Sungguh, munculnya ide mencari tulisan tentang kisah niat perceraian dalam rumah tangga diawali oleh datangnya seorang teman kantorku kita sebutlah namanya Burhan. Burhan curhat hampir 3 jam, bahwa dia berniat bulat untuk bercerai. Walau pun mungkin temanku ini kecewa karena saya menolak, menentang dan sangat tidak mendukung niatnya itu.. apapun alasannya. Lalu mencoba kurenungkan kenapa para mediator atau konsultan banyak yang gagal mengurungkan niat klien mereka untuk tidak bercerai, dan seperti biasa… mulai deh ide nakal muncul untuk mencari tahu cerita atau kisah seputar masalah ini… dan kutemukan 2 cerita yang menurutku cukup menarik dan baik untuk dibaca oleh kita yang perduli. Berikut kisahnya :

Kisah I
When You Divorce Me, Carry Me Out in Your Arms

Pada hari pernikahanku, aku membopong istriku. Mobil pengantin berhenti didepan flat kami yg cuma berkamar satu. Sahabat-sahabatku menyuruhku untuk membopongnya begitu keluar dari mobil. Jadi kubopong ia memasuki rumah kami. Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria yg sangat bahagia. Ini adalah kejadian 10 tahun yg lalu.

Hari-hari selanjutnya berlalu demikian simpel seperti secangkir air bening : Kami mempunyai seorang anak, saya terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih diantara kami pun semakin surut. Ia adalah pegawai sipil. Setiap pagi kami berangkat kerja bersama-sama dan sampai dirumah juga pada waktu yg bersamaan. Anak kami sedang belajar di luar negeri. Perkawinan kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah dipengaruhi oleh perubahan yg tidak kusangka-sangka, Dew hadir dalam kehidupanku.

Waktu itu adalah hari yg cerah. Aku berdiri di balkon dengan Dew yg sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam dalam aliran cintanya. Ini adalah apartemen yg kubelikan untuknya.

Dew berkata, “kamu adalah jenis pria terbaik yg menarik para gadis.” Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku pernah berkata, “Pria sepertimu, begitu sukses, akan menjadi sangat menarik bagi para gadis.” Berpikir tentang ini, Aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu kalau aku telah menghianati istriku. Tapi aku tidak sanggup menghentikannya.

Aku melepaskan tangan Dew dan berkata, “kamu harus pergi membeli beberapa perabot, O.K.?.Aku ada sedikit urusan dikantor”. Kelihatan ia jadi tidak senang karena aku telah berjanji menemaninya. Pada saat tersebut, ide perceraian menjadi semakin jelas dipikiranku walaupun kelihatan tidak mungkin.

Bagaimanapun, aku merasa sangat sulit untuk membicarakan hal ini pada istriku. Walau bagaimanapun ku jelaskan, ia pasti akan sangat terluka.Sejujurnya ia adalah seorang istri yg baik. Setiap malam ia sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai didepan TV. Makan malam segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV sama-sama. Atau aku akan menghidupkan komputer, membayangkan tubuh Dew. Ini adalah hiburan bagiku.

Suatu hari aku berbicara dalam guyon, “seandainya kita bercerai, apa yg akan kau lakukan? ” Ia menatap padaku selama beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa perceraian adalah sesuatu yg sangat jauh dari dirinya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan jika tahu bahwa aku serius.

ketika istriku mengunjungi kantorku, Dew baru saja keluar dari ruanganku. Hampir seluruh staff menatap istriku dengan mata penuh simpati dan berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu selama berbicara dengannya. Dia kelihatan sedikit curiga. Dia berusaha tersenyum pada bawahan-bawahanku. Tapi aku membaca ada kelukaan di matanya.

Sekali lagi, Dew berkata padaku,”He Ning, ceraikan ia, O.K.? Lalu kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak boleh ragu-ragu lagi. Ketika malam itu istriku menyiapkan makan malam, aku memegang tangannya. “Ada sesuatu yg harus kukatakan”.

Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi aku melihat ada luka dimatanya. Tiba-tiba aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu kalau aku terus berpikir. “Aku ingin bercerai”, ku ungkapkan topik ini dengan serius tapi tenang.

Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku,tapi ia bertanya secara lembut,”kenapa?” “Aku serius.”Aku menghindari pertanyaannya. Jawaban ini membuat ia sangat marah. Ia melemparkan sumpit dan berteriak kepadaku, “Kamu bukan laki-laki!”.

Pada malam itu, kami sekali saling membisu. Ia sedang menangis. Aku tahu kalau ia ingin tahu apa yg telah terjadi dengan perkawinan kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yg memuaskan sebab hatiku telah dibawa pergi oleh Dew.

Dengan perasaan yg amat bersalah, aku menuliskan surai perceraian dimana istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian. Aku merasakan sakit dalam hati. Wanita yg telah 10 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yg asing dalam hidupku. Tapi aku tidak bisa menarik kembali apa yg telah kuucapkan.

Akhirnya ia menangis dengan keras didepanku, dimana hal tersebut tidak pernah kulihat sebelumnya. Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan untukku. Ide perceraian telah menghantuiku dalam beberapa minggu ini dan sekarang sungguh-sungguh telah terjadi.

Pada larut malam, aku kembali ke rumah setelah menemui klienku. Aku melihat ia sedang menulis sesuatu. Karena capek aku segera ketiduran. Ketika aku terbangun tengah malam, aku melihat ia masih menulis. Aku tertidur kembali.

Ia menuliskan syarat-syarat dari perceraiannya : ia tidak menginginkan apapun dariku, tapi aku harus memberikan waktu sebulan sebelum menceraikannya, dan dalam waktu sebulan itu kami harus hidup bersama seperti biasanya. Alasannya sangat sederhana : Anak kami akan segera menyelesaikan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi dan ia tidak ingin anak kami melihat kehancuran rumah tangga kami.

Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya,” He Ning, apakah kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari pernikahan kita? Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan. “Kamu membopongku dilenganmu”, katanya, “jadi aku punya sebuah permintaan, yaitu kamu akan tetap membopongku pada waktu perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan

ini, setiap pagi kamu harus membopongku keluar dari kamar tidur ke pintu.” Aku menerima dengan senyum. Aku tahu ia merindukan beberapa kenangan indah yg telah berlalu dan berharap perkawinannya diakhiri dengan suasana romantis.

Aku memberitahukan Dew soal syarat-syarat perceraian dari istriku. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Bagaimanapun trik yg ia lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini,” ia mencemooh Kata- katanya membuatku merasa tidak enak.

Istriku dan aku tidak mengadakan kontak badan lagi sejak kukatakan perceraian itu. kami saling menganggap orang asing. Jadi ketika aku membopongnya dihari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Anak kami menepuk punggung kami,”wah, papa membopong mama, mesra sekali”. Kata-katanya membuatku merasa sakit. Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan 10 meter dengan dirinya dalam lenganku. Ia memejamkan mata dan berkata dengan lembut,”mari kita mulai hari ini, jangan memberitahukan pada anak kita.” Aku mengangguk, merasa sedikit bimbang. Aku melepaskan ia di pintu. Ia pergi menunggu bus, dan aku pergi ke kantor.

Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebah di dadaku, Kami begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium wangi di bajunya. Aku menyadari bahwa aku telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita ini. Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi. Beberapa kerut tampak di wajahnya.

Pada hari ketiga, ia berbisik padaku, “kebun diluar sedang dibongkar. Hati-hati kalau kamu lewat sana.” Hari keempat,ketika aku membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra seperti sepasang suami istri dan aku masih membopong kekasihku dilenganku.

Bayangan Dew menjadi samar.

Pada hari kelima dan keenam, ia masih mengingatkan aku beberapa hal, seperti dimana ia telah menyimpan baju-bajuku yg telah ia setrika, aku harus hati-hati saat memasak, dll. Aku mengangguk. Perasaan kedekatan terasa semakin erat.

