Jika kita mengoogling di internet tentang faktur pajak fiktif akan ditampilkan begitu banyak kasus tersebut terjadi dan diungkapkan, namun tetap tidak membuat jera baik pengusaha atau pun oknum pajak yang terlibat baik sebagai pengguna maupun sebagai penerbit. Pertanyaannya adalah kenapa hal ini masih terus diminati dan terjadi? Apakah demikian mudahnya sistem yang ada sehingga dapat dilakukan secara berjamaah? untuk itu coba saya uraikan sedikit tentang hal ini dengan harapan para wajib pajak dan pelaku yang berniat menggunakan atau menerbitkan faktur pajak fiktif melakukannya untuk segera mengurungkan niat tersebut.
AWAL PENYIMPANGAN
Jika kita memperhatikan bagaimana proses penjualan terjadi adalah adanya penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) contoh perhitungan pengenaan pajak sebagai berikut :
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Rp. 10.000,-
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp. 1.000,-
Uang Yang Diterima Rp. 11.000,-
Hal tersebut di atas pada umumnya akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut :
- Wajib Pajak pada umumnya tidak memisahkan rekening koran penampung PPN dan pelunasan harga jual sehingga uang PPN Sering terpakai.
- Pelunasan harga jual dan PPN sering terlambat dibayarkan oleh pembeli sementara penjual harus segera melaporkan penjualannya pada bulan berikutnya di SPT Masa PPNnya.
- Ada pembeli yang tidak bersedia membeli dengan PPN dan penjual berani melakukannya demi alasan survival perusahaan.
- Karena jumlah PPN yang sudah dipungut demikian banyaknya hingga muncul niatan buruk dan tidak rela menyetor PPN yang dipungut,
Akibat beberapa poin tersebut diatas maka wajib pajak diberikan pilihan dalam menyampaikan/melaporkan kewajiban perpajakan yaitu :
- Melaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya baik itu menjadi kurang bayar atau lebih bayar
- Melaporkan dengan tidak benar
- Tidak melapor sama sekali
Jelaslah tujuan wajib pajak jika memilih opsi kedua dan ketiga tersebut di atas adalah :
- Wajib pajak berusaha untuk membayar dengan jumlah kecil
- Wajib Pajak berusaha untuk menghindar membayar PPN yang dipungut
- Wajib Pajak berniat untuk mecuri lebih banyak uang negara dengan menciptakan dengan memperbesar pembelian (PM) dan memperkecil penjualan (PK) (PK < PM)
Hal yang paling mudah dalam melakukan niatan tidak menyetor PPN atau menyetor namun sangat kecil adalah biasanya dengan melakukan 3(tiga) hal yaitu 1). Bagaimana supaya penjualan kecil dengan menurunkan PK, 2). Bagaimana supaya pembelian terlihat besar dengan menaikan PM dan 3). Menggunakan faktur pajak fiktif.
Pajak Keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM)
Pajak Keluaran (PK) atau Penjualan
Menciptakan agar Pajak Keluaran (PK) menjadi kecil dimana akan terlihat bahwa Harga penjualan suatu barang lebih murah dari pada pembelian (PK<PM), hal ini adalah sangat kecil terjadi dimana seorang pengusaha menjual rugi. Memang sangatlah memungkinkan jika tidak ada pembayaran (nihil) atau bahkan lebih bayar (LB) dan jenis ini sangat kasuistik yaitu terjadi jika penjualan dilakukan Ekspor, Transaksi dengan Kawasan Berikat, dan atau penyerahan atas barang yang Ditanggung Pemerintah (DTP)/dibebaskan serta untuk PPN yang dipungut pihak lain.
Pajak Masukan (PM) atau Pembelian
Menciptakan agar Pajak Masukan (PM) menjadi besar, hal ini sering dilakukan dengan beberapa modus diantaranya dengan mengkreditkan Pajak Masukan (PM) yang tidak berhubungan dengan usaha dan atau Pajak Masukan (PM) tertanam di dalam stok persediaan yang tak berujung dan yang paling mengerikan adalah menggunakan Faktur Pajak Masukan Fiktif.
