Sulit untuk sekedar menjaga semangat hidup saat seseorang terkena kanker sejak remaja. Namun hal itu tidak berlaku bagi Handry Satriago, kanker tak mampu mematahkan semangatnya untuk terus berjuang meraih hal-hal besar dalam hidupnya. Ia berhasil menjadi lulusan universitas dalam negeri pertama yang mengisi posisi Presiden dan CEO General Electric Indonesia sekaligus salah satu pemimpin termuda dalam General Electric Global Growth & Operation.

Handry Satriago dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 13 Juni 1969, ia merupakan putra tunggal dari pasangan Djahar Indra dan Yurnalis. Pada usia 18 tahun, Handry didiagnosis mengidap kanker kelenjar getah bening di tulang belakang. Ia menuturkan bahwa awalnya sakit punggung. Dokter yang memeriksanya hanya mengatakan sakit rematik, namun makin lama Handry makin lemah. Akhirnya melalui berbagai potret, diketahui ada kanker dan kemudian kankernya dibuang. Diangkatnya kanker tersebut ternyata belum mengakhiri cobaan yang dialaminya. Justru dampaknya sungguh memberikan pukulan berat bagi Handry muda, kedua kakinya tak mampu bergerak. Ia mengaku kala itu sangat syok, dunia terasa gelap. Pikirannya kosong, tidak tahu lagi apa yang ingin dilakukan padahal sebelumnya ia bercita-cita kuliah di Stanford University. Saat itu ia merasa marah pada Tuhan karena mimpinya tersebut dipotong di tengah jalan.

Untunglah pemuda yang enerjik ini memiliki keluarga dan teman-teman yang mampu membuatnya ‘berdiri dan berlari’ walau tanpa kaki. Hal pertama yang mengobarkan semangat hidup pasca musibah tersebut ialah dorongan orang tuanya yang mengatakan bahwa masih banyak yang bisa dinikmati meskipun dalam kondisi yang terbatas. Ia melihat orang tuanya tidak menunjukkan kecemasan yang berlebihan. Tak pernah Handry melihat ibunya sampai datang ke sekolah. Alhasil, ia merasa orang tuanya yakin bahwasanya ia bisa terus menjalani kehidupannya.

Hal kedua adalah dorongan teman-temannya, terutama di SMA Labschool Rawamangun. Ia merasa keakraban dengan teman-teman sangat kuat karena mereka memiliki kelas-kelas kecil, yakni hanya 120 murid per angkatan. Ia merasa tidak akan berhasil kembali ke sekolah kalau teman-temannya tidak yakin ia bisa sekolah. Mereka selalu ada untuk membantunya namun memperlakukannya sebagai orang normal. Ia dan teman-teman tak segan-segan untuk saling meledek sehingga ia merasa berada dalam lingkungan normal.

Fase penting yang juga menentukan bagi proses pengembangan kepribadian Handry adalah ketika memasuki IPB. Suasana di kampus sangat berbeda dari lingkungannya selama ini. Banyak mahasiswa asal daerah dan mereka tampak sangat agamis. Handry merasa hal ini sangat kontras dengan dirinya yang lebih suka tampil eksentrik dengan rambut gondrong dan kerap memakai celana jeans sobek. Meskipun demikian, ia mengaku amat senang bergaul. Tak heran temannya banyak dari berbagai golongan, agama, politik dan level ekonomi yang berbeda. Di IPB ia mengaku beruntung menemukan teman-teman baru yang sangat mendukungnya.

Pengalaman yang paling mengesankan setiap kali memasuki laboratorium yang berada di lantai empat, yang untuk naik ke lantai yang lebih tinggi hanya bisa lewat tangga. Ia pun dipapah sampai ke lantai empat tersebut, namun teman-temannya punya keyakinan yang kuat bahwa Handry tetap bisa menjadi insinyur dengan cara seperti itu. Kepercayaan tersebut bukan tak berdasar karena semasa kuliah pun Handry sudah mencapai prestasi yang membanggakan, menjadi mahasiswa berprestasi di tingkat nasional pada tahun 1993. Selain itu ia juga tercatat sebagai pendiri Himpunan Mahasiswa Pecinta Bioteknologi di IPB.

