Jean-Jacques Rousseau, bapak filsafat Revolusi Perancis pernah melontarkan perkataan yang melawan arus pada zamannya, “kemajuan pendidikan dan kebudayaan tidak mengakibatkan perbaikan moral di dalam masyarakat modern.” Meski manusia sudah mendapat pendidikan lebih baik, sudah mempunyai pengetahuan lebih tinggi, masyarakat modern tetap tidak mampu menahan kemerosotan dan kerusakan moral. Kemerosotan moral sesungguhnya hanya bisa dijawab oleh agama.

Kemudian, dalam bukunya yang terkenal “Social Contract”, Rousseau menulis, “dari permulaan manusia dilahirkan dengan sama rata, tetapi karena sistim masyarakat dan hal-hal di dalam tradisi, manusia kemudian diperlakukan secara tidak rata.” Di akhir buku itu dia menuliskan kata kata yang penting terkait kebebasan beragama, “Siapapun tidak berhak untuk mengekang manusia yang lain. Siapapun tidak berhak untuk menguasai hak manusia yang lain, kecuali disetujui oleh orang itu.” Pada waktu itulah pertama kali dalam sejarah, orang mulai melihat mengapa begitu banyak orang dirampas kebebasannya. Pemikiran Rousseau itu kemudian menjadi api yang mencetuskan Revolusi Perancis pada tahun 1789. Dan pada waktu revolusi Perancis, ada kalimat yang amat menggetarkan umat beragama “Begitu banyak dosa dilakukan di belakang jubah kependetaan.” Agama ternyata bukan hanya menghadirkan kontribusi positif saja, tetapi juga wajah kekerasan.

Kebebasan Beragama

Agama, dalam bahasa latin “religere” artinya “hubungan.” Berarti, hubungan antara manusia dengan Yang Tidak Kelihatan atau Sang Pencipta. Hubungan antara manusia dengan manusia yang lain. Hubungan antara manusia dengan dunia rohani yang tidak kelihatan, termasuk setan, atau malaikat. Singkatnya, agama adalah hubungan antara manusia dengan materi yang dari dalamnya kita mendapatkan dukungan yang paling fundamental untuk menjalankan hidup jasmani kita. Dan semua hubungan tersebut apabila memiliki integrasi, keharmonisan, akan menghadirkan agama yang beres. Sayangnya tidak selalu demikian, agama ternyata bisa menjadi salah satu hal yang paling baik sekaligus paling jahat.

Di semua agama ada “orang baik”, karena agama dan kebudayaan merupakan respons manusia kepada wahyu umum daripada Tuhan Allah. Religion is the internal reaction to the general revelation of God. Sedangkan, culture is the external response to the general revelation of God. Agama dan kebudayaan sama-sama mencari nilai. Konsep nilai agama dan kebudayaan overlap di dalam hal moral. Itulah sebabnya orang berkultur harus bicara tentang moral, demikian juga dengan orang beragama. Maka, moral menjadi common ground kedua wilayah ini. Secara bersamaan itu juga menjelaskan bahwa manusia tak mungkin tidak beragama. Orang yang ateis pun tidak mungkin lepas daripada fungsi beragama. Mao Zhe Dong tidak percaya Allah karena dia sendiri sudah jadi “allah palsu.” Jadi itu adalah agama. Religere tidak mungkin tidak ada.

Manusia dicipta menurut peta dan teladan Allah. Karena itu manusia berdaulat pada hal-hal tertentu yang mewakili Tuhan. Namun manusia tetap berbeda dengan Allah, “We are created, we are limited, we are polluted.” Karena dicipta (created), manusia tidak boleh berperan sebagai Tuhan Allah. Karena terbatas (limited), manusia tidak boleh sombong. Karena sudah jatuh dalam dosa (polluted), manusia tidak akan pernah mungkin sempurna.

