THE WORD (Part-6)

Formasi di dalam Yohanes 1:1 “Pada mulanya adalah Firman”, merupakan bentuk filsafat Gerika dalam upaya mereka mengerti segala sesuatu. Tiga generasi pertama filsuf Gerika kuno yaitu Thales, Anaximander, Anaximenes, masing-masing mengatakan, “Pada mulanya adalah air,” “Pada mulanya adalah udara,” “Pada mulanya adalah sesuatu yang tidak terbatas.” Sampai suatu waktu Yohanes mengatakan, “Pada mulanya adalah Firman.” Di sini kita langsung melihat perbedaan kualitatif yang ada di antara wahyu Tuhan dan spekulasi manusia. Manusia berspekulasi tentang dunia yang ada di sekelilingnya, mempertanyakan ‘Apa yang pertama-tama ada di dunia dan apa yang memulai alam semesta?’ Manusia terus sibuk meneliti apa, apa dan apa, tidak pernah memikirkan kemungkinan ‘siapa’. Maka baik Atheisme maupun Naturalisme selalu mendasari teorinya di atas egosentris (human-antropocentric). Demikianlah cara manusia berspekulasi akan segala realita alam ini, dari makhluk hidup sampai benda mati. Hal sedemikian sama sekali berbeda dengan apa yang dikatakan oleh wahyu Tuhan. Wahyu Tuhan memberitahukan kepada kita bahwa manusia memiliki rasio, manusia bisa berpikir, berspekulasi akan semua hal yang dilihatnya karena adanya keinginan untuk mengerti yang ada di dalam dirinya. Daya mengerti dan keinginan untuk mengerti sudah Tuhan tanamkan di dalam dirinya. Itulah yang disebut peta teladan Allah. Jadi sebenarnya, Allah bukan objek yang dimengerti, Dia adalah Subjek dari kebenaran, Dialah yang berinisiatif untuk menciptakan manusia, satu-satunya makhluk yang ingin tahu, mungkin mencari, dan mungkin sadar akan adanya kebenaran. Itulah sebabnya di dalam berbagai benua di dunia selalu ada orang-orang yang sungguh-sungguh berusaha mau mencari tahu akan kebenaran, mau mengerti dunia dan kehidupan ini.

A. Kelebihan Logos Yohanes

Di dalam filsafat Tiongkok, ada orang-orang seperti Laozi dan Konfusius yang memikirkan tentang logos (dao). Konfusius mengakui dengan jujur ‘fu zi zhi yan xin yu tian dao, bu ke de er wen ye’ (berkenaan dengan alam, berkenaan dengan kebenaran langit, saya sungguh tidak dapat mengerti. Aku tidak mungkin mengerti firman surgawi). Oleh karena itu, dia menurunkan level diskusinya menjadi hanya membahas kebenaran yang bersangkut-paut dengan relasi antar manusia. Dia membagi relasi manusia jadi lima kategori:

  1. jun cheng – antara raja dan para pejabat lainnya
  2. fu zi – antara ayah (orang tua) dan anak
  3. fu qi – antara suami dan isteri
  4. kun zhong – antara saudara dan saudara, saudari dan saudari
  5. peng you — antara kawan dan kawan

Seluruh masyarakat terbentuk dari lima relasi itu: relasi antara raja dan pejabat, relasi antara orang tua dan anak, relasi antara suami dan isteri, relasi antara saudara dan saudara, relasi antara kawan dan kawan. Bentuk relasi masyarakat ini dipandang menjadi wadah manusia melakukan aktivitas hidupnya. Jadi, menurut Konfusius, manusia yang tidak bisa mengerti firman surga paling sedikit harus mengerti akan relasi dirinya dengan orang lain dan mengerti apa yang harus dia lakukan. Seseorang harus tahu apa yang menjadi kewajibannya terhadap pemerintah, terhadap raja, isteri, suami, saudara, kawan, orang tua, dan anak. Karena pengajaran tentang relasi dalam masyarakat inilah Konfusius menjadi salah seorang yang paling agung di bidang etika. Pengajaran Konfusius di bidang etika tidak bisa dilawan atau dilampaui baik oleh filsafat Aristotles, kebudayaan India, Babilonia, atau kebudayaan lain. Tetapi, ajarannya tetap tidak memadai karena dia tidak memberitahukan kepada kita dari mana asal mula dunia, apa yang terjadi setelah kematian, yang seharusnya melandasi pemikiran etika. Konfusius hanya membahas soal sifat dan relasi antar manusia. Konfusius sempat menemui Laozi, ingin mengerti dao lebih dalam. Tetapi, ketika mereka bertemu, Laozi justru menegur Konfusius, “Sikap dan tampangmu yang sombong, arogan, tidak jujur, tidak rendah hati, mana mungkin kau mengerti dao?” Maka, kebudayaan Tiongkok berhenti di sana, tak ada penemuan, pengajaran tentang dao yang lebih dalam.

