Firman : Yakobus 4 : 11-17

Sebenarnya, apa sih yang mau penulis katakan di sini? Karena kedua bagiannya seperti tidak berhubungan satu dengan yang lain: ay. 11-12 membahas soal menghakimi orang — urusan antar manusia, sementara ay. 13 dan seterusnya membahas soal kapan akan pindah dan berdagang di mana, mendapat untung, urusan antara aku dengan waktu dan keberadaanku, lalu dia simpulkan: barangsiapa tahu apa itu kebajikan tapi tidak melakukannya, dia berdosa. Saya terus merenungkan relasi antara keduanya, akhirnya saya menemukan satu point yang sangat penting: menilai segala sesuatu yang ada di luar lewat apa yang ada di dalamnya. Dengan standar apa kita menetapkan: ini benar itu salah, ini baik itu jahat? Orang yang takut pada Tuhan, tidak berani sembarangan menilai orang.

Tolstoy, pujangga besar Rusia pernah mengisahkan: seseorang divonis bersalah oleh Mahkamah Agung, lalu dikirim ke kamp konsentrasi di Siberia yang sangat jauh dan cuacanya dingin bukan kepalang, mendekam seumur hidup di sana. Dia terpaksa harus meninggalkan isteri, anak dan semua orang yang dikasihinya dengan deraian air mata, tak ada harapan lagi baginya. 28 tahun kemudian, barulah ada pernyataan dari Moskow, vonis yang dulu dijatuhkan padanya ternyata salah, dia dibebaskan. Ketika dia keluar dari penjara, tak tahu harus berbuat apa. Orang-orang yang dia kasihi sudah meninggal, jarak antar Siberia dan Rusia bagian barat ribuan kilometer, siapa yang membiayai dia pulang? Kalau harus berjalan kaki, perlu waktu berbulan-bulan, dari mana dia mendapatkan pakaian hangat… Maukah kita mengakui: banyak kali orang yang kita anggap jelek ternyata baik, yang kita anggap baik ternyata jelek? Penilaian kita sering meleset.

Celakanya, kita lebih percaya pada pengalaman dan standar kita dari fakta yang obyektif. 2.500 tahun silam, di Tiongkok, di buku zhan guo ci yang memuat parabel-parabel kecil, yang mengandung kebenaran yang amat tajam, tertulis: seorang berkata pada isterinya, si A, tetangga kita itu telah mencuri cangkulku, isterinya juga sependapat dengannya. Beberapa hari kemudian, dia menemukan cangkulnya di belakang rumah dan katanya, dia bukan pencurinya, padahal saat mereka prejudice, di mata mereka, dialah pencurinya.

Tahun lalu, saya kehilangan $5,500 di hotel, di Kuala Lumpur, uang tiket ke Argentina dan Brasil. Padahal saya baru saja tinggalkan kamar, ketika kembali, uang itu sudah hilang. Mereka mengecek, hanya ada seorang cleaning service yang bertugas di jam itu. Tapi saya masih tidak yakin, uang itu dicuri atau terjatuh? Sampai mereka menemukan amplop bekas pembungkus uangnya di kloset, terbukti uang saya telah dicuri. Merekapun menyarankan saya melapor ke polisi, saya bergumul: apa jadinya kalau bukan dia yang mencuri tapi saya menuduhnya mencuri? Akhirnya saya memutuskan untuk tidak melapor. Karena seumur hidup ini, saya benar-benar takut salah menilai orang. Bukan maksud saya membiarkan orang jahat merajarela, tapi saya pribadi tidak tega menghancurkan masa depan seseorang hanya karena salah menilai.

Siapa kamu, hingga kamu berani menghakimi orang? Banyak kali, pembantu kau berhentikan hanya karena barangmu hilang dan kau kira dialah yang mencurinya. Setelah barangmu ditemukan, adakah kau bertobat dan kembali mempekerjakan dia? Kadang, self defence kita secara tidak sadar telah berubah menjadi offence, demi tidak merugikan diri, kita merugikan; menghancurkan orang — Itulah manusia. Siapakah kau, hingga kau merasa berhak menghakimi orang? Kalimat yang paling menyentuh hati saya: the One Who giveth the Law is the One Who can safe people, hanya Allah yang sanggup menyelamatkan juga membinasakan berhak menilai, dan penilaianNyapun tak mungkin salah, tapi Dia justru mengirim Yesus bukan untuk menghakimi melainkan untuk menyelamatkan.