Aku tidak memberitahu Dew tentang hal ini. Aku merasa begitu ringan membopongnya. Berharap setiap hari pergi ke kantor bisa membuatku semakin kuat. Aku berkata padanya, “kelihatannya tidaklah sulit membopongmu sekarang”

Ia sedang mencoba pakaiannya, aku sedang menunggu untuk membopongnya keluar. Ia berusaha mencoba beberapa tapi tidak bisa menemukan yg cocok. Lalu ia melihat, “semua pakaianku kebesaran”. Aku tersenyum. Tapi tiba-tiba aku menyadarinya, sebab ia semakin kurus, itu sebabnya aku bisa membopongnya dengan ringan bukan disebabkan aku semakin kuat. Aku tahu ia mengubur semua kesedihannya dalam hati. Sekali lagi, aku merasakan perasaan sakit.

Tanpa sadar ku sentuh kepalanya. Anak kami masuk pada saat tersebut. “Pa, sudah waktunya membopong mama keluar.” Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian yg penting. Ia memberikan isyarat agar anak kami mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Aku membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada detik terakhir. Aku menyanggah ia dilenganku, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk ke teras. Tangannya memegangku secara lembut dan alami. aku menyanggah badannya dengan kuat seperti kami kembali ke hari pernikahan kami. Tapi ia kelihatan agak pucat dan kurus, membuatku sedih.

Pada hari terakhir, ketika aku membopongnya dilenganku, aku melangkah dengan berat. Anak kami telah kembali ke sekolah. Ia berkata, “sesungguhnya aku berharap kamu akan membopongku sampai kita tua.” Aku memeluknya dengan kuat dan berkata “antara kita saling tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra”.

Aku melompat turun dari mobil tanpa sempat menguncinya. Aku takut keterlambatan akan membuat pikiranku berubah. Aku menaiki tangga. Dew membuka pintu. Aku berkata padanya,” Maaf Dew, aku tidak ingin bercerai. Aku serius”.

Ia melihat kepadaku, kaget. Ia menyentuh dahiku. “Kamu tidak demam.” Kutepiskan tanganya dari dahiku. “Maaf Dew, aku cuma bisa bilang maaf padamu, aku tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku membosankan disebabkan ia dan aku tidak bisa merasakan nilai-nilai dari kehidupan, bukan disebabkan kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku mengerti sejak aku membopongnya masuk ke rumahku, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai tua. Jadi aku minta maaf padamu”.

Dew tiba-tiba seperti tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepadaku dan menutup pintu dengan kencang dan tangisannya meledak. Aku menuruni tangga dan pergi ke kantor.

Dalam perjalanan aku melewati sebuah toko bunga. Ku pesan sebuah buket bunga kesayangan istriku. Penjualnya bertanya apa yg mesti ia tulis dalam kartu ucapan? Aku tersenyum dan menulis : “Aku akan membopongmu setiap pagi sampai kita tua.”

Sumber : https://health.dir.groups.yahoo.com/group/dokter_umum/message/13584

Kisah II

BALAS DENDAM SEBELUM BERCERAI

Seorang teman baru saja membagi pengalamannya lewat Yahoo Messenger. Dikatakan bahwa ia saat ini sedang dalam kesedihan mendalam. Bukan karena hidupnya kini berada dalam bahaya, bukan pula karena pekerjaannya kini tak teratasi. Tapi ia sedih karena sebuah berita bahwa temannya yang telah menikah kini merencanakan sebuah perceraian. Ia sedih. Namun ia sendiri menemukan dirinya tak berdaya, ia tak tahu apa yang layak diperbuatnya agar mampu menyelamatkan kehidupan keluarga temannya tersebut.

