Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Socrates berpesan, “kita perlu memahami diri dengan sungguh”, namun sesungguhnya Socrates tidak layak berkata seperti itu. Karena dia hanya memberi himbauan, tapi tidak memberitahukan bagaimana caranya. Socrates memang hanya mengeluarkan satu perintah yang penting dari segi wahyu umum saja. Sebenarnya antara wahyu khusus yaitu firman Tuhan yang bisa memberi otoritas dan dasar untuk memahami diri dengan benar. Sungguh amat kasihan keadaan orang yang telah dilahirkan sebagai manusia namun dia tidak tahu apa itu manusia, apa kuasanya, apa yang harus diucapkan dan bagaimana dia harus hidup. Masalahnya, berapa banyak orang yang sungguh-sungguh mengetahui hal itu. Saya percaya, ada begitu banyak orang yang sudah hidup sekian puluh tahun masih belum mengetahui apa makna hidupnya. Konfusius yang begitu agung, yang seumur hidup giat belajar menjadi manusia, sampai berusia tujuh puluh tahun baru berkata, saya sudah mencapai usia tujuh puluh, bisa tidak melanggar peraturan. Artinya dia sudah sukses besar. Ironisnya dia mati di usia tujuh puluh dua tahun. Seumur hidup dia belajar menjadi manusia, ketika sukses, malah dia sudah dekat dengan ajalnya. Semasa hidupnya, Konfusius hanya menerima wahyu umum, sedangkan kita telah menerima wahyu khusus, yang memungkinkan kita bisa memahami makna hidup lebih dini. Itulah hak istimewa yang kita terima, lebih dari apa yang dimiliki oleh Socrates dan Konfusius.
Mazmur 8:3-5
Inilah kesadaran yang ada pada diri manusia terhadap wahyu umum. Ketika burung, kuda, anjing, babi dan hewan lain mengamati keadaan di sekitarnya, mereka hanya memperhatikan ada makanan atau tidak, tidak peduli dengan hal lain. Namun ketika manusia memandang karya ciptaan Allah, maka akan muncul konsep tentang Allah. Ini membuktikan bahwa kemampuan untuk memberi respon terhadap wahyu umum ada di dalam diri manusia. Di dalam karya sastra Sdri. Xiao Feng terdapat satu statemen yang begitu mengesankan: “ketika kita menikmati panorama alam di tepi laut atau di dalam goa dengan sendirinya kita akan teringat pada Pencipta dan mengagumi karya ciptaan-Nya.” Pada waktu manusia memandang ciptaan Tuhan, dia bukan hanya menikmati keajaiban, keindahan alam, tapi juga bisa mencetuskan rasa kagum dan pujian seperti yang kita temui di dalam kebudayaan Ibrani, atau menghasilkan penelitian seperti yang kita saksikan di dalam kebudayaan Yunani. Selain itu, logika dan iman kepercayaan juga lahir dari sana, respon manusia yang terwujud dalam bentuk kebudayaan dan agama. Namun respon yang terpenting adalah apa yang tertulis dalam Mazmur 8, manusia menemukan Engkau yang berada di balik alam dan hubungan antara Engkau dengan dirinya. Berawal dari kesadaran
akan adanya hubungan antara Engkau dan aku ini lahirlah satu respon yang lain, yaitu Penilaian Diri. “Apakah manusia?” saya percaya statemen ini lebih agung dibandingkan seluruh pemikiran Socrates. Karena ketika pemazmur membandingkan manusia dengan semesta alam berkatalah dia, men are created in order to interpret everything; manusia dicipta untuk menginterpretasikan segala sesuatu. Jadi menjelaskan segala sesuatu adalah insting dan bakat yang ada pada diri manusia. Menurut filsafat Yunani yang berpusat pada manusia, manusia adalah standar untuk mengukur segala sesuatu. Pandangan tersebut berbeda dengan apa yang dimaksudkan di bagian ini yaitu setelah manusia mengadakan interpretasi terhadap sesuatu, segera disusul dengan statemen: “Engkau telah membuatnya sedikit lebih kecil dari malaikat”, “Engkau mengutus dia untuk mengelola segalanya”. Kedua statemen tadi telah meletakkan tiga buah dasar teologia yang amat penting, yang tidak boleh dilupakan.
  1. Pertama, reaction to the general revelation; reaksi terhadap wahyu umum interpretasi yang diberikan oleh manusia.
  2. Kedua, correction from the special revelation; koreksi dari wahyu khusus.
  3. Ketiga, interpretasi kebenaran yang dikemukakan oleh pelbagai aliran filsafat dunia hanyalah semacam interpretasi yang berkeping-keping tentang pengenalannya terhadap kebenaran. Interpretasi terhadap segala yang ada di dalam alam adalah respon manusia yang bersifat instingtif terhadap wahyu umum Allah. Namun kekristenan memberitahu kita dengan jelas, wahyu khusus telah memberi kita sebuah anak kunci yang dapat dipakai untuk mengoreksi semua interpretasi manusia terhadap wahyu umum baik yang berbentuk filsafat maupun kebudayaan.

