Kita sudah menyelesaikan pembahasan hukum kedua. Allah tak mengenal kompromi terhadap penyembahan allah palsu. Allah sejati yang suci, tidak akan membiarkan manusia yang Dia ciptakan seturut peta teladan-Nya, membagi kemuliaan yang seharusnya diberikan kepada-Nya kepada objek lain. Dia memberi hidup kekal di dalam Yesus Kristus kepada orang yang mencintai Dia dengan segenap hati, tetapi menuntut orang yang membenci-Nya sampai tiga atau empat generasi. Maka hukum kedua adalah satu-satunya di Sepuluh Hukum yang mengandung warning dan promise.

Hukum ketiga bukan melarang kita menyerukan nama Tuhan, melainkan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Sama juga, orang Kristen boleh memiliki ambisi besar asal bukan untuk diri sendiri. Saya memiliki ambisi yang sangat besar. Saya tidak puas jika gedung gereja selesai dibangun. Gedung yang besar hanyalah anugerah Tuhan yang terkecil bagi gereja.

Anugerah Tuhan yang lebih penting adalah iman, firman, cinta kasih, kuasa Roh Kudus, mengerti kehendak Allah, dan berpartisipasi dalam rencana kekal-Nya. Kalau kita semua mengerti hal ini tentu tak akan tertipu oleh hal-hal sekunder lalu melalaikan hal-hal primer. Oleh karena itu, kata “jangan sembarangan” penting untuk mengerti seluruh ayat.

Nama dan Kualitas Realitasnya
Rektor Sekolah Theologi saya mengingatkan, jangan bergaul dengan orang yang buka mulut tutup mulut selalu menyebut nama Tuhan. Saya setuju dengan pendapatnya karena orang yang selalu membawa-bawa nama Tuhan jangan-­jangan dirinya justru tidak mengenal Tuhan. Demikian pula, banyak pendeta yang berteriak-teriak dan banyak berseru tentang Roh Kudus, sebenarnya malah tidak mengerti doktrin Roh Kudus. Mereka berani mempersamakan Roh Kudus dengan gejala-gejala, baptisan Roh dengan berbahasa lidah. Arti kata “baptis” adalah menguduskan. Namun mereka bukan menekankan pertobatan, pembersihan jiwa, pikiran, dan kelakuan melainkan karunia berbahasa roh — salah tafsir Alkitab yang telah menyesatkan banyak orang. Mengapa Allah melarang kita menyebut nama-Nya dengan sembarangan? Untuk itu, kita perlu pertama-tama mengetahui siapa yang ada di balik nama itu. Filsafat Konfusius mengajarkan zheng ming lun (teori nama yang benar)yang selama 2.500 tahun dijunjung tinggi oleh kebudayaan Tionghoa, yaitu: nama harus sesuai dengan fakta. Pemikiran seperti ini tidak kita temui dalam filsafat Aristoteles maupun Sokrates.

Pada suatu saat, ada seorang murid saya melakukan praktek khotbah. Judul khotbahnya sangat menarik, yaitu “Roh Kudus menggerakkan dan mengarahkan keinginan seseorang yang terdalam”. Pada awalnya saya mengira dia sudah memikirkan tema yang sedemikian penting dan besar secara mendalam. Namun, ketika saya mendengarkan khotbahnya, ternyata khotbahnya kacau sekali dan tidak beres. Maka saya menanyakan mengapa dia memberikan judul khotbah yang begitu besar dan luar biasa, tetapi isinya tidak karuan. Dia menjawab bahwa dia menemukan pernyataan yang bagus itu dari sebuah buku, lalu dia pakai menjadi judul khotbah, tetapi kemudian dia mengaitkan berbagai hal dengan menggunakan judul itu. Itu hal yang tidak benar. Ketika kita memakai satu judul maka judul itu harus sesuai dengan isi yang dibahas. Kalau tidak, akan jadi bahan tertawaan orang. Itu sebabnya, Tuhan mengingatkan kita, anak-anak-Nya untuk menyadari makna dari nama Tuhan sehingga kita tak menyebut nama-Nya dengan motivasi yang tidak beres.

