Kini begitu banyak lulusan sekolah theology, penginjil, bahkan kaum awam yang ingin cepat berkhotbah di mimbar, ingin cepat terkenal, dengan pengertian yang sangat dangkal. Orang-orang seperti ini sangat ingin menonjolkan diri. Kita melihat bagaimana Yudas tergeser dan terbuang. Tuhan Yesus tidak pernah membuang atau menghentikan rekan kerja-Nya, tetapi mereka akan pergi dan membuang diri mereka sendiri. Teguran terakhir Yesus adalah, “Dengan ciuman engkau menjual Aku?” Kalimat ini akan menghantui Yudas selama-lamanya, karena ia telah menjual Yesus di dalam dan mencium Yesus di luar. Inilah teguran untuk pengkhianat yang diingat selama-lamanya. Ketika kita bermain-main dengan iman dan mempermainkan kerohanian, kita tidak menyadari bahwa kita sedang berada dalam peperangan serius. Martin Luther mengajarkan kepada orang Kristen tentang Theologi Salib. Ia mengajarkan dua aspek: 1) The Glorious Christ (Kristus yang Mulia), dan 2) The Suffering Christ (Kristus yang Sengsara). Alkitab menyatakan jika kita tidak melihat Kristus yang tersalib, kita tidak akan melihat Kristus yang mulia. Keduanya tak terpisahkan. Saat ini banyak gereja mau jalan pintas, ingin kemuliaan tanpa salib. Kita perlu mengalami rekonstruksi pikiran kita, untuk dikembalikan kepada Firman Tuhan, kembali kepada apa yang Kristus telah katakan, yang dicerahkan dan diingatkan oleh Roh Kudus.
Firman yang kekal adalah dasar peperangan. Firman itu telah selesai ditulis, tetapi pengertian Firman tetap membutuhkan pergumulan riil, yang menjadi kesulitan bagi orang-orang yang membaca kitab suci. Banyak orang belajar theologi hanya untuk mendapatkan nilai dan gelar, tetapi tanpa mempunyai iman yang baik. Mereka hanya mempunyai catatan sejarah bahwa mereka pernah belajar, pernah baca buku, pernah ikut ujian, dan pernah lulus. Orang yang lulus ujian di atas kertas tidak tentu lulus ujian dalam peperangan rohani. Kita perlu menyadari bahwa sebagian dari orang-orang yang masuk dalam neraka adalah orang-orang yang pernah belajar theologia sampai tingkat yang tinggi. Hegel, Darwin, Kierkegaard, dan Karl Marx adalah filsuf-filsuf besar yang pernah belajar theologia. Dari mereka semua, hanya Kierkegaard yang masih punya perasaan takut kepada Tuhan, sedangkan yang lain melecehkan kekristenan.

Iman penuh pergumulan. Pergumulan itu memungkinkan kita mengetahui bagaimana berperang selanjutnya dan bagaimana hasilnya. Agama Kristen adalah agama yang percaya kepada “dunia di atas,” tetapi terjun dalam peperangan “dunia di bawah.” Kita mendapatkan wahyu dari Tuhan dan wahyu itu diberikan kepada kita dengan menurunkan fakta sejarah. Fakta kelahiran Kristus, kemenangan Kristus, kematian Kristus, kebangkitan Kristus, kenaikan Kristus, dan turunnya Kristus kembali pada waktu hari kiamat ini merupakan fakta sejarah yang merangkai iman Kristen. Di sinilah gereja yang sejati harus membangun diri. Gereja sejati, pertama-tama, harus kembali kepada iman para Rasul. Gereja yang sejati adalah gereja yang setia kepada pengajaran para Rasul. Sekitar tahun 1991-1995 merebak ajaran Kharismatik. Di dalam gereja ini sebenarnya banyak orang yang cinta Tuhan, tetapi mereka mengacaukan antara “apostolic faith” dengan “apostolic ministries.” Apostolic faith (Iman Rasuli) adalah credo, ajaran yang dipegang oleh para Rasul. Ini yang harus terus dipertahankan. Gereja harus kembali kepada ajaran Rasuli. Apostolic ministries (Pelayanan Rasul) adalah fenomena-fenomena yang dilakukan oleh para Rasul. Orang Kharismatik menganggap bahwa apostolic faith adalah mujizat, karunia lidah, kesembuhan, dan lain-lain. Itu adalah apostolic ministries. Akibatnya, mereka justru menyepelekan dan mengabaikan doktrin, mengabaikan apostolic faith yang sesungguhnya.

