Nats : Ibrani 13:15

Terjemahan lain: hendaklah kita bersandar pada Kristus, selalu menaikkan pujian sebagai korban pada Allah, itulah buah yang dihasilkan dari mulut bibir orang yang mengaku Kristus sebagai Tuhannya.

Tiga minggu lalu, kita sudah membahas tentang hak istimewa yang orang Kristen miliki : berbagian di dalam sengsara Ilahi. Apa maksudnya? Tuhan mempercayai kita, memperbolehkan kita berbagian dalam penderitaan, penghinaan yang diterimaNya. Tentu bukan maksud saya mengatakan penderitaan kita bisa menyelamatkan diri sendiri orang lain, tapi the more we suffer because of Jesus Christ, the more we understand the deep love of God.

Di dunia ini, kita tidak mempunyai tempat tinggal yang kekal. Ingat: ketika Abraham dipanggil keluar dari Mesopotamia, umurnya 75 tahun, saat dia dipanggil pulang ke sorga usianya 175 tahun, artinya, dia mentaati panggilan Tuhan, meninggalkan rumahnya yang besar di Ur beserta istrinya—salah seorang wanita tercantik, bukan hanya di zamannya, bahkan di sepanjang sejarah, karena waktu dia sudah berusia 90th. Masih ada raja yang menaksirnya—selama 100 tahun, tidak lagi tinggal dirumahnya. Banyak kali, waktu suami-suami dipanggil menjadi hamba Tuhan, si istri justru menjadi setan; Tuhan menyuruhnya menjalani jalan sorga, setan menyuruhnya menjalani jalan dunia. Namun nyonya Abraham luar biasa, Tuhan memanggil suaminya keluar, diapun ikut, meski sampai mati tidak lagi pernah tinggal di rumah barang satu haripun, melainkan tinggal di tenda. Mengapa mereka tinggal di tenda? Karena mereka tahu, rumah mereka bukan di dunia (ayat 14). Kita perlu selalu mengingat, hidup kita di dunia hanyalah sementara, hanya sebagai tamu, karena dunia bukanlah tempat kita, tempat kita di sorga yang kekal. Sebab itu, jangan menambatkan hati kita di dunia yang fana, karena suatu hari nanti, kita harus melepaskan semua yang ada di dunia.

Ayat 15, hendaklah kita bersandar pada Kristus untuk mempersembahkan korban syukur kepada Allah, artinya, kita yang sudah melibatkan diri dalam penderitaan Kristus, baru bisa mengerti dunia ini sementara adanya. Bagaimanakah kita bisa menang atas kesusahan? Kalau kita tahu apa itu kesusahan, dari mana datangnya kesusahan, apa`tujuannya seorang menderita susah, kesusahan membawa kita kemana? Hanya orang yang mengenali kesusahan berkemungkinan melepaskan diri dari ikatan-ikatan kesusahan, tapi orang yang tidak mengenalinya akan tenggelam dalam kesusahan.

Karenanya ada orang yang menderita sepuluh kali lipat dari kesusahan orang tetap bisa bertahan, sementara yang lain baru mengalami sedikit kesusahan sudah bunuh diri. Saya kira , salah satu agama yang paling banyak membahas kesusahan adalah agama Budha. Agama Budha dimulai dari rasa tercengang, surprise yang dialami oleh Sakyamuni, seorang Putra Mahkota yang masih muda, saat berjalan-jalan di luar istana, dia menemukan ada ibu yang melahirkan anak dalam kesakitan, ada orang tua yang terus menerus mengerang di tempat tidur, ada orang yang menangis karena ditinggal mati oleh salah seorang anggota keluarganya, ada juga orang yang menderita sakit menahun. Baginya , keempat hal itu: lahir, tua, sakit, mati, membuat hidup manusia sengsara, mari kita mencari jalan untuk keluarnya. Mengapa ada penderitaan? Jawaban mereka sangat sempit: penderitaan datang dari keinginan, maka jalan untuk terlepas dari penderitaan hanya satu: meniadakan keinginan, mencapai nirwana (tempat dimana tidak ada keinginan). Masalahnya, kalau manusia tidak mempunyai keinginan, apa bedanya dengan binatang? Bagaimana kekristenan memandang kesulitan? Apakah keinginan merupakan satu-satunya sumber penderitaan? Tidak. Paulus memisahkan antara nafsu jahat, yang harus dipakukan diatas kayu salib dengan keinginan yang baik, seperti menuntut kebajikan, keadilan …..Kitab Suci mengajarkan, penyebab penderitaan bukan hanya keinginan saja, melainkan ada empat:

  1. Bumi yang terkutuk; Setelah Adam berdosa, bumi ini terkutuk, tumbuhlah semak duri, juga menjadi tidak stabil ;harmonis, terjadilah bencana alam yang membuat manusia menderita, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami…
  2. Dosa; Dosa mengundang hukuman, hukuman Allah, hukuman alam, hukuman sosial. Jika kau suka menipu, orang tidak akan perjaya padamu lagi, kalau seluruh masyarakat tidak lagi percaya padamu, mana mungkin kau bisa menjalani hidup dengan baik, kau tentu akan menderita. Selain dosa sendiri, dosa orang lain juga bias mendatangkan penderitaan atas diri kita
  3. Ujian dari Allah yang membuatmu terus menerus bertumbuh. Bagaikan yang dialami oleh Abraham, Ayub….
  4. Setan yang berusaha menghancurkan iman orang Kristen, merusak kehendak Tuhan di dalam diri anak-anakNya.

Lewat Kitab Suci kita melihat dengan jelas, dari mana datangnya penderitaan, penderitaan macam apa yang sedang kita alami. Salah satu penderitaan yang paling berharga adalah memperoleh kepercayaan dari Tuhan untuk berbagian di dalam penderitaan Kristus. Untuk itu, kita perlu belajar menaikkan syukur kepada Tuhan. Mulut kita jahat, sering mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya kita ucapkan, tapi syukurmu pada Tuhan justru sedikit sekali. Apa yang dikatakan ayat ini? Mari kita berinisiatif menaikkan syukur; mengucapkan terima kasih pada Tuhan. Mungkin kau berkata, aku juga pernah berterima kasih pada Tuhan. Kapan? Kalau aku mendapat lotre, hadiah besar. Permisi tanya, waktu kau sakit, adakah kau mengomel? Ya. Waktu kau sehat, adakah kau bersyukur? Tidak bukan?

Jadi waktu sehat tidak memuji Tuhan, tapi waktu sakit kau mengomel padaNya, dan saat kau sembuh, kau tidak menyadari kapan kau sembuh. Mengapa? Karena kita tidak terbiasa memuji Tuhan saat kita lancar, hanya tahu mengomel saat kita tidak lancar—suatu kebiasaan rohani yang jelek sekali. Mari kita bersyukur kepada Tuhan, itulah ajakan, tantangan dan anjuran dari penulis Ibrani. Ayat ini ditulis setelah penulis berbicara tentang menderita bersama Kristus, pertanyaannya: bagaimana bisa bersyukur saat kita menderita?

Sesungguhnya, memuji Tuhan pada saat menderita barulah berarti, barulah menandakan kemahiran hidup kita yang baru. Jika orang hanya bisa memuji Tuhan pada saat dia mendapat lotre, sehat, semuanya indah, itu tandanya kerohaniannya masih dangkal. Ketika saya berbicara sampai di sini, saya ingat kisah yang disampaikan Dr. Andrew Gih; dulu, di Tiongkok ada seorang tua yang selalu berseru “haleluya” saat mendengar khotbah. Majelis memintanya tidak melakukan hal itu, tapi katanya “tidak bisa, waktu hati saya senang, kata haleluya secara otomatis keluar dari mulut saya” majelis menemukan satu akal; kalau bapak bisa mendengar khotbah dengan tenang, waktu Natal nanti, kami akan menghadiahkan sebuah selimut berwarna merah untukmu, “OK”, maka setiap kali dia ingin berseru haleluya, dia tahan. Sampai suatu hari, dia mendengar sebuah khotbah yang penting, dengan spontan dia berseru haleluya, seorang majelis memandang dia dengan mata melotot. Lalu kata orang itu sambil menoleh ke majelis gereja: “saya tidak mau selimut, saya mau memuji Tuhan”.

