajak baru yang berguna untuk rekonstruksi dan pemulihan lokasi bencana alam, dimana sumbernya adalah pengenaan pajak lebih bagi orang kaya. Disini penulis tidak bermaksud melemparkan isu tersebut untuk juga diberlakukan, melainkan mencoba mempelajari sedikit tentang aspek perpajakan pasca bencana alam, dimana seperti kita ketahui sampai saat ini pun air belum surut akibat banjir besar yang melanda sebagian Jakarta dan daerah-daerah lainnya, dan diantara korban banjir tersebut temasuk juga wajib pajak dan tempat usahanya.

Dapat dipastikan bahwa wajib pajak  yang menjadi korban menderita kerugian dalam usahanya, lalu bagaimana dengan aspek perpajakannya? Dalam kondisi seperti ini kita mengenal suatu istilah keadaan kahar atau  force majeure. Force Majeure adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan manusia seperti banjir, kebakaran, petir, gempa bumi, wabah, perang, perang saudara, huru-hara, pemogokan, pembatasan oleh penguasa dari suatu pemerintahan, pambatasan perdagangan oleh suatu undang-undang atau peraturan pemerintah, atau dikarenakan suatu keadaan atau kejadian alamiah yang tidak dapat diduga sebelumnya (Butir 3.a SE-24/PJ.43/2000 tanggal 28 Agustus 2000).

Maka dalam kesempitan ini penulis mencoba menguraikan sekilas aspek perpajakan  dalam kondisi bencana alam, implikasinya bagi Petugas Pajak sebagai petugas pengumpul pajak, Wajib Pajak yang menjadi korban maupun wajib pajak penyumbang. Semoga bermanfaat dan menambah sedikit pengetahuan perpajakan pembaca setia nusahati :).

Petugas Pajak

Dalam kondisi pasca bencana alam seperti banjir yang terjadi diwilayah Jakarta dan beberapa daerah lainnya, petugas pajak diwajibkan tetap menjalankan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengumpulan pajak. Karena konsep pemahamannya adalah bencana seperti banjir hanya terjadi sementara sehingga dampaknya tak akan membuat kerusakan terlampau besar bagi dunia usaha. Selain itu, bukankah dalam perekonomian dikenal mekanisme asuransi. Jadi, walaupun beberapa industrinya terkena banjir, “Pengusaha tetap bisa memperoleh penggantinya dari pihak asuransi.” Dan hal inilah kemungkinan dasar kebijakan yang mewajibkan semua petugas pajak  tidak perduli termasuk korban bencana atau tidak untuk wajib masuk kantor. 🙁

Memang serempak kita harus akui, disamping hal tersebut di atas, pengumpulan pajak tetap harus dilakukan demi mewujudkan cita-cita bangsa ini dalam pembangunan menuju masyarakat yang aman dan sentosa. Artinya bagi petugas dilapangan tidak perlu ragu dalam melakukan himbauan untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya diwilaya yang menjadi tanggungjawabnya.

Wajib Pajak Korban

Hal yang paling vital untuk meyakini bahwa wajib pajak merupakan bagian dari korban bencana alam (Force Majeure) sehingga layak untuk dipertimbangkan adalah harus mendapatkan rekomendasi (pengesahan) dari aparat yang berwenang setempat misalnya Camat atau Kepolisian setempat. (walaupun semua tahu peristiwa bencana ini namun saya sarankan untuk tetap mengurusnya).

Bermodalkan  rekomendasi (pengesahan) tersebut maka korban yang merupakan wajib pajak dapat mendapatkan insentif/keringanan yang dipertimbangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang diantaranya berupa :

  1. Atas pembelian barang (Bahan baku) yang rusak contohnya akibat banjir terhadap Faktur Pajak Masukannya atau pembebanan pada biaya  tetap dapat dikreditkan/dibebankan.
  2. Dalam hal gagal berproduksi disebabkan oleh bencana alam atau sebab lain di luar kekuasaan Pengusaha Kena Pajak (force majeur), Pengusaha Kena Pajak tidak wajib membayar kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  3. Wajib Pajak yang dapat mengajukan pengangsuran atau penundaan pembayaran, Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah dialihkan ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan untuk pengurangan PBB tidak lagi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetapi di Kantor Dinas Pendapatan Kota/kabupaten setempat.

Disamping beberapa point tersebut di atas, wajib pajak pun apabila mengalami hal-hal atau kondisi tertentu dan  dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan di bidang perpajakan yaitu antara keseimbangan hak negara dan hak warga Negara pembayar pajak, maka Undang-Undang Perpajakan yaitu Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengakomodir mengenai berbagai hak-hak Wajib Pajak diantaranya adalah :

  • Hak untuk mengangsur atau menunda pembayaran, dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.
  • Hak untuk pengurangan PPh Pasal 25, dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
  • Hak untuk pembebasan pajak, dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan.
  • dll

Wajib Pajak Penyumbang

Walaupun konsep sumbangan adalah keikhlasan pemberi  yang ditujukan kepada orang yang sangat membutuhkan, namun Pemerintah sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf I UU No. 36 Tahun 2008, sumbangan bencana dapat diakui sebagai biaya sepanjang bencana tersebut ditetapkan sebagai bencana nasional melalui suatu Peraturan Pemerintah. Tujuannya diperkenankannya pembiayaan sumbangan ini tidak lain dan tidak bukan untuk mendorong masyarakat agar berperan secara langsung serta membantu penanggulangan korban bencana dan peningkatan kualitas hidup dan prestasi bangsa.

Dalam tindakan konstruktif kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia berbeda dengan inisiatif rencana yang dilakukan negara tetangga kita tersebut. Dalam peraturan pemerintah PP-93/2010 tanggal 30 Desember 2010, pengusaha diberi keistimewaan yaitu apabila perusahaan aktif  memberikan sumbangan untuk keperluan sosial (Corporate Social Responsibility), sumbangan perusahaan yang mencapai lima persen dari keuntungan akan dikeluarkan sebagai penghasilan kena pajak. Memang hanya terbatas pada sumbangan yang berhubungan dengan penanggulangan bencana nasional, penelitian dan pengembangan, fasilitas pendidikan, olahraga, serta infrastruktur sosial.

Sebuah Catatan

Sejujurnya dalam praktek dilapangan selama hampir 18 tahun bertugas di institusi ini, belum pernah saya menangani  permohonan wajib pajak untuk dipertimbangkan dalam keringanan pajak akibat bencana alam. Saya tidak tahu apa yang menjadi alasannya, Apakah karena kekurangtahuan wajib pajak atau memang karena jiwa besar wajib pajak, atau karena memang laporan pajak selama ini pun tidak benar, namun yang pasti bencana alam sering terjadi di republik ini.

Bersambung…

(Ditulis sebagai empati terhadap korban banjir, dan sebagai arsip 🙂 ).