Di dalam menyikapi apostolic ministries, kita perlu teliti melihat bahwa tidak semua Rasul melakukan semua yang digolongkan dalam apostolic ministries. Tidak semua Rasul melakukan mujizat, tidak semua Rasul menyembuhkan, tidak semua Rasul digigit ular dan tidak mati, dan tidak semua Rasul berbahasa lidah. Tanda-tanda yang disebut dalam Markus 16:17-18 seringkali dianggap sebagai tanda orang yang diselamatkan. Kita perlu mengetahui bahwa bagian ayat ini tidak mutlak ada, karena tidak ada pada manuskrip-manuskrip Alkitab yang paling tua. Di sini inti penyelewengan itu, yaitu fenomena pelayanan dianggap sebagai iman kepercayaan. Yesus pernah mengatakan, “Jangan beranggapan bahwa semua orang yang mengusir setan, melakukan mujizat, bernubuat dalam nama Yesus, akan masuk sorga. Sesungguhnya dia yang melakukan kehendak Bapa yang masuk kerajaan sorga.” Tuhan Yesus berkata, “Aku tidak pernah mengenal kamu. Enyahlah engkau sekalian pembuat kejahatan.”[1] Jadi yang menjadi titik pusat bukan gejala pelayanan, melainkan iman kepercayaan sesuai dengan apa yang dikatakan Kristus dan dikonfirmasikan oleh Roh Kudus, yang adalah Roh Kebenaran.

1. Tantangan Politik

Para murid mulai bergumul berhadapan dengan tantangan pertama yang datang dari politik dan kerajaan Romawi. Ketika Oktavianus menjadi kaisar, Romawi berubah dari republik menjadi kekaisaran, dan itu disertai dengan semangat ekspansi yang begitu kuat. Semangat ekspansi ini karena ketakutan adanya ancaman. Kekristenan bukan berperang karena semangat ketakutan, sifat paranoid, atau ambisi-ambisi manusia. Kekristenan berperang karena memang antara Kristus dan setan terjadi peperangan laten, di mana kita berada di dalamnya. Kekaisaran Romawi memberikan toleransi kepada orang Yahudi untuk tidak melihat kaisar sebagai Tuhan, tetapi boleh menyembah Yehowah. Namun, kini ada satu lagi yang mengaku sebagai Tuhan, yaitu Yesus. Maka, pengikut Tuhan yang baru ini perlu dianiaya. Di sinilah mulai terjadi serangan dan penganiayaan terhadap orang Kristen. Tuhan Yesus baru saja bangkit dan Roh Kudus baru saja turun. Gereja baru saja tumbuh dan berkembang. Dan saat itu penganiayaan telah datang untuk berusaha menumpas kekristenan. Ribuan orang, karena iman kepada Kristus, dibunuh. Inilah peperangan yang mulai meletus. Sampai empat abad penganiayaan para kaisar Romawi terhadap orang Kristen membinasakan ratusan ribu orang yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Itu sebabnya, Paulus mengatakan di dalam konteks penganiayaan seperti ini, bahwa orang yang percaya Yesus adalah Tuhan, pasti diselamatkan (Rom. 10:10). Tantangan pertama muncul justru dari politik Kerajaan Romawi. Tantangan serius terhadap kekristenan muncul dari kekuatan politik yang tidak menghendaki orang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Tantangan politik ini terus terjadi di sepanjang sejarah hingga kini dan menjadi tekanan bagi iman Kristen dan penganiayaan bagi orang yang percaya Yesus adalah Tuhan.

2. Tantangan Filsafat

Tantangan kedua muncul dari filsafat Gerika. Filsafat Gerika mencampur berbagai pikiran yang sangat dalam dengan istilah yang bermutu sangat tinggi, membuat orang menyangka pikiran ini bertingkat akademis tinggi. Ada asumsi bahwa yang berakademis tinggi adalah orang pandai, dan kalau pandai pasti tidak salah. Filsafat Gerika menakut-nakuti orang dengan keindahan sastra dan pikiran yang begitu tinggi, sehingga membius mereka dan membuat mereka tidak mengetahui kelemahan yang ada dalam filsafat tersebut. Sebelum Sokrates, filsafat Gerika tidak mempunyai arah yang jelas, namun kemudian Sokrates mementingkan antropologi, dan bukan theologi. Akibatnya, filsafat Gerika mengembangkan studi antropologi yang mendalam. Sokrates menekankan “kenallah dirimu” (gnoti seauton). Sebelum mengenal yang lain, kenallah diri kita sendiri terlebih dahulu, karena dari situ kita baru bisa mengenal segala sesuatu. Alkitab mengatakan bahwa kita harus “mengenal Allah” terlebih dahulu. Pengenalan akan Allah adalah awal dari bijaksana. Sokrates hanya mengenal “pengenalan diri sebagai awal pengetahuan.” Sokrates menolak semua mitos-mitos dan cenderung percaya adanya Allah yang esa. Tetapi konsepnya tidak jelas dan terpengaruh oleh konsep reinkarnasi. Filsafat metafisika yang percaya adanya satu Allah inilah yang membuat Sokrates dihukum mati. Orang menuduh Sokrates atheis karena telah meninggalkan dewa-dewa Yunani.

