Tulisan ini terkait dengan tulisan-tulisan sebelumnya yaitu :1). Mengenal Faktur Pajak (Bagian I) , 2).Mengenal Faktur Pajak (Bagian II), dan 3). Nota Retur Dan Nota Pembatalan. Dalam melakukan penjualan/penyerahan BKP/JKP maka PKP akan membuat Faktur (Pajak Keluaran), secara umum seorang PKP akan menerima jumlah total kedalam rekeningnya misalnya : DPP Rp. 150.000.000,- maka PPN (nilai Faktur) adalah Rp. 15.000.000,- dan masuk kerekening PKP adalah senilai Rp. 165.000.000,-. Jadi definisi Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak. ( Pasal 1 angka 25 UU PPN).

Sementara, Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. (Pasal 1 angka 24 UU PPN).

Apabila sebelumnya telah membaca Terhindar Dari Faktur Pajak Bermasalah, maka langkah berikutnya dalam memahami pengertian atas Faktur Pajak khususnya dalam Faktur Pajak Masukan adalah memahami mekanismenya, karena walau transaksinya beres namun pengadministrasian tidak beres maka akan menjadi masalah juga dikemudian hari. Berikut ini mekanisme pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sampai saat ini dituliskan.

Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran

Prinsip dasar pengkreditan Pajak masukan adalah sebagai berikut:

  1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2 UU PPN).
  2. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. (Pasal 9 ayat 9 UU PPN).
  3. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.  (Pasal 9 ayat 2a UU PPN).
  4. Barang modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan termasuk pengeluaran yang dikapitalisasikan ke barang modal tersebut. (PP 1/2012).
  5. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). (Pasal 9 ayat 2a UU PPN).
  6. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan / atau JKP harus dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Contoh : alamat di FP sama dg alamat di SK pengukuhan. Dalam hal impor BKP, DJP karena jabatan atau berdasarkan permohonan tertulis dari PKP dapat menentukan tempat lain selain tempat dilakukannya impor BKP sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. (PM dikreditkan di tempat PKP dikukuhkan, Dikukuhkan di beberapa tempat maka dapat memilih). (PP 1/2012).
  7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.  Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.  Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Paja. (Pasal 9 ayat 3 UU PPN).
  8. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (Pasal 9 ayat 4 UU PPN).
  9. Atas kelebihan Pajak Masukan tsb dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar). (Pasal 9 ayat 4a UU PPN).

Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sesuai pasal 9 ayat 8 UU PPN adalah atas pengeluaran sebagai berikut :

  1. Perolehan BKP/JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan. Contoh : Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
  2. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha, oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
  3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
  4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha  dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan. Contoh : Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
  5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
  6. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6).
  7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak. Dalam hal tertentu dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
  8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan. Namun apabila pada saat pemeriksaan diketahui adanya perolehan BKP/JKP yang telah dibukukan atau dicatat dalam pembukuan PKP, namun Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima sehingga belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN untuk Masa ybs., maka PM dalam Faktur Pajak tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya Masa Pajak ybs. Contoh : Pemeriksaan SPT Masa Januari 2010 dilakukan tanggal 24 Maret 2010, dan ditemukan FP tanggal 12 Januari 2010 yang baru diterima pada tanggal 22 Maret 2010, dan belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN Januari atau Februari 2010, namun perolehannya sudah dicatat dalam pembukuan, maka Faktur Pajak tertanggal 12 Januari 2010 tersebut tetap dapat dikreditkan dalam Masa PPN Masa Maret atau April 2010.
  9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
  10. Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang tidak terutang PPN atau mendapat fasilitas PPN dibebaskan sebagaimana dimaksud dalam Ps 9 ayat (5) dan Ps 16B ayat (3).  Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B. Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.

Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Pemecahan, Dan Pengambilalihan Usaha

Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisas.

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi PKP Yang Memiliki Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu

Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu. Dan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu (diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan).

PKP yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp1.800.000.000,00 dapat menghitung Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. ( Pasal 9 ayat (7) UU PPN,  PMK-74/PMK.03/2010).

Ketentuan Umum Deemeed Omzet

Syarat PKP :

  1. Omzet dlm 2 thn buku sebelumnya tdk melebihi Rp1.800.000.000,00 untuk setiap 1 thn buku; atau
  2. WP yang baru dikukuhkan sebagai PKP.

Wajib pindah ke PK-PM :  Mulai Masa Pajak berikutnya setelah peredaran usahanya melebihi Rp1.800.000.000,00, dan akan Dikenai sanksi jika tdk pindah ke mekanisme PK-PM,  PM yg dpt dikreditkan adalah PM mulai masa pajak saat digunakannya mekanisme PK-PM. Dan  PKP dapat Kembali menggunakan deemed omzet :  PKP dapat kembali menggunakan deemed omzet apabila peredaran dalam 2 tahun tidak melebihi Rp1.800.000.000,00,- . Apabila PKP  tersebut ingin menggunakan deemed omzet maka PKP Wajib melakukan pemberitahuan tertulis :  Paling lama pd saat penyampaian SPT PPN Masa Pajak pertama tahun buku dimulainya deemed omzet, dan bagi PKP Baru paling lama pd saat penyampaian SPT PPN Masa Pajak saat dikukuhkan sebagai PKP. Dan hal tersebut harus konsisten yaitu  PKP yagn menggunakan deemed omzet harus taat asas dalam 1 thn buku, sepanjang omzet dlm 1 thn buku tdk melebihi Rp1.800.000.000,00,-.

Deemed Omzet : Prosentase PM bagi penyerahan JKP adalah 60% dikalikan PK, dan bagi penyerahan BKP adalah 70% dikalikan PK. Dan penghitungan PK adalah 10% dikalikan DPP/ (Peredaran Usaha). Adapun PPN yang disetor atas penyerahan JKP adalah 4% dikalikan DPP dan 3% dikalikan DPP atas BKP.

Contoh :

Toko Merah, merupakan usaha milik Bapak Postel yang bergerak di bidang perdagangan alat rumah tangga yang sudah dikukuhkan sebagai PKP dan termasuk sebagai PKP tertentu. Dalam bulan Januari 2011, usaha Bapak Postel memiliki omset penjualan sebesar Rp. 100 juta dengan pajak keluaran (PK) sebesar Rp. 10 juta. Sedangkan pajak masukan (PM) yang telah dibayar oleh Bapak Postel adalah sebesar Rp. 8 juta.

Dengan demikian, Toko Merah untuk bulan Januari 2011 harus membayar ke kas negara sebesar Rp. 3 juta rupiah (PK- (30% x PK)) atau (10 juta – (70% x 10 juta)). Dalam hal ini meskipun Bapak Postel memiliki PM sebesar Rp. 8 juta, namun PM yang diakui/yang dapat dikreditkan dengan mekanisme deem PM tersebut adalah hanya sebesar Rp7 juta.

Bersambung…

(Ditulis sebagai arsip penulis, dan informasi bagi yang membutuhkan 🙂 )