Nats : Yoh. 7 : 47 – 8: 11

Setiap pasal di injil Yohanes punya berita inti yang unik. Pasal 7 mengungkap niat orang Parisi membunuh Yesus sudah bulat, sampai-sampai mengupah orang untuk menangkapNya. Ironisnya, setelah orang-orang itu mendengar khotbah Yesus, tak seorangpun yang menyentuh Dia. Dan waktu ditegur oleh orang Parisi: “mengapa kalian tak menangkap Dia?”, jawaban mereka sangat mengejutkan: “karena belum pernah ada orang yang berkata-kata seperti Dia” mengindikasikan mereka punya pendirian, punya pengamatan yang tajam dan dapat mengambil keputusan yang bijak. Saat orang-orang yang berkedudukan tinggi atau yang berduit beranggapan, asal punya uang, semuanya dapat diatur. Alkitab justru memperlihatkan ada orang-orang yang bekerja keras untuk membiayai hidup dirinya dan keluarganya berani tak menjalankan tugas yang bertentangan dengan hati nurani mereka.

“Karena belum pernah ada orang yang berkata-kata seperti Dia”, kalimat ini jarang kita temui di sejarah. Karena memang tak banyak orang yang punya kejelian dan kepekaan, menyadari perkataan si anu mengawali satu periode baru di sejarah. Demikian juga jarang ada orang yang saat membaca buku menemukan, kalimat ini pernah diucapkan oleh si anu. Kecuali para peneliti dan pengamat sejarah. Maka seribu delapan ratus tahun setelah para pesuruh orang Parisi melontarkan statemen itu, baru ada seorang yang mengucapkan statemen yang senada. Siapakah dia? Thomas Carlyle, ahli sejarah Skotlandia, penulis ulung yang menganut paham Reformed, yang mengamati situasi di zamannya: dunia sudah memasuki new trend of human right revolution and liberty, menggoyah system kerajaan.

Salah satunya adalah Revolusi Perancis (th. 1789 – 1793). Dimana Raja Louis XVI diseret keluar dari Bastille, diarak ke Place de la Concorde, alun-alun terpenting di kota Paris. Dimana terdapat dua bangunan penting: French Naval Ministry dan satu bangunan lain yang sekarang ini sudah dijadikan Hotel de Crillon. Yang dipisahkan oleh satu jalan besar yang mengarah ke gereja Madeleine. Yang mempunyai enam puluh empat buah tiang bergaya Gerika yang amat tinggi. Di tengah-tengah lapangan besar itu terdapat Obelisk: tugu persegi yang menjulang tinggi, ujung runcing, mengarah ke matahari. Yang diangkut dari Mesir, negara yang memproduksi seribu sekian buah Obelisk, tapi sekarang, hanya sisa tiga ratus enam puluh sekian buah. Yang terbesar, seberat ratusan ton telah diangkut ke Roma, diletakkan di Vatikan. Obelisk lain, yang tak terlalu besar, tapi juga tak kalah penting diletakkan di Place de la Concorde, di Paris. Tempat mantan orang terpenting Perancis: Louis XVI dan isterinya, Ratu Marie Antoinette dipenggal kepala.