Lalu apa beda filsafat dan theologi? Keduanya berbicara tentang Allah; keduanya berbicara tentang arti hidup; keduanya berbicara tentang etika; keduanya berbicara tentang politik dan hukum. Saya merangkum dengan satu kalimat: “Filsafat selalu mempertanyakan setiap jawaban, sedangkan theologi menjawab setiap pertanyaan.” (Theology keeps answering the questions and philosophy keeps questioning the answers). Alkitab telah memberikan jawaban-jawaban yang tuntas bagi pertanyaan-pertanyaan yang paling penting dalam kehidupan manusia. Hanya seringkali banyak orang Kristen tidak melihat dan tidak menjelajah ke dalam pertanyaan filsafat dan melihat jawabannya di dalam Alkitab. Beberapa waktu yang lalu saya mengadakan seminar “Kritik terhadap Da Vinci Code.” Seminar gratis ini dilakukan karena manusia membutuhkan jawaban. Orang di dunia butuh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang paling krusial tentang hidup. Kekristenan tidak butuh dikasihani. Sebaliknya, kekristenan sangat kasihan kepada manusia yang sedang binasa, yang membutuhkan jawaban bagi hidupnya.

Ada seorang murid saya di Bandung yang meminta saya menjenguk dan menginjili seorang pemilik bank yang sakit keras. Saya pergi ke rumah sakit dan mendoakannya. Saya menjelaskan kepadanya bahwa Tuhan Yesus mencintai dia. Sesudah saya mendoakannya, ia mengatakan bahwa nanti kalau sembuh dia harus membantu gereja yang mana, karena begitu banyak pendeta yang mendoakannya. Saya menjawab, “Tuhan tidak membutuhkan pertolonganmu. Memang engkau pemilik bank yang kaya, tetapi maafkan, tolonglah dirimu sendiri. Karena yang perlu ditolong adalah jiwamu, yang kalau mati akan masuk neraka. Kristus datang mati bagimu. Engkau tidak perlu memberi persembahan, karena dari kalimatmu saya tahu bahwa engkau belum Kristen dan engkau belum mengerti apa itu persembahan. Khususnya gereja saya tidak akan memberikan alamat, karena engkau tidak berhak menolong kami. Engkaulah yang paling kasihan, yang memerlukan pertolongan Kristus. Itu sebabnya saya datang berdoa bagimu.” Dia sangat terkejut, dan saya juga sedikit terkejut melihat dia terkejut. Sekarang berapa banyak orang selalu beranggapan bahwa Tuhan butuh diberi makan oleh kekayaannya, agar Tuhan tidak kelaparan.

Jika kita berkesempatan mendengarkan khotbah, itu adalah anugerah. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Kita harus bersyukur kepada Tuhan, karena dari sini kita mengerti apa arti peperangan rohani. Orang Kristen diserang oleh berbagai filsafat dan terjepit di tengah berbagai ajaran sesat. Mereka dirayu oleh dunia, diajar dengan berbagai tafsiran yang sembarangan dan serong. Jangan ikut sembarang gereja, yang akhirnya menyesatkan dan membinasakan engkau. Ikut sembarang gereja sama seperti menikahi sembarang wanita. Kita harus kembali kepada Tuhan yang sejati, kepada kebenaran Firman yang sejati dengan tafsiran dan ajaran yang betul-betul setia. Kita tidak boleh menyamakan Tuhan dan hantu. Celaka jika kita tidak bisa membedakan mana Tuhan, mana hantu. Peperangan ini tidak main-main.

Maka, kalau saya simpulkan, di tengah penganiayaan politik, tipuan dari berbagai filsafat dunia yang menyesatkan, dan tekanan dari berbagai bidat-bidat dengan ajaran-ajaran yang membawa kepada kebinasaan, kita perlu lebih peka. Gereja harus peka, harus bangun, dan harus bersiap untuk berperang. Peperangan orang Kristen awal berlangsung sengit di abad kedua dan ketiga. Sampai pada abad keempat Tuhan membangkitkan Agustinus yang menetapkan banyak dasar pengajaran penting gereja, sehingga gereja menjadi kokoh. Namun, peperangan ini belum berhenti di situ. Peperangan ini terus terjadi di sepanjang zaman. Berbagai bentuk baru muncul, namun esensi yang ada tetap sama. Maka kini kita terpanggil masuk ke dalam peperangan rohani, di mana kebenaran Tuhan perlu kembali ditegakkan, pengajaran Firman perlu dikumandangkan, credo yang benar dinyatakan di tengah dunia, dan cinta kasih Tuhan diberitakan. Soli Deo Gloria.

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/the-battle-of-the-ages-bagian-2