“Ketika aku masih muda, bebas, dan imajinasiku tanpa batas, aku bermimpi untuk mengubah dunia. Saat aku tumbuh dewasa dan semakin bijak, aku sadari betapa sulit untuk mengubah dunia ini, lalu aku putuskan untuk mengubah negaraku. Tapi sama saja, aku juga tak dapat mengubahnya. Ketika usiaku semakin senja, dalam satu upaya terakhirku, aku berusaha untuk mengubah keluargaku, orang-orang terdekatku, tapi akupun tak dapat mengubahnya. Dan sekarang saat aku terbaring diranjang dan menyadari mungkin untuk pertama kalinya, bahwa kalau aku dapat mengubah diriku sendiri, kemudian dengan contoh perubahan dari diriku dapat mempengaruhi perubahan dikeluargaku, dan dengan dorongan dan dukungan mereka mungkin dapat membuat negaraku lebih baik, dan siapa tahu, aku juga dapat mengubah dunia ini.”
— Tertulis di batu nisan seorang Uskup Anglikan dalam ruang bawah tanah di Westminster Abbey, London

KEMAJUAN teknologi tak menjamin kejadian buruk bakal tidak terulang kembali. Bila manusia menjadi faktor penentu paling akhir dalam segala hal, maka sebaik dan secanggih apapun teknologi menjadi tak ada artinya.

Kapal pesiar Costa Concordia pada hari Jumat (13/1) lalu, menabrak karang di dekat Pulau Isola del Giglio, sekitar 140 kilometer sebelah barat laut Roma, Italia. Musibah ini menyebabkan sedikitnya enam orang tewas dan lebih dari selusin dinyatakan hilang. Dalam penyelidikan sementara, pihak berwenang Italia menyatakan kapal berlayar terlalu dekat dengan daratan dan melenceng dari jalurnya karena sang kapten ingin menyapa seorang temannya di pinggir pantai.

Costa Concordia dinegaranya dijuluki sebagai ‘Titanic versi Italia’. Kejadian ini kembali mengingatkan musibah yang terjadi atas tenggelamnya kapal mewah terbesar Titanic pada 1912. Bencana tenggelamnya Titanic mengakibatkan kematian lebih dari 1.500 jiwa. Dalam pelayarannya dari Southampton, Inggris menuju New York, Amerika Serikat, saat berada di Newfoundland, Titanic menabrak gunung es. Musibah ini dikenal sebagai bencana laut terburuk dalam sejarah yang pernah ada. Padahal saat itu Titanic dilengkapi dengan teknologi paling maju pada zamannya dan sebagian orang percaya bahwa Titanic `tidak mungkin tenggelam’. Toh, Titanic karam pula akhirnya. Jumlah kematian yang cukup besar saat itu mengagetkan banyak pihak, mengingat selain dilengkapi teknologi yang maju, Titanic diawaki pula petugas berpengalaman.

Kini, satu abad setelah Titanic tenggelam, kejadian yang hampir sama terulang kembali. Titanic dan Costa Concordia sama-sama menabrak benda mati dalam pelayarannya. Bila Titanic menabrak gunung es, Costa Concordia menabrak batu karang. Saat kapal pesiar Costa Concordia menabrak karang dan terguling di lepas pantai Italia, sekitar 4.000 penumpang kapal mewah itu sedang bersiap untuk santap malam pada Jumat waktu setempat. Sedangkan Titanic menabrak gunung es pada Minggu tengah malam. Dua jam setelah menabrak gunung es, Titanic tenggelam ke dasar lautan. Karena Costa Concordia berada dekat dengan daratan, maka proses evakuasi para penumpang dapat dilakukan dengan segera sehingga meminimalkan jatuhnya korban jiwa. Bandingkan dengan Titanic saat musibah terjadi berada di laut lepas pada tengah malam menjelang pagi. Dari sekitar 2.200 lebih penumpang yang terdaftar, hanya sekitar 700 orang yang dapat diselamatkan, sisanya lebih dari 1.500 penumpang dinyatakan tewas.

Ukuran kedua kapal pesiar tersebut dapat dikatakan hampir sama. Bila panjang Titanic mencapai 269 meter dan lebar 28 meter, dengan berat mati 46 ribu ton, maka ukuran Costa Concordia hanya berselisih sedikit. Costa Concordia memiliki panjang 290 meter dan lebar 35 meter, dengan berat mati 51 ribu ton.

Tapi ada perbedaan mendasar mengenai bagaimana sang kapten menangani musibah ini. Costa Concordia dikendalikan oleh Kapten Francesco Schettino. Berusia 52 tahun. Ia berkebangsaan Italia. Schettino ditahan oleh pihak berwajib setelah musibah terjadi. Sang kapten yang telah bekerja selama 11 tahun itu dituduh meninggalkan kapalnya sebelum seluruh penumpangnya dievakuasi. Seharusnya, ialah orang yang paling akhir menyelamatkan diri setelah semua penumpang dievakuasi. Beberapa penumpang yang selamat menumpahkan kemarahannya dengan menjuluki Schettino sebagai `Kapten Pecundang’.

Sedangkan Titanic dikendalikan oleh Kapten Edward John Smith. Ia berkebangsaan Inggris dan telah menjadi kapten selama 9 tahun. Smith berusia 62 tahun saat tewas dalam musibah ini. Tak ada yang tahu pasti bagaimana Smith meninggal. Ada banyak versi. Beberapa sumber mengatakan Smith berjalan menuju kemudi kapal sebelum tewas. Sementara yang lain mengatakan ia aktif di ruang radio memberitakan tenggelamnya Titanic ke dunia luar. Kisah lain menuturkan, saat-saat terakhir Smith masih sempat menggendong seorang anak kecil untuk diselamatkan.

Untuk mengenang kematian Kapten Smith, di bawah patung memorial di Lichfield, Inggris terpahat tulisan: “Commander Edward John Smith, RD, RNR. Born January 27 1850, Died April 15 1912, Bequeathing to his countrymen the memory and example of a great heart, a brave life and a heroic death. Be British.” Atau terjemahannya: “Komandan Edward John Smith, RD, RNR. Lahir 27 Januari 1850, wafat 15 April 1912, mewariskan pada rakyat di negerinya, suatu kenangan dan contoh akan keteguhan hati, suatu keberanian hidup, dan kisah kematian yang heroik. Jadilah Inggris.”

Schettino dan Smith, sama-sama menyandang kapten di kapal pesiar mewah. Tapi rupanya Schettino tak mempunyai sikap kepahlawanan seperti Smith. Entah apa yang ditulis nantinya di makam Schettino bila ia telah tiada. Bagaimana dengan Kita. Apa yang Kita ingin orang lain tulis di batu nisan Kita?

Sumber : https://pentas-kesaksian.blogspot.com/2012/03/pahlawan-atau-pengecut-hero-or-coward.html