Saya juga ingat akan dua orang, yang seorang di Bali, waktu dia mendengar kalimat-kalimat penting dalam khotbah saya, dia berseru: “ya”, orang yang duduk di sebelahnya sering dibuatnya terkejut. Yang seorang lagi di Surabaya, setiap kali dia mendengar kalimat yang penting, dia berseru :Haleluya! Mengejutkan banyak orang. Waktu mereka masih hidup, saya rasa sedikit terlalu ribut, tapi sejujurnya, setelah mereka meninggal, saya merasa sepi. Tentu bukan maksud saya menyuruh anda ikut-ikutan berseru haleluya saat mendengar khotbah.

Selalu bersyukur pada Tuhan itu mudah atau tidak? Tidak mudah. Di atas sebuah bukit di Inggeris terdapat sebuah gereja kecil, pendetanya selalu menaikkan doa syukur di dalam kebaktian. Suatu kali, turun salju yang lebat, tak ada orang yang bisa ke gereja, seorang pemuda ingin sekali menyaksikan apakah pendetanya masih bisa bersyukur, maka meski harus berjalan dengan sulit, dia tetap pergi ke gereja. Kebaktian dimulai, hari itu yang datang berbakti hanya dia seorang. Saat bersyukur, dia memasang telinga. Dan tahukah anda, bagaimana pendeta itu bersyukur? “Tuhan, kami bersyukur, kepadaMu, karena biasanya bukan seperti ini, amin.” Pemuda itu salut, karena di waktu susah, pendeta itu sanggup memikirkan hari-hari yang sudah lewat dan tetap bersyukur kepada Tuhan. Mengapa kita membiarkan kesulitan yang sehari menghanyutkan kita melupakan anugerah yang pernah Tuhan curahkan selama puluhan tahun? Kalau hari ini, orang yang paling kita kasihi mati, kita harus menjadi janda atau duda, kita tetap bisa bersyukur, karena hari-hari yang lampau bukan seperti ini. Dia pernah memberi kita pasangan hidup yang baik. Inilah caranya bersyukur:berterima kasih untuk anugerah yang Tuhan sudah beri. Dengan cara seperti ini, kita mampu melihat, walau hari-hari susah dalam hidup kita banyak, tapi hari yang penuh dengan anugerah juga tidak kalah banyaknya.

Di Surabaya, ada sepasang suami isteri, selama empat puluh lima tahun, tak pernah berpisah barang satu haripun. Tapi setelah si suaminya mati, si isteri bagaikan tak bisa hidup lagi, dia susah setengah mati. Saya membesuk dia, dia tak henti-hentinya mengomel, saya bertanya “apakah kau mengharapkan hidup bersama dan mati bersama suamimu” “ya, saya tidak mau ditinggal seorang diri” saya menghibur dia, tapi tak berhasil. Katanya, pak Tong, saya tahu semua yang anda katakan, tapi saya tetap tidak bisa menerima, mengapa Tuhan memanggilnya. Saya mendoakan dia dan pulang. Di perjalanan pulang, saya memikirkan satu perkara, jadi Tuhan itu susah. Dia memberi mereka hidup begitu rukun, salah juga.

Konon, Lord Rally, di Inggris, sering bertengkar dengan istrinya, setelah istrinya mati, di batu nisan istrinya dia menuliskan, here rest my beloved wife, she is now at peace, kemudian ditambah sebuah kalimat and so am I. Kau tak mau bersyukur pada Tuhan, apakah kau juga ingin Tuhan membiarkanmu setiap hari bertengkar dengan pasangan hidupmu, sampai salah satu dari kalian dipanggil pulang Tuhan baru bersyukur kepadanya?