Sebenarnya, Marie Antoinette adalah puteri raja di Vienna. Waktu Mozart berumur 7 tahun, dia pernah main piano di Istana Schonburn. Selesai main piano, Ratu Theresa memangkunya sambil bertanya: “setelah kau besar nanti, kau ingin jadi apa?” “aku ingin menikah dengan perempuan itu” yang dia tunjuk adalah Marie Antoinette yang sangat cantik, tapi usianya jauh lebih tua darinya, dan tentu tak mungkin menikah dengan pemusik dari Salzburg yang bukan bangsawan. Dia menikah dengan Louis XVI dan menjadi ratu di Perancis. Tapi sayang, hidupnya harus berakhir dengan dipenggal kepala. Mengindikasikan jalan hidup orang memang berbeda-beda, ada yang lahir di kampung tapi saat mati, posisinya adalah Presiden. Ada yang lahir di istana, tapi mati di penjara. Begitu juga Marie Antoinette, saat dia berusia lima puluh sekian tahun, orang Prancis mengeksekusi mati dia. Karena di mata orang Perancis, dia adalah seorang ratu tamak dan kejam. Meski sudah kaya raya dan melalui hidup yang nyaman, masih saja terus menaikkan pajak, mengharapkan hidup yang lebih dan lebih mewah. Suatu kali, saat dia berencana menaikkan pajak lagi, seorang pejabat mengingatkan: “Ratu, tolong jangan naikkan pajak lagi, karena hidup rakyat sudah terlalu susah” “sesusah apa?” “mereka tak punya uang membeli roti” “mengapa soal tak mau makan roti kau laporkan padaku? Kalau mereka tak mau makan roti ya makan saja kue taart”. Mengapa dia berkata seperti itu? Karena di meja makan istana tersaji pelbagai hidangan: kue taart, roti dan sangkanya, rakyatnya juga melalui hidup yang sama dengannya: kalau tak suka roti, bisa memilih makanan lain. Saat statemennya tersebar ke seluruh Perancis, orang miskin sangat jengkel padanya. Dan puncak kejengkelan mereka dicetuskan dalam Revolusi Perancis, menangkap dan memenjarakan raja dan ratu sekian tahun, selama rakyat belum menetapkan, hukuman apa yang akan dijatuhkan pada mereka. Baru kemudian rakyat memutuskan untuk memenggal kepala mereka. Maka Louis XVI adalah satu satunya Raja Perancis yang dipenggal kepala.

Sementara di Inggris, satu-satunya raja yang dipenggal kepala adalah Charles I, di masa Oliver Crownwell  jadi Perdana Menteri. Saya tak akan meneruskan pembahasan sejarah. Hanya berharap, pembahasan sepintas tentang sejarah, filsafat, teologi, musik, lukisan ini dapat mendidik kalian jadi orang yang lebih bijaksana. Setelah Charles I dipenggal kepala, baru orang memikirkan cara untuk mengeksekusi terpidana mati dalam waktu yang paling singkat dan tak terlalu sakit. Yaitu mengikatkan pisau yang tebal di bagian bawah dan tipis di bagian ujung di ketinggian tiga sekian meter dengan tali. Sehingga saatnya tiba tali dilepas, pisau akan jatuh persis di bagian belakang dari leher terpidana mati. Maka dalam waktu sepersepuluh detik, kepalanya terpisah dari tubuh. Sebenarnya, saat di masa Perancis terjadi Revolusi, yang mengakibatkan Louis XVI dan Marie Antoinnette dipenggal kepala. Di Inggris juga terjadi Revolusi. Tapi Revolusi di Inggris dan di Perancis, dua negara yang hanya dipisahkan oleh Dover Strait yang tak lebih sepuluh kilometer itu sangat berbeda: Revolusi di Perancis merenggut nyawa empat puluh tiga ribu lebih orang. Sementara di Inggris, tak terjadi pertumpahan darah; transformasi politik di Inggris tak sampai mengalirkan darah. Mengapa? Karena Inggris menjalankan revolusi dengan firman Tuhan, sementara Perancis, melakukan revolusi dengan menuangkan kebencian yang sudah menumpuk tinggi. Statemen paling kejam yang pernah saya baca di masa Revolusi Perancis diucapkan oleh pemimpin dari Encyclopedia School of Philosophy: “dunia tak mungkin ada damai, sampai leher dari Paus terakhir dililit dengan usus dari Kardinal terakhir sampai dia mati, karena tak bisa bernapas”. Itulah statemen yang mewakili rakyat sudah begitu benci pada agama, gereja, Kardinal dan Paus. Tapi gereja masih tak menyadarinya, sibuk dengan berebut kuasa secara internal. Maka jangan hanya membaca sejarah gereja yang diturunkan oleh pendeta-pendeta atau paus-paus, tapi baca juga reaksi dari kaum Ateist dan orang dunia. Orang yang mengamati Revolusi Perancis yang begitu kejam bukanlah orang biasa, melainkan Thomas Carlyle, orang Reformed dari Skotlandia. Yang dengan susah payah mengumpulkan lebih dari sepuluh ribu bahan guna menyusun buku The France Revolution. Namun sayang, dia punya seorang pembantu yang bodoh luar biasa. Suatu hari, saat dia tak di rumah, si pembantu melihat ruang kerjanya penuh dengan kertas-kertas. Dia kira, itu adalah kertas yang tak terpakai, maka dia kumpulkan semua kertas dan dibakar. Padahal, itu adalah bahan-bahan yang dia kumpulkan selama hampir dua puluh tahun. Dan waktu dia pulang, mendapati ruang kerjanya sudah “bersih”, ingin menangis, tapi tak bisa. Orang besar memang punya ketekunan yang luar biasa, dia tak memarahi pembantunya, melainkan menulis ulang buku The France Revolution dari nol sampai terbit. Suatu hari, seorang pujangga Perancis yang sangat besar: Auguste Comte yang sejak usia 14 tahun sudah membenci Katholik dan gereja, sampai pernah mengumumkan declaration of independance: no more believe in God, no more depand on the Church; not belong to a Church, tak perlu Kitab Suci, gereja atau keselamatan. Bahkan berani menginterpretasikan sejarah manusia ke dalam tiga step: 1. Theological state. 2. Mitological state. 3. positive state: scientific era itu pergi ke Skotlandia, mengunjungi Thomas Calyle dan berkata: “Thomas, I want to establish  a new religion, which is called the religion of Humanist. Agama yang tak perlu memberikan offering, tak menjalankan worship, hanya menghargai Tuhan yang tertinggi, hidup berdasarkan moral yang baik. Karena manusia memang tak lagi memerlukan mujizat, metafisika atau anugerah Tuhan”. Mendengar itu, Thomas Carlyle sadar, Komte adalah orang yang tak punya Tuhan dan sangat sombong. Maka katanya:congraculation, I hope, that the religion that you establish will success. But I think, you should fulfill three things” “apakah ketiga hal itu?” “1. you should say something that never spoken by anybody in the history. 2. You should do something that never done by anybody in the history. 3. you should proclaim, when you going to die and will rise again on the third day.