Sesuaikah nama Tuhan dengan realitasnya? Mengapa kau membeli arloji Rolex? Karena di balik nama itu terdapat falsafah Wardolf, yang dia kemukakan pada tahun 1905: Kami memproduksi arloji bermutu dengan bahan yang terbaik. Falsafah itu tetap dianut sampai sekarang, arloji Rolex bisa dipakai enam puluh bahkan delapan puluh tahun asal dibersihkan secara berkala. Tahun 1932 atau 1934, seorang perenang wanita mengenakan Rolex, berenang dari Inggris ke Perancis di Strait of Dover yang ombaknya ganas. Ketika dia mendarat, di bawah kaca arloji tak terdapat embun, tak setetes air masuk ke dalamnya. Lalu di tahun 1952, Lord Hillary mengenakan Rolex Explorer One naik ke puncak Gunung Everest yang saat itu ketinggiannya 8.892 m. Arloji Rolex-nya berfungsi dengan baik. Berikutnya, di sebuah kapal yang sudah tenggelam 27 tahun di Aegean Sea, orang menemukan arloji Rolex. Setelah dibersihkan ternyata arloji itu masih berfungsi. Ketiga peristiwa itu membuat nama Rolex melambung. Mengapa orang percaya akan arloji Omega? Karena di tahun 1959, Omega memproduksi Speed Master. Awalnya merek dan tipe ini tidak dikenal orang, sampai NASA secara diam-diam membeli empat puluh jenis arloji yang termahal, diuji dengan delapan belas jenis ujian yang ketat, termasuk di suhu yang dingin sekali, panas sekali, di bawah air, dijatuhkan dengan kecepatan tertentu, bahkan kecepatan roket yang mencapai 50.000 km per jam. Apakah arloji itu masih berfungsi dengan baik? Hasilnya, tiga puluh sembilan jenis tak lulus (termasuk Rolex), satu­-satunya yang lolos adalah Omega Speed Master. Mereka memberitahu Pabrik Omega, “Selamat, Speed Masterproduksimu adalah arloji terbaik. Kami telah melakukan uji yang paling keras dan paling berat terhadap beberapa jenis arloji, dan arloji milikmu adalah satu-satunya yang bisa melewati semua ujian tersebut. Maka arlojimu yang akan kami bawa ke bulan.” Sejak itu, di balik Speed Mastertertulis: the only watch to wear in the mission of NASA to the moon, dan dijuluki “Moon Watch”. Saat Apollo kesekian pulang ke bumi, semua peralatan rusak, hanya kronograf Speed Master yang bisa menghitung kapan mereka tiba di bumi dan tepat.

Sayang, di tahun 70-an, Omega melakukan mass production, memproduksi versi khusus untuk pasaran di China dengan harga terjangkau. Ternyata hal itu merupakan bumerang bagi mereka, sehingga di tahun 1980 Omega rugi seratus juta dollar. Mengapa arloji buatan Swiss begitu mahal, bukankah bahan dasarnya murah? Karena kepercayaan, mutu, sejarah, inovasi manusia yang dicipta menurut peta teladan Allah jauh lebih berharga dari bahan dasar. Ketika kita mendengarkan khotbah, bobot khotbah juga berbeda-beda, tergantung siapa yang berkhotbah, karena substansi realitasnya berada di balik namanya. Tiga bulan terakhir ini, saya sangat sedih karena seorang Kristen membangun sekolah Kristen yang diberi nama John Calvin, kemudian karena kesulitan uang lalu dijual dan dibeli oleh orang non-Kristen, namun tetap menyandang nama tokoh Reformed terbesar yang bisa mengecoh banyak orang. Mengapa bisa begitu? Orang Kristen terlalu sembrono dalam hal menggunakan nama, hanya memikirkan untung tanpa memikirkan akibatnya.