“Apakah manusia” adalah statemen yang terlontar dari mulut manusia ketika dia membandingkan semesta alam yang begitu besar dengan dirinya yang begitu kecil. Bila ditinjau secara kuantitas, manusia memang tidak terhitung apa-apa. Banyak pemberita Injil masa kini juga terjebak di dalam perbandingan yang keliru itu, ketika mereka menyaksikan gerakan Kharismatik dapat membuat gereja bertumbuh dengan cepat, lalu mereka mengambil kesimpulan: inilah masa depan bagi gereja! Menetapkan nilai dari segi kuantitas bisa mendatangkan interpretasi yang salah. Apa nilai manusia, apa status manusia? Pertanyaan seperti itu tak dapat dijawab oleh para filsuf abad ke-20. Jawaban yang Allah berikan kepada kita adalah: Engkau telah membuatnya sedikit lebih kecil dari malaikat, dan mengutusnya untuk mengelola segalanya. Jadi bukan lagi masalah besar kecil melainkan masalah kuasa yang Allah berikan kepadanya.

Hak Asasi Manusia adalah Pemberian Allah

Mungkinkah manusia yang telah dinodai oleh dosa memahami sifat kemanusiaan dengan tepat? Mutlak tidak mungkin. Itulah sebabnya, baik penguasa atau psychiatrist perlu meninjau sifat manusia dari segi wahyu Allah, agar dia lebih dimungkinkan menjadi seorang penguasa atau psychiatrist yang benar. Terlihat di sini kegagalan yang diderita oleh semua penguasa yang Ateis, yang tirani, yang semena-mena, yang mengabaikan hak asasi manusia bukanlah kegagalan politis atau kegagalam kultural, melainkan kegagalan teologis. Kegagalan Komunisme adalah kegagalan teologis, karena Komunisme tidak mampu menembus wahyu Allah untuk memahami segala ciptaan, mereka juga tidak mampu mencapai kebenaran melalui kekuasaan yang ada pada mereka, juga tidak mampu memahami apa itu hak asasi manusia dengan sesungguhnya. Setiap kali kita berbicara tentang manusia hendaknya memakai sikap yang sangat hormat dan tidak sembarangan. Karena nilai manusia begitu tinggi, jauh lebih tinggi dari segala ciptaan yang Tuhan letakkan di bawahnya. Kita perlu menerobos batasan sejarah dan limitasi waktu untuk melihat nilai yang Allah berikan kepada kita di dalam kekekalan, memahami potensi yang ada di dalam kita, lalu mengasihinya, mendidiknya bahkan menguasainya.

Suatu kali, seorang profesor yang hidup di akhir abad ke-15 mengunjungi sebuah SD. Sebelum sang guru menyuruh murid-murid di kelas berdiri dan memberi hormat kepada sang profesor, profesor itu sudah memberi hormat terlebih dahulu. Guru itu bertanya, apa bapak tidak salah? Bukankah seharusnya saya yang menyuruh murid-murid memberi hormat kepada bapak, mengapa bapaklah yang terlebih dahulu membungkukkan badan kepada mereka? Jawabnya, Tidak! Saya percaya, di antara generasi penerus zaman ini, dan sangat mungkin kelak salah seorang dari kelasmu itu akan menjadi tokoh yang agung. Itu sebabkan izinkan saya terlebih dahulu menghargai generasi penerus ini! Nyata di kemudian hari, salah seorang anak dari kelas itu menjadi tokoh yang menggemparkan dunia, anak itu adalah Martin Luther. Ketika dia masih berada di ruang kelas yang kecil itu, orang tidak mengenal dia, namun profesor itu telah mempunyai firasat dari kelas itu, bakal muncul seorang tokoh. Hari ini, bisakah kita menghargai seorang anak karena dia adalah seorang manusia? Bisakah kita menghargai setiap penyeberang jalan, bahkan orang kita hina sekalipun sebagai manusia? Seberapa jauh kita memahami akan potensi dan kemungkinan yang tersembunyi di dalam diri orang lain?