JENIS-JENIS FAKTUR BERMASALAH (FIKTIF).
1. Faktur Pajak Bodong
Dikatakan bodong karena faktur pajak jenis ini dikeluarkan oleh perusahaan yang fiktif artinya perusahaan didirikan baik identitas pengurus dan domisili yang fiktif. Jenis perusahaan seperti ini tetap dibutuhkan untuk menampung hal-hal sebagai berikut :
- Adanya wajib pajak yang mendapatkan Barang Kena Pajak (BKP) tanpa dipungut PPN dimana Harga barang murah, maraknya barang selundupan (Black Market), barang diperoleh dari wajib pajak non Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dan atas hal ini Pengusaha membutuhkan faktur agar transaksi terlihat sah.
- Adanya wajib pajak yang memperoleh BKP tanpa dipungut PPN yang bisa bersumber semisal dari Glodok Store (garansi toko – Non PPN).
- Wajib pajak tidak melakukan transaksi BKP/JKP namun melakukan pembelian faktur.
- Terjadinya transaksi BKP/JKP namun tidak ada faktur pajak dan tidak ada transaksi BKP/JKP namun ada faktur pajak.
Pemilik perusahaan jenis ini sangat rapi dalam melakukan kerjanya dimana mereka membuka jaringan yang luas dan melibatkan banyak orang (Kaki Tangan). Dalam menerima order mereka mencari tahu / menyesuaikan jenis usaha pengguna Faktur Pajak (FP), Usaha produksi roti pasti tidak menggunakan bahan baku usaha produksi besi, adanya hubungan komunikasi antara pengguna dan Perusahaan fiktif ini untuk kebutuhan FP dengan perincian : Jenis barang kena pajak; Jumlah unit barang kena pajak; harga transaksi barang yang diinginkan pada FP.
Semoga dengan keluarnya kebijakan tentang Registrasi ulang PKP, jenis perusahaan seperti ini dapat berkurang atau hilang sama sekali.
2. Faktur Pajak Ganda
Hal ini dimungkinkan terjadi dengan memanfaatkan celah sistem dan pengawasan yang lemah dari aparatur Direktorat Jenderal Pajak. Dimana hal ini berawal sejak tahun 2007 dalam rangka memberikan pelayanan prima kepada wajib pajak maka dilakukan perubahan nomor seri faktur pajak dari sebelumnya ABCDE-XXX-0000000 (ABCDE adalah kode acak yang diberikan DJP, XXX adalah kode KPP dan 7 digit berikut adalah nomor urut) menjadi 0 0 0. 0 0 0 – 0 0 .0 0 0 0 0 0 0 0 (dua digit pertama adalah kode transaksi, 1 digit berikutnya adalah kode status, 3 digit berikutnya adalah kode cabang perusahaan, 2 digit berikutnya adalah tahun transaksi, serta 8 digit terakhir adalah nomor urut).
Maraknya wajib pajak menggunakan faktur pajak ini dimungkinkan dari ketidak sengajaan dan terlihat aman dan seterusnya keasikan seperti contoh sebagai berikut :
PT. JONGARA sebagai penerbit faktur mengeluarkan faktur dengan nomor 010.000.-09.00000345 kepada masing-masing PT. AI SO ISE dengan nilai Rp. 467 juta dan PT. SIBANGUR TANO Rp. 435 ribu dan dalam hal ini PT. JONGARA melaporkan dalam SPT Masanya PK hanya kepada PT. SIBANGUR TANO yaitu senilai DPP Rp. 435 ribu. Atas modus jenis transaksi jenis ini sangat banyak variasinya.
Tidak perlu saya uraikan kembali berapa kerugian negara dari sudut PPN dan PPhnya karena jelas hal ini bukanlah unsur ketidak sengajaan atau kesalahan administrasi belaka jika jumlahnya lebih dari pada satu setiap tahunnya. Dan untuk melihat unsur keadilannya maka tidak ada yang menjadi korban dari segi pembelinya.