Adapun filsafat India mengajarkan ‘Di luar manusia ada Brahman, di dalam diri manusia ada Atman, itulah yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang dapat mengerti akan firman yang ada di alam semesta’. Tetapi yang mereka sebut sebagai Brahman itu hanyalah suatu prinsip. Berbeda dengan Alkitab, Yohanes berkata di ayat 1 “Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Tiga pernyataan ini langsung membahas lokasi, identitas, dan sifat dari Firman itu. Jadi, yang Yohanes kemukakan di sini bukanlah sesuatu yang ada di alam semesta, juga bukan prinsip yang berada di alam semesta, dia menjelajah sampai ke dunia metafisika, bahkan ke wilayah supra-alam, dan memberikan satu kesimpulan ‘Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman adalah Allah’ – kesimpulan yang tak pernah ada di buku, di ajaran agama, filsafat, atau kebudayaan manapun. Manusia dengan kepandaian rasionya tidak mungkin dapat mengutarakan apa yang Yohanes ungkapkan melalui ketiga kalimat di dalam Yohanes 1:1 itu.

B. Keunikan Logos Yohanes

Menurut Laozi, firman beredar, berotasi dan bergerak di alam semesta, tetapi tidak melekat, firman terikat oleh alam semesta. Firman itu ada pada dirinya sendiri, tidak bergantung pada siapapun, dan ada sampai selama-lamanya, bersifat kekal. Konsep ini mirip sekali dengan ajaran Alkitab, di mana Tuhan Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai satu Pribadi yang ada pada diri-Nya sendiri, ada dari kekal sampai kekal, bahkan konsep inkontingensi, imortalitas, dan kekal berasal dari Allah sendiri. Allah adalah Allah yang berada dalam Diri-Nya sendiri, Mendukung Diri Sendiri, Cukup pada Diri Sendiri, Allah yang ADA selama-lamanya. Allah ada sampai selama-lamanya, bukan prinsip, juga bukan kuasa yang ada di dalam alam, Dia adalah Pribadi yang unik, Pencipta yang pertama-tama ada di dalam konsep kebudayaan orang Yahudi. Dengan ini, Yohanes sudah memberikan suatu kerangka yang sangat jelas. Dia tidak menyamakan Firman dengan alam semesta, melainkan menyamakan Firman dengan Pencipta alam semesta. Suatu fakta dan pemikiran yang sangat berbeda, baik terhadap filsafat Timur maupun filsafat Barat. Firman itu adalah Allah, dan Firman itu tidak terikat oleh dunia ini. Penting bagi kita untuk mengerti bahwa orang Kristen percaya akan sifat Allah yang transenden (jauh melampaui dan di atas alam) bukan menempel di dunia dan juga bukan tersembunyi di dunia karena Dia melampaui dunia. Di dalam Efesus 4, Paulus mengemukakan tiga kalimat yang sangat hebat yang tidak pernah kita temukan di dalam buku lain “Allah melampaui segala sesuatu, beredar di dalam segala sesuatu, berada di dalam segala sesuatu.” Kalimat pertama langsung memperlihatkan konsep Allah orang Kristen yang amat berbeda dengan semua konsep Allah yang ada di dalam kebudayaan atau agama lain. Misalnya, Pantheisme yang memandang Allah adalah alam dan alam adalah Allah. Artinya, Allah ada di dalam alam, Allah identik dengan totalitas alam; Allah diidentikkan dengan alam itu sendiri. Allah Pantheisme ini mengaktualisasi diri-Nya lewat alam semesta yang terus-menerus berkembang tanpa berhenti. Di kemudian hari, pemikiran ini diadopsi dan dikembangkan oleh seorang filsuf Jerman, Hegel. Hegel, tidak menggunakan istilah Allah melainkan Absolute Spirit (Roh Absolut). Roh yang terus-menerus bergerak dan mengaktualisasikan dirinya di dalam sejarah lewat prinsip silogisme, yaitu adanya tesis akan dilawan oleh anti-tesis dan melahirkan sintesis.