Sejak usia dua puluh tahun saya sudah berpikir; kalau dokter memvonis saya, usiamu sisa dua bulan lagi, apa yang akan saya lakukan? Tenang dan bersyukur pada Tuhan, karena dulu saya tidak sakit, baru sekarang menderita sakit dan masih diberi waktu dua bulan, saya akan membeli sebanyak mungkin traktat, setiap hari membagi-bagikannya pada orang, menginjili orang dan mengajak orang menerima Yesus. Meski akhirnya harus mati, tapi sebelum mati, saya mau cepat-cepat mengerjakan apa yang tak bisa saya kerjakan setelah saya mati. Karena kesempatan-kesempatan yang ada di dalam kurun waktu ini begitu berharga. What can I do, Lord, teach me to do it, strengthen me to do it, give me power to do it, give me wisdom to do it .

Bersyukur, selalu bersyukur dan bersyukur…inilah buah dari mulut bibir orang yang menyebut diri anak Tuhan. Pada saat itu, orang yang berani menyebut Allah sebagai Tuhannya adalah orang yang siap untuk mati. Karena kerajaan Romawi sudah menetapkan: tak seorangpun boleh menyebut siapapun di luar Kaisar sebagai Tuhan. Namun setelah Yesus bangkit dari kematian, orang Kriten menyebut Yesus sebagai Tuhan, bahkan menyebut Sunday is a day of the Lord, Jesus is our Lord, our Savior. Saat orang Romawi menemukan, ada sekelompok orang yang berani menyebut hari Minggu sebagai hari Tuhan, menyebut Yesus sebagai Tuhan, mereka memutuskan, orang-orang itu harus dipenggal kepala. Maka ayat ini menjadi penting sekali: mari kita bersyukur kepada Tuhan, sebagai buah dari mulut bibir setiap orang yang menyebut Yesus sebagai Tuhannya. Orang yang menyebut Yesus sebagai Tuhan adalah orang yang bersedia dibunuh; mati syahid, juga orang yang memakai mulut bibirnya untuk memuji Tuhan. Kalau kita memakai mulut bibir kita menyebut Yesus sebagai Tuhan, sementara kita juga terus menerus mengomel, mana mungkin kita mencerminkan hidup yang serasi, saksi Kristus yang konsisten?

If you truly call Jesus Lord, let your lip give offering of praise to Him. Meski menderita, bairlah kita tetap stabil, meski harus menerima sengsara karena Kristus biarlah kita menjalaninya dengan rela, sebab kita tahu, dunia ini sementara, kita sedang mengharapkan kota yang kekal di sorga. Perhatikan: orang yang selalu bersyukur, selalu optimis, selalu lebih berpikir positif, selalu berterima kasih kepada Tuhan, hidupnya lebih kuat. Tapi orang yang selalu mengomel, hidupnya justru semakin suram. Marilah kita belajar menjadi orang yang berkata, Tuhan, aku bersyukur, bersyukur dan bersyukur.

Selama tiga belas bulan terakhir ini, saya terus menerus batuk, tapi tak satu kalimat omelan yang saya lontarkan kepada Tuhan, karena toh saya masih bisa berkhotbah, puji Tuhan. Meski begitu sulit, saya masih tetap bisa berkhotbah, setiap minggu masih bisa menghampiri ribuan orang, puji Tuhan. Karena bersyukur, bersyukur, berterima kasih, berterima kasih….setan tidak punya kemungkinan mengganggu kita, membuat lemah rohani kita, membuat kita marah pada Tuhan atau mengomel pada orang lain. Karena selalu bersyukur, lembah bayang-bayang maut, kesusahan akan berlalu, suatu hari nanti kita akan beroleh kemenangan, terbukti bahwa diri kita tahan uji. Terakhir: di tengah penderitaan, setan menunggu kau memaki Tuhan dan dia merasa senang, tapi Tuhan menunggu kau memuji Dia, agar namaNya dipermuliakan. Kau mau dipakai oleh tangan yang mana: dipakai oleh Tuhan untuk mempermalukan setan atau kau dipakai oleh setan untuk mempermalukan Tuhan, kau mau bersyukur untuk memuliakan Tuhan atau bersungut-sungut untuk mempermalukan Tuhan? Hari ini, mari kita belajar menjadi orang yang bersyukur kepada Tuhan, maukah saudara?

(ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah–EL)

Ringkasan khotbah : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : https://foodforsouls.blogspot.com/2003_10_05_archive.html