3. Penyalahgunaan Faktur Pajak Sederhana
Untuk jenis faktur pajak ini terjadi akibat adanya transaksi kepada orang pribadi yang penjualannya tanpa PPN atau bukti penjualan hanya kwitansi (faktur sederhana) dimana didalamnya termasuk PPN. Hal ini berpotensi untuk tidak dilaporkan di dalam SPT Masa PPN atau dilaporkan sebagai penjualan dengan faktur pajak sederhana dengan nilai yang tidak sebenarnya.
Terhadap yang melaporkan dalam SPT PPN dengan Faktur Pajak Sederhana ini mengundang pihak lain maupun Wajib Pajak sendiri MENGGANTI Faktur Pajak Sederhana menjadi Faktur Pajak (Standard) sehingga atas perubahan tersebut menjadi sah penyerahannya. Wajib Pajak tersebut mendapatkan penghasilan dari penjualan Faktur Pajak (hanya menjual Faktur Pajak).
Contoh :
Harga Barang termasuk PPN = Rp 110,- DPP = 100/110 * 110 = Rp 100,- Atas penjualan ini tidak dilaporkan Keuntungan Wajib Pajak :
PPN Rp 10,-
PPh Rp 30,-
Namun hal ini berbahaya karena tidak melaporkan omzet dan DPP. Hal tersebut dibuat dengan Faktur Pajak dan dijual: Hasil Penjualan Faktur : 2% * Rp 100,- = Rp 2,-
PK = Rp 10,-
PM = Rp 9,-
KB = Rp 1,-
Keuntungan Wajib Pajak Penerbit Hasil penjualan Faktur = Rp 2,- dikurangi KB = Rp 1,- = Rp 1,-
Keuntungan Wajib Pajak Pengguna : PM = Rp 10,- —————– Restitusi = Rp 10,- dikurangi Biaya Rp 2,- = Rp 8,- dan PPh Badan = 30% * Rp 100,- = Rp 30,-
4. Faktur Pajak Dari Importir Non Indentor
Seperti yang umum diketahui importir adalah perusahaan yang mengimpor BKP, atau PPJK (Perusahaan Pengurus Jasa Kepabeanan) yang mendapat fee atas jasa impor yang dilakukan. Sementara indentor adalah pemilik Barang Kena Pajak (BKP) sementara indentor yang memiliki Angka Pengenal Impor (API) juga adalah importir, dan apabila tidak memiliki API maka bukan importir.
Dalam permasalahan Faktur Pajak dari Importir Non Indentor (Importir bukan pemilik barang) ini dilakukan dengan terstruktur dan sistematis. (Hari sudah larut nanti saya lanjutkan).
HIMBAUAN
Sebagai seorang Account Representative (AR) saya dan mungkin teman-teman yang lain menghimbau kepada para wajib pajak baik Pemilik Perusahaan, direktur maupun komisaris secara khusus divisi akuntansi dan perpajakan di perusahaan untuk segera melakukan perbaikan atau pengecekan kembali atas SPT yang sudah saudara laporkan. Dan bagi penerbit yang sengaja menjual faktur/menggunakan faktur pajak dengan tidak sebagaimana mestinya untuk segera menyadari bahwa hal tersebut adalah salah. Dalam blog ini banyak kisah nyata yang inspiratif dimana membuktikan bahwa pencipta memiliki maksud mulia kita diciptakan di dunia ini. Jika para wajib pajak mempertanyakan kemana uang pajak yang dikumpulkan jangan tanya pada kami, jika marak dipublikasikan bahwa kami seakan-akan seluruhnya telah rusak secara moral tentu menyakitkan buat kami karena sejujurnya kami bekerja untuk negara tercinta ini.
(Bahan tersebut di atas disajikan oleh Tim Merah Putih, Garuda Di dadaku 🙂 )