Allah yang sejati bukan diikat dan berada di dalam lingkup alam karena alam adalah alam ciptaan-Nya. Ia berada di luar alam semesta karena Dia yang menciptakan alam semesta ini. Dia juga berkuasa atas alam semesta karena Dia juga merupakan Sang Pemelihara dan Penopang alam semesta. Pengertian yang sedemikian rumit oleh Rasul Yohanes diutarakan hanya di dalam satu ayat: “Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah.”

C. Logos dalam Pikiran Yunani

Sebenarnya, istilah logos sudah muncul beberapa ratus tahun sebelum Yohanes menulis Injil Yohanes. Kita pernah membahas dua aliran yang menggunakan istilah logos, yaitu: 1) Heracletian School dan 2) Stoicism. Tapi logos yang dibahas di dalam Philosophy of Becoming (Filsafat Menjadi) yang diwakili ole Heraklitos hanyalah berupa prinsip perubahan yang tak pernah berubah: Dulu dunia berubah, sekarang dunia berubah, dan selama-lamanya dunia akan terus berubah. Prinsip “segala sesuatu terus berubah” yang tak pernah tidak berubah inilah yang disebut “firman” oleh Heraklitos. Jadi “firman” ini bagaikan api yang dari detik ke detik, dari zaman ke zaman tetap sama: menyala, membakar, namun tidak akan pernah ada suatu bentuk api yang permanen, baku, tak berubah. Pengertian yang tidak memiliki kaitan dengan Pribadi Penciptaan dan Penguasa alam semesta ini mengandung bibit pemikiran Atheis. Seluruh konsep Atheis-Materialis yang memberi pengaruh kepada Demokritos, Karl Marx, Komunisme, sampai Atheisme Abad 21 dipengaruhi oleh Philosophy of Becoming.

Di zaman yang sama, sebelum kelahiran Heraklitos di Gerika, di Tiongkok telah ada satu buku yang sedemikian mempengaruhi kaum cendekiawan hingga saat ini: The Book of Changes (I Ching), yang memberikan deskripsi tentang ba gua (segi delapan) yaitu kombinasi 8X8=64. Intinya, perubahan dan perubahan itulah yang mengakibatkan segala sesuatu yang kita lihat mempunyai bentuk yang berbeda. Menurut pemikiran ini, seluruh keragaman di dalam alam semesta ini terjadi dikarenakan prinsip perubahan yang diterangkan dalam buku itu. Buku ini sedemikian dirindukan untuk dipelajari oleh Konfusius. Dia menga­takan “Berikan kepadaku usia lima atau sepuluh tahun lagi maka aku akan mempelajari dengan sungguh-sungguh buku The Book of Changes, agar aku bisa terhindar dan melepaskan diri dari berbuat kesalahan besar di dalam hidupku.” Jadi, sejak lebih dari 2.700 tahun yang lalu di Tiongkok sudah dikenal konsep perubahan yang kita kenal sebagai ba gua (segi delapan). Dan sejak lebih dari 2.500 tahun yang lalu, di Gerika yang diwakili oleh Heraklitos juga sudah mengenal konsep peru­bah­an yang dikenal sebagai Philosophy of Becoming.