Mari kita mengkaji bagaimana PL dan PB menilai manusia, sehingga kita bisa memakai Alkitab sebagai dasar untuk membahas hak asasi manusia. Kejadian 9:6 mencatat statemen yang Allah ucapkan setelah Nuh keluar dari bahtera: “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” Memang ayat ini tidak memberitahukan kepada kita berapa besar nilai manusia, namun ayat ini menyodorkan satu penilaian yang amat penting: manusia sama dengan manusia. Sehingga manusia tidak bisa seenaknya berkata, saya telah membunuh seseorang, saya akan menggantinya dengan lima ribu dollar. Karena nilai manusia tidak identik dengan lima ribu dollar. Kalau kau membunuh satu orang, kau menumpahkan darahnya, darahmupun akan ditumpahkan oleh manusia. Ayat ini tidak mengatakan orang pandai boleh menumpahkan darah orang pandai, orang bodoh boleh menumpahkan darah orang bodoh. Tidak! Darah manusia dibayar dengan darah manusia, karena manusia identik dengan manusia, tidak peduli kelas, status, pintar atau bodoh, pendidikan, hak khususnya di dalam masyarakat. Di sinilah hak asasi manusia dipastikan.

Sampai di PB, wahyu progresif memberikan satu penilaian yang lain terhadap manusia: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?” (Mrk. 8:36-37). Artinya nilai manusia lebih besar dari seluruh dunia. PL mengajarkan nilai manusia sama dengan manusia, namun belum memberitahukan berapa tinggi nilainya, sampai PB, barulah diberitahu bahwa nilai manusia lebih tinggi dari seluruh dunia. Yesus Kristus sendiri mengekspresikan sifat manusia dengan begitu tuntas dan sampai puncaknya, Dia berkata kepada setan: mundurlah! Dia tidak membiarkan kehormatan dan kemuliaan dunia merampas hak ibadah-Nya, yaitu hanya menyembah kepada Allah saja. Inilah hak asasi manusia yang bisa kita saksikan dengan jelas dari Alkitab di mana manusia identik dengan manusia, manusia lebih bernilai dari seluruh dunia. Kitapun harus memandang manusia dengan prinsip yang Allah wahyukan kepada kita. Dan hanya dengan begitu barulah seorang penguasa dapat berdiri pada posisi menghargai sesamanya untuk memerintah. Kalau seorang penguasa tidak memandang manusia sebagai manusia, pastilah negara itu tidak mempunyai masa depan yang cerah. Hanya melalui wahyu yang diberikan Allah, Pencipta manusia, barulah kita dapat memahami sesama dengan sesungguhnya.

Alkitab mengemukakan empat tujuan Allah menciptakan manusia:

  1. Untuk menjadi wakil-Nya mengelola semesta alam Itulah yang dikemukakan oleh Mzm. 8 dan Kej. 1: manusia adalah pengelola, artinya manusia melampaui alam. Juga mengindikasikan bahwa mandat budaya dan mandat science ada di atas diri manusia.
  2. Untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Itu artinya manusia mempunyai tanggung jawab moral di dalam hal merefleksikan kebenaran Allah dan karakter Allah melalui hidupnya.
  3. Supaya manusia menikmati diri Allah, menikmati kasih-Nya. Dengan kata lain, manusia menjadi wadah kasih. Lewat anugerah Allah manusia bisa menikmati hidup yang berlimpah, menikmati persekutuan dengan Allah.
  4. Untuk melaksanakan kehendak Allah, berbagian di dalam rencana Allah. Jelas sudah, manusia dicipta demi Allah, maka hubungan timbal balik antar manusia dan Allah menjadi satu hal yang begitu jelas. Waktu Allah menciptakan manusia, Dia berfirman, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita. ” Mengenai “gambar dan rupa” ini, Ef. 4 (satu-satunya bagian di dalam Alkitab) memberikan interpretasi dan pertanggungjawaban yang begitu jelas: kebenaran, kasih, keadilan, dan kekudusan. Dari ketiga segi ini kita tahu manusia mempunyai rasio, hukum, dan etika, tiga fungsi yang
    terbesar di dalam dirinya:
    1. Fungsi berpikir dan melakukan penilitian yaitu rasio
    2. Fungsi berlaku adil dan menghakimi atau memberi keputusan yaitu hukum
    3. Fungsi berbuat bajik dan moral yaitu etika

Dengan demikian, yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah: manusia mempunyai kebebasan untuk berpikir, melakukan penelitian, memberikan putusan dengan adil, mempunyai kebebasan dan hak hukum di hadapan hukum, mempunyai kebebasan untuk menyatakan kebajikan, moral, mengembangkan fungsi hati nurani.


Bersambung…

Sumber: Majalah MOMENTUM No. 37 – September 1998
https://www.geocities.com/reformed_movement/artikel/ham.html
https://www.geocities.com/reformed_movement
https://www.sumberkristen.com/Kotbah/hak_asasi_manusia_pdt.htm