terkutuklah buat ketidakadilan, terkutuklah buat ketidakpedulian, terkutuklah buat kemiskinan, terkutuklah buat rasa sakit dan sedih, terkutuklah buat para penguasa jahat, terkutuklah buat para penjahat, setelah aku tidak punya rasa lagi.

Kutipan tersebut adalah tulisan Sondang Hutagalung (22th) sebelum dia melakukan aksi protes dan membakar diri di depan Istana Merdeka.

Jika sebelumnya saya dikejutkan dengan aksi nekat Arifin Wardiyanto dengan menyayat dahinya sebagai aksi protes di depan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) 15 September 2011 yang lalu  dan pada tanggal 07 Desember 2011 aksi luar biasa juga dilakukan oleh seorang Mahasiswa yang juga Ketua Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenisme untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi)  bernama Sondang Hutagalung, dia tidak hanya menyayat diri tetapi membakar diri dan mati.

Saya tidak mau berbicara tentang politik, atau tentang para elite politik yang menghisap darah rakyat secara terhormat, namun saya mencoba memahami kenapa representasi kedua anak manusia ini dapat melakukan tindakan yang menyakiti diri jauh dari tindakan teror yang menyakiti orang lain.

Tanggapan Atas Suatu Peristiwa

Setelah saya mencoba membaca dan mendengar beberapa komentar atas tindakan Adik Sondang jelas lah sudah representasi kita manusia kini, hampir semua berpendapat sinisme diantaranya  bodoh, nggak pake otak, menyesalkan, dan  seharusnya atau lebih baik dll. Tentu dalam memberikan komentar mereka sudah memikirkannya terlebih dahulu, dan itu sah-sah saja, karena kita adalah Insan yang created, limited, dan polluted.

Rene Descartes (orang Prancis) mengatakan: mengapa setelah kau memasukkan sebatang lidi yang lurus ke dalam air dia berubah menjadi bengkok? Karena idea de clara. Manusia tak bisa mengandalkan inderanya, karena inderanya bisa ditipu oleh iblis. Itu sebabnya, jangan biarkan idea de clara; pikiran yang jernih dinodai oleh apa yang kita lihat dan kita dengar.

Seandainya kita, yang ditinggalkan dapat menjadikan momentum tersebut untuk mengingatkan terus para elit politik di republik ini dibanding menanggapi dengan sinisme  sikap dari tindakannya. Saya teringat bagaimana kegagalan masyarakat dalam mensupport dan mengawal  bapak Susno Duadji  dalam melakukan reform di institusinya.

Suatu Kekhawatiran

Sudah sangat banyak contoh pemimpin yang tidak sensitif terhadap rakyatnya sehingga dijatuhkan  dan diempatkan ditempat yang sangat hina oleh rakyatnya, seperti kisah tentang Ratu di Perancis saat terjadinya suatu revolusi.

Marie Antoinette menikah dengan Louis XVI dan menjadi ratu di Perancis. Meski sudah kaya raya dan melalui hidup yang nyaman, masih saja terus menaikkan pajak, mengharapkan hidup yang lebih dan lebih mewah. Suatu kali, saat dia berencana menaikkan pajak lagi, seorang pejabat (wail rakyat) mengingatkan: “Ratu, tolong jangan naikkan pajak lagi, karena hidup rakyat sudah terlalu susah” “sesusah apa?” “mereka tak punya uang membeli roti” “mengapa soal tak mau makan roti kau laporkan padaku? Kalau mereka tak mau makan roti ya makan saja kue taart”. Mengapa dia berkata seperti itu? Karena di meja makan istana tersaji pelbagai hidangan: kue taart, roti dan sangkanya, rakyatnya juga melalui hidup yang sama dengannya: kalau tak suka roti, bisa memilih makanan lain. Dan puncak kejengkelan mereka dicetuskan dalam Revolusi Perancis, menangkap dan memenjarakan raja dan ratu sekian tahun, selama rakyat belum menetapkan, hukuman apa yang akan dijatuhkan pada mereka. Baru kemudian rakyat memutuskan untuk memenggal kepala mereka. Maka Louis XVI adalah satu satunya Raja Perancis yang dipenggal kepala.

Maka belajar lah kita dari fakta-fakta sejarah yang pernah terjadi, karena Sondang Hutagalung telah melakukan suatu peringatan, seperti kutipan diawal tulisan…

terkutuklah buat ketidakadilan, terkutuklah buat ketidakpedulian, terkutuklah buat kemiskinan, terkutuklah buat rasa sakit dan sedih, terkutuklah buat para penguasa jahat, terkutuklah buat para penjahat, setelah aku tidak punya rasa lagi.