Kau membenci seseorang? Permisi tanya, apa yang pernah kau lakukan untuknya? Kau tak pernah mendoakan dia, hanya tahu membenci dia, that is not Christian attitude. Christian attitude adalah betapapun rusaknya seseorang, kita harus membawanya berpaling. Saat kau melakukan satu kesalahan, tentu kau berharap orang lain mau mengertimu, tidak menghakimimu bukan? Mengapa saat orang lain melakukan kesalahan yang sama, kau menghakimi dia dengan ukuran yang begitu ketat? Di dalam buku education yang ditulis oleh Palmer tertulis: ada seorang murid yang nakal sekali, membuat gurunya jengkel bukan kepalang, ingin mengadukan anak itu pada orang tuanya. Dia mendapati, anak itu tinggal di gang yang kecil sekali, waktu dia masuk ke rumah itu, ada banyak anak-anak di sana, muridnya adalah anak sulung di dalam keluarganya. Dia langsung mengatakan pada ibu anak itu “anakmu kurang ajar…” ibu itu balik bertanya “kamu ini siapa?” “guru anakmu yang bernama si anu” “silahkan duduk. Sejak ayahnya meninggal, dialah yang membantuku mencuci pakaian adik-adiknya, melakukan ini, itu…,dia begitu baik. Puji Tuhan, telah memberi anak itu pada saya”, si guru yang sedianya mencaci-maki muridnya langsung bungkam. Dia pulang, dengan linangan air mata dia berkata: Tuhan, ternyata dia adalah anak yang baik. Selama ini, aku tidak pernah menyadari kebaikannya. hanya karena aku merasa terganggu oleh kelincahannya.

Mengapa kita sering salah menilai si anu jahat hanya karena merasa terganggu olehnya, pernahkah kita mengaku dosa pada Tuhan atas kesalahan itu? Biasanya kita hanya mengaku: Tuhan, aku berdosa, karena aku bermabuk-mabukan, aku sombong…. Karena pikir kita, kalau kita berzinah, congkak, tidak hidup suci… kita berdosa, padahal kita tidak melakukan hal yang seharusnya kita lakukan juga terhitung dosa {ay. 17). Selanjutnya, penulis membahas tentang estimasi kita akan masa depan: mau pindah ke mana, mau bisnis apa, meraup untung sekian… Statement: “saya kira, saya pikir… sering kita dengar dan kita ucapkan, faktanya, penilaian kita atas sesama, diri sendiri, hari depan..sering kali salah. Hai pedagang besar. bukankah bisnis yang kau rencanakan setengah mati sering kali tak menguntungkan, yang tak kau rencanakan malah untung besar? Itu membuktikan, hari depan kita bukan di tangan kita melainkan di tangan Tuhan.

20 tahun silam, seorang Uskup di Malaysia berkata pada saya: selama 17 tahun saya menjabat sebagai Uskup, Pendeta Pendeta pamit dengan mengatakan: Tuhan memimpin saya pindah ke Amerika, ke Inggris, ke Australia..sayapun melepas mereka satu per satu pergi. Masalahnya pak Stephen, mengapa pimpinan Tuhan selalu ke Amerika, Australia, tidak ada yang ke India atau Afrika? ltulah konsep orang Kristen yang salah: kalau Tuhan memimpin pasti mengarah ke tempat yang lebih baik, lebih kaya, bukan ke pedalaman, ke desa yang rawan penyakit menular?

Tiga tahun silam. Hong Kong dilanda SARS yang mengerikan, tak ada orang mau ke sana, apalagi saat itu, saya terus batuk-batuk. Waktu di pesawat, semua mata menatap saya, orang yang di samping saya pun memilih untuk pindah tempat duduk, pramugari datang mengukur suhu badan saya.. Sampai di Hong Kong, semua pendengar mengenakan masker, hanya saya yang tidak mengenakannya, karena saya harus berkhotbah. Saya terus bertanya-tanya, masih harus ke Hong Kong atau tidak, suatu suara berkata, kau juga takut mati di Hong Kong?”Pendengarmu menerjang bahaya 7 hari se-minggu, sementara kau, hanya datang seminggu sekali. Maka saya tetap ke sana. Akhirnya, mereka menyadari, saat Pendeta Pendeta membatalkan kebaktian di Hong Kong, hanya Stephen Tong yang setiap minggu tetap datang, merekapun menghormati hamba Tuhan dari sedalam-dalam hati mereka.