Ketika mendengar sharingnya tersebut, saya teringat beberapa tahun lalu. Saya berhadapan dengan sebuah keluarga di parokiku yang juga dirundung masyalah perceraian. Sebagai imam muda yang belum bermakan garam, saya menanyakan bagaimana solusi terbaik kepada teman pastor senior, yang juga merupakan wakil superiorku. Namun aku dikejutkan oleh jawabannya. “Nothing is everlasting under the sun. Tak ada yang kekal di bawah kolong langit ini.” Demikian jawabnya santai. Ia menambahkan bahwa ada begitu banyak imam yang nota bene harus mempertahankan imamatnya hingga kekal, justru meninggalkan imamatnya. Kita mungkin memiliki teman yang dulunya seorang imam namun telah meninggalkan imamatnya. Lebih dari itu, ada begitu banyak pasangan hidup berkeluarga, yang pada awalnya diwarnai cinta menggebu-gebu terhadap pasangannya dan berjanji satu sama lain tak akan saling berpisah hingga kekal, kini justru berusaha meninggalkan pasangannya. Kata-kata pastor senior di atas nampaknya aneh, tetapi amat sangat nyata. “There is nothing everlasting under the sun. Tak ada yang kekal di bawah kolong langit ini”, walau kita percaya ada kekekalan. Kita percaya Allah itu kekal, kita percaya ada kehidupan yang kekal. Namun itu adalah kekekalan dunia masa datang.

Temanku tadi masih menanti jawabanku, bagaimana membantu teman yang hidup perkawinannya kini bagaikan telur di ujung tanduk. Aku teringat sebuah kisah yang diceritakan oleh J. Allan Petersen. Petersen berkisah tentang seorang pastor yang dikunjungi oleh seorang ibu sambil membawa serta kebencian yang membara terhadap suaminya. “Aku tak hanya ingin agar ia menghilang dari hadapanku. Tetapi aku menginginkan agar ia mengalami hal yang sama seperti yang aku alami. Sebelum bercerai dengannya, aku akan berusaha untuk menyakitinya sedemikian dalamnya sebagaimana yang pernah ia lakukan terhadap diriku. Aku ingin menyakitinya lalu membuangnya bagaikan seonggok sampah.”

Sang pastor dengan tenang memberikan sebuah anjuran yang amat bagus. “Aku setuju dengan rencanamu. Sakiti suamimu sebelum engkau menceraikannya. Tapi tahukah engkau cara yang terbaik untuk menyakitinya? Pulanglah ke rumahmu, dan berusahalah menunjukan betapa engkau seakan-akan mencintainya dengan sungguh. Ungkapkan itu baik lewat kata-katamu maupun lewat tindakanmu. Tunjukan bahwa engkau begitu mencintainya, bahwa engkau begitu care terhadap dirinya, bahwa engkau adalah seorang wanita yang tahu memaafkan, wanita yang mengayomi suamimu. Berikan kata-kata pujian kepadanya, dan katakan kepadanya bahwa engkau tak akan mungkin hidup tanpa kehadiran dirinya. Dan yakinlah bahwa suamimu akan amat tersentuh oleh perubahan dalam dirimu. Dan justru di saat itulah, buanglah bom yang kini engkau simpan, saat itulah katakan kepadanya bahwa engkau ingin menceraikannya. Yakinlah, saat itu suamimu akan mengalami penderitaan yang paling pedih dalam hidupnya, suatu penderitaan yang tak akan pernah dilupakan selama hidupnya.”

Sang wanita tersebut setuju dengan anjuran sang pastor. Ia yakin bahwa suaminya tak hanya akan kehilangan dirinya, tetapi bahkan akan kehilangan hasrat untk hidup. Suaminya akan dilanda depresi yang teramat dalam. Ia kembali dan bertindak “seakan-akan” ia amat mencintai suaminya, seakan-akan ia amat care terhadap suaminya, seakan ia adalah seorang wanita yang sungguh mendengarkan.

Tiga bulan berlalu. Wanita tersebut tak pernah kembali mengunjungi sang pastor untuk menyelesaikan proses perceraian. Lalu sang pastor menelponnya dan bertanya; “Apakah anda siap untuk cerai?”

“Apa? Cerai? Aku kini tak pernah berpikir tentang perceraian. Aku menemukan bahwa aku sungguh amat mencintai suamiku.” Jawab sang wanita tersebut. Ternyata tindakan “seolah-olah” itu telah mengubah perasaannya. Tindakan selalu berkata lebih kuat dari pada perasaan. Kemampuan untuk mewujudkan cinta in action selalu lebih kuat dari pada “perasaan” yang disembunyikan dalam hati.

 

Sumber : https://sugizo.wordpress.com/2009/12/06/membalas-dendam-sebelum-cerai/