Saat membaca dialog mereka, saya kaget sekali. Karena statemen Thomas Carlyle menandakan, dia adalah orang yang mengamati kekristenan dengan teliti dan benar-benar menyadari rahasia kekristenan terletak pada Yesus, satu-satunya orang di sejarah, mengucapkan statemen yang belum pernah orang lain katakan, mengerjakan hal yang belum pernah orang lain kerjakan, bahkan mengumumkan kapan Dia akan mati dan bangkit. Setelah mengamati dan membandingkan, barulah saya sadar, mengapa para pesuruh orang-orang Parisi yang sudah menerima uang itu tak menjalankan tugas mereka untuk menangkap Yesus. Karena mereka sudah mengamati dan menemukan: tak pernah ada orang yang berkatakata seperti Yesus. Dan statemen senada baru muncul seribu delapan tahun kemudian. Maka bagi saya, statemen ini merupakan langkah baru di sejarah. Siapakah orang-orang itu? Saya tak tahu. Kalau toh akhirnya mereka jadi orang Kristen, saya berharap, saat bertemu di sorga nanti dapat bertanya pada mereka: “apa yang membuat mereka mengambil keputusan yang begitu tepat. Karena sejak kecil, saya suka sekali mengamati. Dan saya percaya statemen yang dikatakan oleh Da Vinci: pengetahuan bukan datang dari ruang kelas, melainkan dari pengamatan. Maka kalaupun saya dua tahun tak ke Amerika, begitu saya melihat mobil baru dari GE, Cardillac atau Chevrolet, Pontiac, Volvo, de Soto, Toyota, saya dapat segera menemukan perbedaan mobil baru itu dengan model sebelumnya. Karena sejak usia 8 tahun, saya sudah mengamati perkembangan mobil baik interior maupun exterior-nya secara detail. Begitu juga dengan pengamat sejarah, dia dapat menemukan dengan segera sesuatu yang baru di sejarah. Karena dia begitu peka, juga tahu akan statemen yang pernah dilontarkan orang di sejarah. Jadi, para pesuruh yang ditugasi oleh orang-orang Parisi untuk menangkap Yesus itu bukanlah orang biasa. Meski mereka tergolong orang yang tak punya banyak uang, tapi mereka menjalankan tugas dengan sensitivitas yang tajam; peka dan yang inovatif. Sehingga setelah mendengar khotbah Yesus, mereka langsung tahu: Dia mengatakan kata-kata yang tak pernah ada di sejarah  Dia bukan orang biasa, tak boleh ditangkap. Dan memilih untuk mengembalikan uang yang sudah mereka terima. Agar uang tak membungkam hati nurani mereka. Aksi mereka ini menegaskan orang-orang Parisi yang menyuruh mereka menangkap Yesus adalah orang-orang yang buta rohani: hanya karena dikritik oleh Yesus, mereka marah dan ingin membunuh Dia jahat sekali, bukan? Sementara orang-orang suruhan mereka, setelah mendengar khotbah Yesus malah memilih untuk hidup dengan hati nurani yang merdeka. Inilah salah satu jenis sikap manusia. Statemen mereka: “tak pernah ada orang yang berkata-kata seperti Yesus”, bukan saja tak membuat orang-orang Parisi rendah hati, ingin mendengar, mempelajari lebih jauh. Malah membuat mereka menghardik para pesuruh itu: “terkutuklah kamu, orang-orang yang bodoh, yang dapat ditipu oleh khotbah Yesus. Coba lihat kami; orang-orang Parisi, ahli Taurat, tak ada yang mau percaya Dia. Mengapa kalian mau percaya padaNya?” Jadi karena mereka tak mau menerima Yesus, maka orang-orang itu juga tak boleh menerima Dia. Itulah perilaku manusia, saat seorang atasan membenci seseorang, dia suka menularkan kebenciannya; menyuruh bawahannya juga ikut membenci orang itu. Maka tak heran, kalau seorang pemimpin membenci Stephen Tong, dia akan melarang jemaatnya mendengar khotbah Stephen Tong dengan alasan: “dia tak punya Roh Kudus”. Psikologi pemimpin agama ini sangat meprihatinkan. Karena saya tak pernah berniat menjatuhkan siapa-siapa, hanya ingin menunjukkan kesalahan seseorang, agar dia dapat memperbaiki diri. Sehingga kelak, dia dapat bertemu dengan Tuhan dalam keadaan yang lebih baik. Tapi orang selalu mengira saya menyindir dia atau menghina dia dan membenci saya. Itulah juga yang Yesus alami. Maka bagian akhir dari Yoh.7 ini membuat saya sangat terharu. Karena mental dari orang-orang yang beribadah, yang mau mendengar khotbah Yesus memang berbeda dengan mental orang-orang yang menaruh sentimen terhadapNya. Kata mereka: coba pandang kami; orang Parisi, ahli Taurat yang berkedudukan tinggi, tak seorangpun dari kami yang mau percaya Yesus, mengapa kalian mau percaya Dia? Karena kalian bodoh, tertipu olehNya. Itu sebab, kalian memang pantas dikutuk  betapa jahat hati mereka. Setelah mereka berkata seperti itu, seorang dari antara mereka membela Yesus.