Manusia harus kembali kepada Tuhan dengan penuh perasaan takut kepada Allah, jujur kepada kebenaran, dan cinta kepada sesama. Ini adalah dasar bahagia daripada satu negara, satu masyarakat. Dan dari sinilah berdiri satu kekuatan di dalam diri manusia untuk tidak bersikap semaunya terhadap orang lain. Karena kebebasan yang melebihi batas yang seharusnya bukanlah kebebasan, melainkan kebuasan. Jadi, kebebasan beragama bukan karunia pemerintah, tetapi bersumber dari Tuhan. Dan, mereka yang beragama atau berkebudayaan sepatutnya mempunyai moralitas sebagai manusia yang dicipta menurut peta dan teladan Allah.

Jikalau agama betul-betul meningkatkan moral, kesucian, kejujuran, kesungguhan, kasih, kebajikan, dan keadilan, agama akan menjadi hal yang paling indah dalam kebudayaan manusia. Sebaliknya, jikalau agama menjadi alat untuk mendukung egoisme, kejahatan, keserakahan, dan menjadi alat untuk memenuhi ambisi pribadi, maka agama akan menjadi alat yang paling jahat di dunia.

Kita harus menghargai adanya hak kebebasan beragama karena ini adalah pemberian Tuhan. Sebagai peta dan teladan Allah, manusia diberikan kebebasan. Allah tidak menciptakan suatu tempat yang menjadikan paksaan. Allah memberikan kebebasan kepada manusia, mau menyeleweng, mau murtad, mau tidak mengakui Dia? Terserah! Tetapi hukuman itu pasti ada.

Hak Sipil

Kita tidak mungkin menyetujui semua agama. Orang Islam tidak setuju agama lain, orang Kristen tidak setuju agama lain, itu adalah keyakinan masing-masing. Tetapi kita harus setuju bahwa manusia mempunyai kebebasan beragama menurut keyakinan mereka.

Bolehkah orang Islam menjadi orang Kristen? Silahkan. Kalau orang Kristen akhirnya mau menjadi orang Islam bagaimana? Silahkan. Meskipun semua pemimpin agama tidak suka anggota gereja atau anggota agama mereka pindah agama, tetapi jikalau keyakinan mereka sudah sampai tahap tertentu tidak bisa dibendung dan tidak bisa diatur lagi, biarlah setiap manusia bertanggung jawab terhadap apa yang dia tahu tentang agamanya. Dan kita harus saling menghormati.

Meskipun semua umat beragama berhak mempropagandakan agama masing-masing sesuai konstitusi Indonesia, tetapi, itu tidak boleh mengganggu kebebasan umat beragama lain. Hak memilih agama sesuai keyakinan setiap orang, harus dilindungi. Hak kebebasan beragama adalah hak yang sangat hakiki yang tidak boleh dirampas oleh siapapun, dan sepatutnya menjadi hak sipil setiap warga negara.

Kemutlakan itu menjadi sesuatu yang paling penting dalam iman beragama. Itulah sebabnya semua orang yang beragama berusaha untuk menangkap yang paling mutlak, kemudian meyakininya, dan mempraktekkannya di dalam hidup mereka. Bahayanya, kemutlakan kalau sudah diyakini secara tuntas, biasanya menjadi eksklusivisme, dan melahirkan konflik. Itulah sebabnya orang yang membela agamanya berani membunuh orang lain, mereka menganggap mempunyai alasan yang cukup, karena telah menemukan kemutlakan, dan mutlak taat kepada kemutlakan itu. “Maka ‘saya mutlak’ harus membenci orang yang tidak percaya kepada kemutlakan saya.” Ini adalah kesulitan yang tidak pernah mungkin akan diselesaikan sepanjang sejarah masih berlangsung, dan selama matahari masih terbit.

Dengan demikian jelaslah, jangan harap ada satu hari “Indonesia bisa damai dan tidak ada konflik lagi.” Perdamaian antar agama adalah perjuangan setiap saat, setiap detik, setiap jam, setiap hari, harus digumuli dan dikerjakan. Perjuangan itu juga membutuhkan tampilnya pemimpin-pemimpin yang bersedia mengorbankan dirinya, dan tidak berkompromi.

(Ulasan Pdt. Dr. Stephen Tong, dalam Seminar “Truth, Pluralism and Public Life” dan Seminar “HAM dan Kebebasan Beragama”)

Sumber : Buletin RCRS Maret 2011