180 tahun sesudah Heraklitos mengemukakan pendapatnya tentang perubahan men­dasar dan tentang prinsip tidak berubah, muncul suatu aliran di Gerika yang menamakan diri Stoicisme. Stoicisme dimulai sekitar abad 4 SM dan hilang sekitar abad 4 M. Selama 750 tahun Stoicisme menjadi pemikiran penting di Gerika. Pikiran ini sempat menaklukkan mulai dari istana, seperti Kaisar Markus Aurelius sampai kepada budak-budak yang cerdas seperti Epitectus, yang hidup sezaman dengan Nero dan Seneca, sezaman dengan Tuhan Yesus dan Paulus. Menurut Stoicisme, alam semesta bagaikan tubuh yang berdarah dan berdaging, tetapi tubuh ini tidak berarti apa-apa jika tidak ada jiwanya, yaitu “firman”. Maka, materi di dalam alam semesta ini adalah tubuh kosmis sedangkan firman itu adalah jiwa kosmis. Firman atau logos ini yang bekerja di dunia yang kelihatan, di alam semesta ini, yang menggerakkan bumi, musim, dan berbagai perubahan yang ada. Maka, di sini terdapat alam yang mati dan logos yang hidup. Di manakah posisi manusia? Manusia berada di tengah-tengahnya. Maka, manusia menjadi satu-satunya makhluk yang mempunyai daya pikir, yang memiliki kemungkinan untuk mencari, mengerti, dan sadar akan keberadaan dan khasiat logos. Itu sebabnya, manusia dipandang sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya dari semua makhluk lainnya. Di dalam diri manusia mengandung bagian dari logos, yang disebut sebagai logikos. Logikos bagaikan tetesan air yang keluar dari induk atau sumbernya. Karena logikos keluar dari logos maka logikos memiliki sifat yang sama dengan logos. Bukan hanya memiliki sifat yang sama, tetapi juga ingin kembali bersatu dengan logos. Ini merupakan kerinduan untuk menyatu dengan “the mother water” yaitu logos. Itulah sebabnya manusia mau mendengar, memikirkan, mencari, bahkan rela mengeluarkan banyak uang untuk studi ke luar negeri demi menjadi orang yang mengerti dan pandai. Jadi, apa yang seharusnya manusia cari untuk dimengerti tidak lain tidak bukan adalah Logos. Jadi, logikos harus mencari Logos.

Filsafat India (Timur) memiliki kesamaan pemikiran dengan Filsafat Gerika (Barat). Atman yang di dalam hati ingin menyatu dengan Brahman; Logikos ingin menyatu dengan Logos. Tetapi bagi filsafat India, Brahman itu sendiri berada di dalam alam ini. Jika demikian, bukankah itu berarti Brahman ada di level materi? Namun, bukankah Alkitab juga mengatakan hal yang mirip dengan itu “di dalam segala sesuatu engkau melihat bukti bahwa Allah ada.” (Roma 1:12,19)? Bukankah itu berarti kita juga melihat Allah di dalam alam? Di dalam ayat ini dinyatakan bahwa melalui dunia ciptaan yang ada di luar diri dan intuisi yang ada di dalam diri, kita dapat melihat Allah yang tidak tampak. Hal-hal yang mungkin manusia ketahui tentang Allah diletakkan di dalam dua wadah:

  1. wadah eksternal yaitu alam semesta.
  2. wadah internal yaitu intuisi.

Melalui intuisi kita mengetahui bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu. Namun, manusia tetap tidak bisa mengetahui di mana Allah itu berada. Itulah yang dicari oleh filsuf India, filsuf Gerika. Namun Yohaneslah yang menyingkapkan rahasia itu: Allah ada di tempat-Nya bukan di dunia materi. Di sini kita melihat pen­ting­nya Yohanes 1:1 yang menyatakan bahwa Allah tidak menempel atau terikat dengan dunia alam ini. Di dalam Ibrani 11:3 dinyatakan bahwa “dunia ini dicipta oleh Firman Allah.” dan melalui Injil Yohanes maupun surat 1 Yohanes, kita akan menemukan bahwa Logos yang dikatakan di dalam Yohanes 1:1 adalah Logos yang merupakan sumber hidup, yang bersama-sama dengan Allah dan bukan bersama dengan alam. Logos itu juga adalah Allah, bukan alam itu Allah seperti yang diajarkan oleh Pantheisme. Betapa mengherankan ayat ini! Hanya dengan satu ayat ini saja, Alkitab mampu menghancurkan seluruh sistem kebudayaan dan seluruh aliran pemikiran filsafat. Ini membuktikan bahwa kuasa Firman Tuhan itu sedemikian besar.

Saya tidak tahu seberapa banyak orang Kristen yang dapat mengerti sejauh ini. Saya juga tidak tahu seberapa banyak pendeta yang memberi penjelasan serinci ini kepada orang Kristen. Satu hal yang pasti, jika orang Kristen tidak memiliki keinginan untuk mengerti kebenaran, dia hanya mengerti Alkitab dari kulitnya saja. Bagaikan orang yang mengupas kacang, lalu menyerakkan semua kulit kacang yang tipis itu, tetapi orang itu tidak memakan kacangnya. Maka, biarlah kita mau mengerti lebih lanjut akan keunikan Alkitab – firman Tuhan – yang mempunyai perbedaan kualitatif dibandingkan semua agama dan filsafat lain. Soli Deo Gloria. Amin.

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/the-word-part-6