Hal ini mengindikasikan: saat orang banyak memusuhimu, jangan kau kecewa. Karena di antara mereka pasti masih ada orang yang punya hati nurani, yang takut Tuhan. Siapakah orang yang membela Yesus? Orang yang yang pernah menemui Yesus Kristus di waktu malam: Nikodemus yang juga seorang Parisi. Waktu dia mendengarkan orang-orang Parisi lain merendahkan Yesus begitu rupa, dia angkat bicara: “ingat, Taurat tak mengizinkan kita menvonis seorang sebelum memberinya kesempatan berbicara”. Sungguh, saat pengadilan berada di dalam tangan orang-orang yang tak menghormati keadilan, itulah malapetaka sebuah bangsa. Pada waktu orang-orang Parisi menganggap diri punya kuasa yang resmi untuk menghakimi, mereka menvonis Yesus tidak benar, juga menuding orang yang percaya Dia adalah orang bodoh yang pantas dikutuk. Setelah diingatkan oleh Nikodemus, apa reaksi mereka? “Hai Nikodemus, kau yang sudah tua dan pikun juga ikut tertipu olehNya? Coba selidiki Kitab Suci, mana ada nabi yang berasal dari Galilea: Yesaya, Yehezkiel, Daniel, Hosea tak seorangpun berasal dari Galilea. Betulkah Galilea tak pernah menghasilkan nabi? Betul. Tapi apakah karena di sejarah tak pernah ada nabi yang berasal dari Galilea. Maka Tuhan untuk selamanya tak mungkin memanggil nabi dari Galilea? Tidak. Dulu, dunia menganggap, orang Eropa hebat, orang Amerika tak tahu apa-apa; mana mungkin orang Amerika mengerti musik Jezz, Country music, Soul music, Negro music? Suatu hari, Konduktor penting di New York yang berkebangsaan Gerika: Dimitri Mitropoulos terserang diare berat, tak sanggup mengkonduk, lalu digantikan oleh Leonard Bernstein, orang Amerika. Banyak orang merasa kecewa sekali: Bernstein masih muda, orang Amerika lagi, mana mungkin bisa mengkonduk dengan bagus? Tapi karena mereka sudah terlanjur membeli tiket, terpaksa hadir juga di konser itu. Saat Bernstein tampil, mereka tepuk tangan dengan ogah ogahan. Tapi, setelah menyaksikan dia mengkonduk, baru sadar ternyata dia sangat luar biasa, bahkan jauh lebih bagus dari Dimitri Mitropoulos. Bahkan sejak itu, mereka mulai mengakui, orang Amerika tak kalah dengan orang Eropa. Tahun 1987, saya pernah mengatakan pada Jahja Ling: “sekarang, Karajan sudah meninggal di usia 89 tahun dan Bernstein juga meniggal di usia 90 tahun. Semua orang menganggap Karajan lebih besar dari Bernstein. Tapi menurut saya, Bernstain lebih besar dari Karajan“Mengapa?” “dia bukan hanya bisa conduct, juga bisa compose. Saat dia conduct, sanggup menampilkan jiwa yang luar biasa, yang lebih besar dari Karajan” “belum tentu” “biar sejarah membuktikan hal itu”. Mengapa saya punya firasat seperti itu? Karena kreativitas bisa saja melampaui tradisi. Suatu kali, Karajan pergi berjudi, membiarkan Bernstein meng-conduct Mahler symphony no. 2, di Berlin. Katanya: “aku tak takut, toh aku adalah raja-nya conductor”. Tapi ternyata, malam itu, conduct dari Bernstein menggemparkan. Karajan memang mendengar orang mengatakan: “when you are not here, Bernstein give the greatest performance of the Mahler symphony no.2, The Reserrection Symphony” dia diam saja.