Penyebutan dan Motivasinya
Apa motivasi orang ketika menyebut nama Tuhan? Tuhan Yesus berkata “Dengan sesungguhnya Aku berkata kepadamu, bukan semua orang yang menyebut nama-Ku akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, hanya mereka yang melakukan kehendak Allah yang dapat masuk sorga” (Mat.7:21). Karena nama adalah sesuatu yang penting sekali, memancarkan realitas, substansi, mutu yang dia miliki. “Allah” adalah nama dari Pribadi yang paling adil, paling bajik, paling sempurna, paling mutlak, paling suci, paling benar, paling indah, paling tinggi, dan seterusnya. Maka ketika engkau menyebut nama Allah, tidak boleh tanpa memiliki rasa tanggung jawab.

Mengapa ada orang yang berani menyebut nama Allah dengan sembarangan? Karena mereka tidak tahu siapa itu Allah. Di dalam Kitab Suci, ada satu kitab yang sama sekali tak menyinggung nama Allah, Yehovah, Tuhan, sang Pencipta, sang Penebus, yaitu Kitab Ester. Tetapi ketika orang membacanya, langsung menyadari penyertaan Tuhan atas umat-Nya, tangan-Nya menyelamatkan kaum pilihan-Nya, meski saat mereka berada di pembuangan, dikuasai oleh Raja Persia. Maka orang Israel pun tak berani memandangnya sebagai kitab atheis dan menyingkirkannya dari kanon Alkitab. Ketika saya bertemu dengan Bob Pierce, pendiri World Vision, di Switzerland, dia mengatakan, “Sekalipun di dalam kitab Ester tidak satu kali pun disebutkan nama Allah, tetapi di sana ada huruf-huruf yang bisa disusun menjadi JHWH (Jehovah).” Maksudnya, nama Allah tersimpan di sana meski istilah itu tak muncul. Memang ada dua jenis orang Kristen: i) orang yang setiap saat menyebut-nyebut nama Allah, tapi hidupnya tidak karuan; dan ii) orang yang tak sembarangan menyebut nama Allah, tetapi hidupnya mencerminkan penyertaan Tuhan. Nama Allah adalah the subjectivity of truth in person, the subjectivity of the holiness in person, the subjectivity of righteousness in person, the subjectivity of the perfect in person, the subjectivity of the absolute in person. Suatu hari, saya mendengar Zhen Xiu Yi, penginjil wanita lulusan Seminari di Shanghai, mengisahkan di khotbahnya “waktu saya berumur sepuluh tahun, saya melihat gambar-gambar, ada gambar seorang tua, saya serta-merta berkata, ini mirip Allah. Papa langsung menampar saya dan katanya, ‘jangan menyebut nama Allah dengan sembarangan.’ Maka mulai hari itu, saya tahu, nama Tuhan itu suci, tak boleh disebut dengan sembarangan.” Akhirnya, dia menjadi seorang penginjil yang sangat cinta Tuhan, rela berkorban bagi-Nya.

Dalam hal apa saja seseorang memakai nama Allah? Sering kali orang memakai nama Tuhan untuk bersumpah. Kita harus berhati-hati dengan orang yang mudah sekali bersumpah dengan nama Tuhan. Kita harus berhati-hati dengan orang yang selalu mengatakan “gampang, nanti saja”. Manusia sulit sekali dipercaya. Mempercayai manusia yang tidak bisa dipercaya adalah tindakan bodoh. Tetapi adalah bebal jika kita tidak bisa mempercayai Allah yang patut kita percaya. Dialah obyek iman, pengharapan, dan kasih kita. Orang sering memakai nama Tuhan untuk bersumpah agar orang percaya padanya. Apa sebenarnya yang menjadi tujuan dan motivasi manusia menggunakan atau menyebut suatu nama?