Orang dunia selalu mencari kesempatan untuk meraih better living: kalau mencari nafkah di Kalimatan mulai sulit, dia akan pindah ke Jakarta, ke Singapura, ke Hong Kong. Pemikiran seperti itu normal bagi orang berdosa. Jangan kau pikir, hari ini saya mau lakukan ini dan itu, karena perkiraan kita selalu salah. Mengapa salah? Karena kita selalu mengganti esensi yang tak nampak dengan fenomena yang nampak. Adakah orang baik yang ber­paras angker atau orang jahat yang berparas manis? Adakah orang pintar yang bertampang bodoh atau orang bodoh yang bertampang pintar? Ada, Maka kata Yesus, jangan menilai orang dari lahiriahnya.

Salah satu kalimat Gerika yang saya sukai adalah: Socrates got a face of a clown but a soul of god (dewa). 250 tahun lalu, Rene Descartes (orang Prancis) mengatakan: mengapa setelah kau memasukkan sebatang lidi yang lurus ke dalam air dia berubah menjadi bengkok? Karena idea de clara. Manusia tak bisa mengandalkan inderanya, karena inderanya bisa ditipu oleh iblis. Itu sebabnya, jangan biarkan idea de clara; pikiran yang jernih dinodai oleh apa yang kita lihat dan kita dengar. Kemarin, saya menerima faks dari New York: pak Tong, jangan lakukan kateter di Malaysia, negara itu masih terbelakang. Memang, banyak orang berpikir: untuk pengobatan jantung, Amerikalah yang terbaik. Tapi menurut statistik yang saya baca, dari 100 orang yang melakukan by pass di Amerika, ada dua orang yang meninggal, sementara di Malaysia, hanya satu orang yang meninggal, dan setiap tahunnya ada 3000 orang yang melakukan by pass di sana. Dari “saya kira, saya pikir, saya dengar…terbentuklah satu keyakinan: di sana paling baik, tak pernah menyadari akan kemajuan yang ada sekarang. Jadi, satu, jangan biarkan konsep: saya kira, saya pikir…menutup peluang bagi kemungkinan-kemungkinan baru. atau fenomena menutup esensi. dua, kita selalu memakai pikiran yang sudah kita bakukan menggantikan fakta yang obyektif; my imagination, my thinking, my logical speculation is must be like this , padahal faktanya sudah berubah.

Saya sangat mengagumi orang Barat dalam hal berani menggunakan merk baru. Kapankah Christian dior, piere cardin, verragamo, Luis Viton mulai beredar? Belum lama, mengapa punya begitu banyak penggemar? Karena mereka berani mengeluarkan ide baru. Berbeda dengan orang Timur, hanya berani memalsukan arioji Rolex, Omega, karena mereka yakin, merk lama pasti laku, merk baru pasti mati. Padahal keberanian untuk mendobrak, memunculkan sesuatu yang baru adalah sejenis iman yang tak mau diikat oleh sejarah. Sadarkah kau, dirimu diikat oleh masa lampau begitu rupa, membuaimu tak pernah melangkah ke depan? Dalam hal iman, kita memang perlu berpegang pada ajaran yang paling kuno, untuk memelihara kemurnian iman kita, tapi soal metode-nya, harus sefleksibel mungkin. Sementara untuk hal lain, kita perlu punya keberanian untuk menjelajah kemungkinan baru. Apa yang kau pikir pasti betul itu kau jadikan patokan guna menolak yang lain = kolot.

Mengapa ada orang yang setelah studi teologi, di usia 25 tahun khotbahnya sudah begitu bagus, semen­tara ada orang yang sudah puluhan tahun jadi Kristen masih tak tahu apa-apa? Karena tidak berusaha renew, refresh, rebuilt. Kalau ada yang mengoreksi, malah merasa terusik, kalau ada yang ingin mengubah malah dianggap seba­gai ancaman dan mulai paranoid. Di dalam dua bagian ini terdapat satu dasar yang sama: jangan mengandalkan perkiraanmu yang bisa salah. Kadang saya memperhatikan semut, ribuan ekor semut berbaris teratur mengikuti semut yang di depan. Herannya, mengapa mereka suka berputar-putar, akhirnya saya menyadari, mereka tidak memiliki kompas. ltulah manusia “saya pikir, saya kira…” adalah momok yang merusak, membelenggu hidupnya. Ay. 14b, hidupmu bagai uap… Yes.l, hidup manusia bagaikan rumput, bagaikan bunga. Rumput akan kering, bunga akan layu. th. 1963, ketika masih di SAAT, saya menyaksikan bunga wijayakusuma mekar penuh pada jam 24.00, saya membawanya ke tempat tinggal saya, tapi esok paginya, dia sudah terkulai.