Dua minggu kemudian, dia meng-conduct Symphony yang sama. Tapi hasilnya, kalah jauh dari Bernstein. Karena itulah, dia tak suka pada Bernstein sampai mati. Tapi waktu dia meninggal dunia, Bernstein berkata: “kita harus berduka. Karena kita telah kehilangan genius besar zaman ini, yang tak mungkin digantikan oleh orang lain” menyatakan hati Bernstein lebih luas dari Karajan. Jadi, jangan sombong karena tradisi yang kau warisi, karena kebangsaanmu atau karena konsep nasionalisme yang sempit, seperti kata orang Parisi: “mana mungkin Galilea menghasilkan orang penting? Nikodemus, periksalah sejarah, tak pernah ada nabi yang berasal dari Galilea”. Apakah mereka telah mengatakan sesuatu yang benar? Tidak! Karena Yesus bukan berasal dari Galilea. Ini membuktikan, mereka memang sudah studi akademis, tapi lupa, bahwa kebenaran lebih tinggi dari akademis dan tradisi dan mereka mengeraskan hati. Maka saya terus ingin menerobos anggapan orang: kalau tak studi di luar negeri, tak mungkin melakukan pekerjaan besar bagi Tuhan menghina orang-orang yang berasal dari kampung. Saya bersyukur pada Tuhan, empat puluh tahun silam, ditemukan di Timor, seorang yang khotbahnya mirip dengan Karl Barth. Padahal dia tak pernah membaca buku Karl Barth. Sama halnya dengan mengapa Westminster memberikan gelar Doktor pada saya? Mereka mengakui, Tuhan dapat membangkitkan orang penting dari tempat yang tak penting. Lalu mengapa mereka mengatakan: “Hai Nikodemus, selidiki dan pelajari”? karena mereka menganggap: kamilah yang tahu, Galilea tak pernah menghasilkan siapa-siapa. Tapi meski situasinya begitu kontroversial, Yesus yang mereka gunjingkan tetap tenang-tenang, Dia mengajar di Bait Allah. Dengan status apa Jesus teach in the temple of God? Mereka tak tahu: Yesus adalah Anak Allah, maka mereka terus mencari cara untuk membunuh Dia, tapi tak mau dituding sebagai pembunuh. Di dunia bisnis memang terdapat banyak kejadian, dimana seorang bisa saja dibunuh dengan alasan yang tak jelas. Di pengadilan juga ada banyak orang yang diadili secara tidak adil. Bahkan ada juga orang yang dilukiskan dalam Pribahasa Tionghoa: sha ren bu za yan; membunuh orang tanpa berkedip. Atau sha ren bu jian xue; membunuh orang tanpa meninggalkan jejak. Menandakan manusia sudah jadi begitu tega, begitu kejam.