1. Meraup Untung. Pernah ada seorang menemui saya dan menunjukkan kartu nama Pdt. Dr. John Paul di Hong Kong dan mengaku sebagai kawannya. Kemudian ia menyatakan bahwa dia kehilangan dompet, paspor, tak punya uang. Maka saya pun meminjamkan uang padanya. Tak lama kemudian, saya mendengar seseorang menceritakan bahwa ada orang yang mengaku sebagai kawan John Paul kehilangan dompet. Maka saya tahu bahwa orang yang menemui saya itu adalah penipu. Suatu kali, ketika saya berada di Hong Kong, saya bertemu dengan orang itu di lift, maka sapa saya, “Kamu kawannya John Paul, bukan?” “Saya tak kenal John Paul.” “Kau pernah ke Indonesia dan mengaku kehilangan dompet, bukan?” “Saya tak pernah ke Indonesia.” Saya terus bertanya dan dia terus mengelak. Dia lupa Tuhan membuat wajah, sidik jari, cara jalan, suara yang menjadi meterai pribadi kita. Ketika keluar dari lift, saya mengingatkan dia, “Jangan menipu lagi.” Mungkin orang-orang bingung, mengira saya memarahi orang di lift. Suatu kali, dia menipu kakak saya di Hong Kong. Kata kakak saya, “Kau ingin pinjam uang? Karena sekarang saya tak punya uang, saya pergi sebentar pinjam ke kawan saya.” Dia menunggu. Ternyata kakak saya bukan meminjamkan uang tetapi memanggil polisi untuk menangkap dia. Dia berlutut minta ampun, tetapi kakak saya berkata, “Berapa kali sudah kau lakukan ini, adik saya dan orang lain kau tipu dengan mengaku sebagai teman John Paul?” Nama siapakan yang paling sering diperalat? Nama Tuhan.

2. Menipu. Di dalam sejarah Amerika, empat puluh sekian Presiden saat dilantik harus mengucap­kan sumpah dengan meletakkan tangan di atas Kitab Suci: demi nama Tuhan yang kupercaya, aku berjanji pada rakyat Amerika menjadi Presiden yang baik. Tetapi pernah terjadi, seorang Presiden ketika disumpah menggunakan dua buah Kitab Suci, akhirnya terbukti dia adalah presiden yang paling jelek, yaitu Richard Nixon, yang terpaksa harus turun karena tidak jujur. Jadi, jangan mempermainkan Allah. Kata Konfusius, “Kalau kau bersalah terhadap langit, tidak ada yang bisa mendoakanmu.” Secara theologis, Konfusius tidak mempunyai konsep mediator, tetapi dia mengingatkan kita secara etika bahwa berdosa pada Tuhan jauh lebih berat daripada bersalah kepada manusia. Celakalah kau yang mengaku Kristen, tapi bisnismu lebih najis, lebih tak etis, lebih rakus, lebih egois ketimbang mereka yang non-Kristen, nama Tuhan kau permalukan.

3. Menutupi kesalahan diri. Di Alkitab, ada seorang yang bernama Akhan. Dia mencuri dan menyembunyikannya tanpa seorang pun tahu. Akibatnya seluruh Israel dipermalukan, kalah perang melawan kota Ai yang kecil. Yosua sedih sekali “Tuhan, mengapa Kau membiarkan bangsa-Mu dipermalukan orang kafir?” Kata Tuhan, “Di antara kamu ada seorang pencuri!” Mereka membuang undi sampai tujuh kali dan menemukan Akhan, barulah dia mengaku dosa. Apakah dia diampuni? Tidak! Dirajam batu sampai mati, karena pengakuan dosa dia lakukan setelah dosanya diketahui orang. Ingat, Tuhan bukan hanya Pengasih, Dia juga Hakim yang menghakimi seluruh dunia. Satu hal lagi yang harus kita ingat, setelah seorang berdosa, Tuhan mengampuni, tetapi dosanya tetap dicatat di Alkitab. Untuk apa? Peringatan bagi segala zaman. Pernahkah Daud berdosa? Ya. Apakah dia mengakui? Ada. Lalu apakah dosanya dihapus begitu saja tanpa diketahui orang? Tidak, ditulis di Alkitab. Siapa yang berani membongkar perzinahan pembesar pada waktu dia masih menjabat? Tidak demikian dengan Tuhan, kata-Nya, “Daud, kau seorang Raja. Waktu kau masih hidup, Aku menyuruh orang mencatat perzinahanmu.” “Tuhan, bukankah aku ini orang yang berkenan kepada-Mu?” “Tetapi Aku tak berkenan akan perbuatanmu yang satu ini.” “Bukankah aku sudah bertobat?” “Ya, namun Aku akan tetap mencatatnya di Alkitab.” Meski Daud punya kuasa militer yang besar, tak kuasa menghapus ayat-ayat yang Tuhan tulis. Jadi, jangan bermain-main dengan Tuhan, Dia terlampau suci untuk kau permainkan.