Saat semuanya sudah berjalan seperti normal, di ujung penyelesaian kuliah cobaan baru datang lagi. Kali ini kanker baru tumbuh di pinggangya. Ia sempat mengalami pendarahan ketika sedang mengikuti sidang ujian skripsi. Selepas sidang, setelah pulang ke Jakarta dari Bogor pada malam hari, esok paginya ia masuk rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Semangat hidup dan kegigihannya membuahkan hasil, ia bisa menyelesaikan kuliah S-1 di IPB dengan IPK amat mengesankan meskipun sambil berjuang melawan kanker.

Lulus dari IPB, ia sempat bekerja di perusahaan konstruksi selama 2 tahun. Lalu memutuskan keluar untuk melanjutkan kuliah Magister Manajemen di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI). Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam setahun dengan predikat cum laude. Prestasinya di tengah kendala fisik ini rupanya menarik minat pencari bakat terbaik dari General Electric. Pada 1997, ia pun ditawari GE Indonesia untuk bergabung. Awalnya ia menolak karena sudah memiliki usaha sendiri, namun karena pada saat wawancara ia diberi tahu posisi yang ditawarkan adalah manajer pengembangan bisnis, sebuah posisi yang mampu memberikan tantangan bagi Handry.

Karena prestasinya yang bagus, pada tahun 1998 ia dipindahkan dari mengurusi korporasi ke unit bisnis. Ia pun memilih unit bisnis GE Lighting, pilihan yang tidak populer tapi ia memilhnya karena menyukai tantangan. Saat itu unit bisnis tersebut masih baru dimulai, sedangkan pesaingnya adalah perusahaan yang sudah lama berbisnis di Indonesia. Ia pun mengembangkan tim sendiri yang berisikan orang-orang muda yang sangat kompak dan memiliki visi yang sama. Hasilnya dalam kurun waktu 1998 sampai 2000, ia bersama tim tersebut berhasil mendapatkan pendapatan dari nol menjadi tiga juta dolar per tahun. Pencapaian tim tersebut antara lain proyek tata cahaya di Candi Prambanan. Keberhasilan tersebut tak lepas dari pemikiran segar Handry dan tim, yakni kalau hanya menjual lampu saja itu susah karena barangnya dijual di mana-mana, tapi kalau menjual pencahayaan dari desain, memasang lampu, hingga perawatannya, ceritanya jadi berbeda.

Di tahun 2000 ia pindah ke divisi Power System GE. Saat itu ramai dicanangakan konsep inisiatif kualitas yang dinamakan Six Sigma, yaitu mengurangi kesalahan 3,14 persen dalam 1 juta operasi. Kalau bisa menyelesaikan konsep itu, maka karyawan mendapat jalur cepat peningkatan karier dan Handry masuk menjadi black belt. Itulah gaya Jack Welch (CEO GE ketika itu).

Hal yang juga mengesankan ketika ia dipercaya mengurus penjualan pada 2005. Saat itu penjualan pembangkit listrik (power generator) GE Indonesia masih nol. Tantangan terbesar baginya adalah mengembalikan Indonesia ke peta power generation GE di Indonesia. Dalam kurun waktu lima tahun, Handry dan timnya berhasil menghadirkan lebih dari 700MW pembangkit listrik bagi Indonesia. Ia lebih senang menyebutnya sebagai kesuksesan tim. Dengan prestasi dan cara berpikirnya yang out of the box, tak heran jika ia mampu mencapai posisi Presiden GE Indonesia hanya dalam waktu 13 tahun sejak ia bergabung.

Sumber : https://cda.ipb.ac.id/new/ina/2012/09/handry-satriago-pemimpin-produksi-dalam-negeri-general-electric-global-operation/