Jadi, apa sih yang orang-orang Parisi inginkan? Membunuh Yesus. Karena rasa benci sudah memenuhi hidup dan jiwa mereka, tapi mereka tak mau dipandang sebagai pembunuh. Karena membunuh itu melanggar hukum Musa. Maka mereka mengupayakan cara agar Yesus dibunuh karena Dia berdosa. Untuk itu, mereka menangkap seorang perempuan yang tertangkap berzinah dan dihadapkan padaNya. Waktu itu, Yesus menulis sesuatu di tanah. Apa yang ditulisNya? Tak tahu. Ada pendeta yang mengatakan, dia mendapat wahyu, tahu apa yang Yesus tulis. Itu omong kosong adanya. Kelak waktu kita di sorga, tanyakan padaNya: Tuhan, apa yang Kau tulis pada saat itu? Karena tekateki itu tak pernah kami ketahui. Biar Dia yang menjawab. Waktu Yesus menulis di tanah, mereka datang dan berkata: “Yesus, lihat perempuan ini, dia berzinah dan tertangkap basah. Menurut Taurat Musa, dia harus dirajam batu sampai mati. Jadi, bolehkah kami merajamnya?” satu jerat yang membuat Yesus jadi serba salah. Kalau Dia menjawab: “tidak boleh”, mereka akan menuduh Dia: “mengajar orang melawan Taurat” dan membunuhNya. Tapi kalau Dia menjawab: “boleh”, perempuan itu akan mereka rajam batu sampai mati; membuat tujuan Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa jadi sia-sia. Yesus dihadapkan pada satu ujian, hanya karena mereka ingin membunuh Dia tapi tak mau dituding bersalah. Kita akan stop di sini dan akan dilanjutkan dengan menguraikan kejahatan para pemimpin agama perbuat, tapi mereka tak mau mengaku diri jahat; berpura-pura jadi orang beribadah  hal yang sangat Tuhan benci. Biar Tuhan menolong kita, jadi orang percaya yang betul-betul mengerti firmanNya.

 (ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah – EL)

Oleh : Pdt. Dr Stephen Tong

Sumber : https://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/jakarta/MRI1095.pdf