Apa arti hidup kita, begitu singkat. Paul Tillich, teolog besar, saat berdebat dengan Van Buren, Hamilton, Altizer… yang berpegang pada God is dead theology mendengar mereka mengatakan “do you know that our theology is inspired by you?”Is that so? Tomorrow we continue our debate“, tapi keesokan harinya, Paul Tillich mati. Itu sebabnya, jangan mengira setiap hari akan sama. Sebagian dari hidup kita hancur, karena kita wrongly presuppose.

Berapa puluh tahun lalu, di Hong Kong ada seorang pemuda memenangkan lotre sebesar 790 sekian ribu dollar, dia pikir, aku tak perlu kerja lagi, karena aku punya banyak duit. Diapun hidup berfoya-foya, berdansa, berzinah…. Berapa tahun kemudian, dia menemukan seorang wanita yang ingin dia jadikan pasangan hidupnya, dia mengkalkulasi biaya pernikahan yang dia butuhkan dan pergi ke bank untuk mengambil uang, tapi kata petugas bank, uangmu hanya sisa 37 dollar. Saya membaca satu makalah yang sangat menyentuh hati: are you not satisfied of your present? recall your old days, what did you do? Kalau kau tak pernah menanam, kau tidak akan menuai, so. blame yourself. Saya bersyukur, kalau ada anak muda yang pernah mengalami hidup susah, sakit penyakit, patah hati, karena dia tahu, life is not easy, I should do something for my future. Kalau kau terlalu menyayangi anakmu, mencukupi segala kebutuhannya, sebenarnya secara tidak sadar, kau telah merebut hak juangnya guna menghadapi tantangan masa depan.

Bagaimana hari depan kita? Seorang mantan cowboy, setelah menjadi orang Kristen menuliskan sebuah syair, I do not know about tomorrow, but I know the One who hold my hands is the One Who hold my tomorrow, amin? Selama 48 tahun melayani Tuhan, saya tak pernah berani melangkah dengan sembrono. Teman-teman saya di sekolah teologi satu per satu pindah ke luar negeri, menikmati kehidupan yang lebih nyaman, saya hanya tahu satu perkara: if that is not Your will, I will not move even one step. Hidup kita bagai uap yang hanya muncul sesaat, barangsiapa tahu apa itu bajik tapi tidak melakukannya. dia berdosa — definisi dosa yang begitu berbeda: bukan dosa melakukan sesuatu tapi dosa karena tidak melakukan. Bagaimana mungkin tidak melakukan juga diperhitungkan sebagai dosa? Karena kau tahu, tapi kau tidak melakukan. Contoh: kau tahu pimpinan Tuhan lebih penting dari kemauanmu, tapi kau tak mau taat pada pirnpinanNya, kau berdosa.

Agama lain mengajarkan, kalau kau melakukan sesuatu yang salah, kau disebut dosa. Tapi tidak demikian dengan kekristenan, sikap, arah dan semangat tahu tapi tidak melakukannya juga dikategorikan sebagai dosa. Seorang tua, anak tunggalnya sudah lama pergi, tak ada kabar beritanya, dia selalu menantikan anak itu pulang. Suatu malam, dia mendengar suara teriakan minta tolong, tapi pikirnya, aku terlalu letih, terlalu tua, apalagi sudah larut malam, di luar sana dingin bukan kepalang, di sekitar sini juga ada rumah-rumah lain biar saja mereka yang menolong. Diapun tidur. Pagi harinya, badai salju sudah stop, di jarak berapa puluh meter dari rumahnya dia menemukan sebuah mayat, setelah dia amati, ternyata adalah anaknya. Dia menangis tak henti-hentinya, sampai mati karena kepedihan yang begitu mendalam. You know about good, you know that you should do good but you do not do it, that is sin. Mari kita membebaskan diri dari salah menilai orang, salah menilai diri, situasi…kita bersandar pada Tuhan, taat pimpinanNya, melakukan hal yang baik, yang Tuhan gerakan, amin?

Oleh : Pdt. Dr Stephen Tong

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah — EL)

Sumber :

1. https://foodforsouls.blogspot.com/2005/06/tahu-hal-yang-bajik-tetapi-tidak.html 2. https://reformed.keysystem.us/index.php/2010/06/eksposisi-yakobus-38-mengetahui-yang-bajik-dan-jahat-pdt-stephen-tong/