4. Meningkatkan status. Tuhan itu hidup, Dia akan mengungkapkan kejahatan semua orang yang ingin memanipulasi nama-Nya. Saya akan mengakhiri perintah ketiga ini dengan satu perkara yang sering orang Kristen tidak sadari: nama Tuhan melekat atas dirinya, maka setiap kali dia berbuat dosa, nama Tuhan dipermalukan. Padahal ini juga termasuk menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Itu sebabnya, biar kita mengikat kebebasan kita dengan kebenaran dan memuliakan Tuhan lewat hidup kita. Suatu kali, saya dan isteri naik bus dari Banda Aceh, tiba di Medan sudah jam 19.00. Semua koper berada di atas bus dan waktu ada yang turun, kenek menurunkan koper yang dimintanya. Saya berkata kepada kenek, “Tolong perhatikan koper saya yang hitam, jangan salah diambil orang.” Jawabannya membuat saya malu luar biasa, “Tenang, koper Bapak aman karena kita masih di daerah Islam. Nanti waktu di daerah Kristen, saya awasi koper Bapak.” Tahun 1969, pertama kali saya ke Paris, di sebuah gereja saya melihat satu jalan yang menuju ke bawah, tenyata menuju ke tempat judi. Saya jadi sangat sedih. Waktu murid-­murid minta Tuhan Yesus mengajarkan mereka berdoa, Yesus mengatakan, “Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah; dipermuliakanlah nama-Mu.” Yesus Kristus bukan hanya memuliakan nama Bapa di awal pelayanan-Nya, bahkan sebelum Dia disalibkan, kataNya, “Bapa, muliakanlah Anak-Mu, sebagaimana Anak-Mu telah memuliakan-Mu di dunia” — doa yang besar sekali. Saya harap, sebelum mati berani mengatakan, “Tuhan, pelayanan yang Kau percayakan padaku sudah kutunaikan, sekarang muliakanlah aku sebagaimana aku sudah memuliakan-Mu dalam sepanjang hidupku.” Beberapa orang luar negeri mengatakan, “Pemerintah Indonesia seharusnya memberimu lencana besar. Orang memandang Indonesia dengan sebelah mata karena korupsi, tetapi kau lewat khotbah dan pelayananmu membuat nama Indonesia harum.” Jawab saya, “Tidak. Tuhanlah yang harus dipermuliakan karena saya adalah anak-Nya.” Permisi tanya, melalui keberadaanmu bagaimana orang di sekitarmu menilai gereja? Perintah Tuhan, “Jangan sebut nama-Ku dengan sembarangan.” Kita harus memuliakan bukan mempermalukan nama-Nya. Kita boleh memakai nama Tuhan untuk membentuk persekutuan Kristen, mendirikan sekolah, namun apakah sekolah yang kau dirikan lebih jujur dari sekolah lain? Jangan menyebut nama-Ku, Allahmu dengan sembarangan, karena Aku akan menuntutmu. Kiranya semua jemaat GRII betul-betul mempunyai rasa takut akan Tuhan baik dalam iman, hidup, bisnis, hubungannya dengan sesama, tidak mempermainkan nama Tuhan. Biar kita bagai Omega, Rolex, dipercaya orang karena nama yang sepadan dengan kualitasnya. Tuhan memberkati kita semua.

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/sepuluh-hukum-hukum-ketiga